Jauh Lampaui Manusia, Semut Ternyata Sudah Bertani dari 66 Juta Tahun Lalu

ADVERTISEMENT

Jauh Lampaui Manusia, Semut Ternyata Sudah Bertani dari 66 Juta Tahun Lalu

Novia Aisyah - detikEdu
Jumat, 11 Okt 2024 09:30 WIB
red ant in nature, macro shot, ants are an animal working teamwork
Ilustrasi semut. Foto: Getty Images/iStockphoto/lamyai
Jakarta -

Ketika manusia mulai bercocok tanam ribuan tahun yang lalu, pertanian sebetulnya telah ada selama jutaan tahun. Bahkan, beberapa garis keturunan hewan telah menanam makanan mereka sendiri jauh sebelum manusia berevolusi sebagai spesies.

Menurut sebuah studi terbaru, koloni semut mulai membudidayakan jamur ketika sebuah asteroid menghantam Bumi 66 juta tahun yang lalu.

Peristiwa itu menyebabkan kepunahan massal secara global, tetapi juga menciptakan kondisi ideal bagi jamur untuk tumbuh subur. Semut yang inovatif mulai membudidayakan jamur, menciptakan kemitraan evolusi yang menjadi lebih erat terjalin 27 juta tahun yang lalu dan berlanjut hingga hari ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam penelitian yang diterbitkan 3 Oktober 2024 di jurnal Science itu, para ilmuwan di Smithsonian's National Museum of Natural History menganalisis data genetik dari ratusan spesies jamur dan semut untuk membuat pohon evolusi yang terperinci. Mereka membandingkan pohon-pohon ini memungkinkan para peneliti untuk membuat garis waktu evolusi pertanian semut dan menentukan kapan semut pertama kali mulai membudidayakan jamur.

Penelitian ini bertajuk "The coevolution of fungus-ant agriculture" dan ditulis oleh Ted R Schultz dkk, diterbitkan dalam jurnal Science Volume 386 Nomor 6717.

ADVERTISEMENT

"Semut telah mempraktikkan pertanian dan budidaya jamur jauh lebih lama daripada keberadaan manusia," kata ahli entomologi Ted Schultz, kurator semut di museum dan penulis utama penelitian tersebut.

"Kita mungkin bisa belajar sesuatu dari keberhasilan pertanian semut-semut ini selama 66 juta tahun terakhir," imbuhnya.

Hampir 250 spesies semut yang berbeda di Amerika dan Karibia membudidayakan jamur. Para peneliti mengelompokkan semut-semut ini ke dalam empat sistem pertanian berdasarkan strategi budidaya mereka.

Strategi Pertanian Tingkat Tinggi Semut

Semut pemotong daun termasuk di antara semut yang mempraktikkan strategi paling maju, yang dikenal sebagai pertanian tingkat tinggi.

Semut-semut tersebut memanen sedikit tanaman segar untuk menyediakan makanan bagi jamur mereka, yang kemudian menumbuhkan makanan bagi semut yang disebut gongylidia. Makanan ini membantu bahan bakar koloni kompleks semut pemotong daun yang jumlahnya bisa mencapai jutaan.

Schultz telah menghabiskan 35 tahun mempelajari hubungan evolusi antara semut dan jamur. Ia telah melakukan lebih dari 30 ekspedisi ke lokasi-lokasi di Amerika Tengah dan Selatan untuk mengamati interaksi ini di alam liar dan telah membesarkan koloni semut pemotong daun dan semut pembudidaya jamur lainnya di labnya di museum tersebut.

Selama bertahun-tahun, Schultz dan rekan-rekannya telah mengumpulkan ribuan sampel genetik semut dan jamur dari seluruh daerah tropis. Tumpukan sampel ini sangat penting bagi penelitian terbaru tersebut.

"Untuk benar-benar mendeteksi pola dan merekonstruksi bagaimana hubungan ini telah berevolusi seiring waktu, Anda memerlukan banyak sampel semut dan kultivar jamurnya," kata Schultz.

Bencana Jadi Anugerah bagi yang Lain

Tim tersebut menggunakan sampel untuk mengurutkan data genetik untuk 475 spesies jamur yang berbeda (288 di antaranya dibudidayakan oleh semut) dan 276 spesies semut yang berbeda (208 di antaranya membudidayakan jamur). Ini merupakan kumpulan data genetik terbesar dari semut pembudidaya jamur yang pernah dikumpulkan.

Hal tersebut memungkinkan para peneliti untuk membuat pohon evolusi dari kedua kelompok tersebut. Membandingkan spesies jamur liar dengan kerabatnya yang dibudidayakan membantu para peneliti menentukan kapan semut mulai memanfaatkan jamur tertentu.

Data tersebut mengungkapkan bahwa semut dan jamur telah saling terkait selama 66 juta tahun. Ini terjadi sekitar waktu ketika sebuah asteroid menghantam Bumi pada akhir periode Cretaceous.

Tabrakan dahsyat itu memenuhi atmosfer dengan debu dan puing-puing, yang menghalangi sinar matahari dan mencegah fotosintesis selama bertahun-tahun. Kepunahan massal yang diakibatkannya memusnahkan sekitar setengah dari semua spesies tanaman di Bumi pada saat itu.

Namun, bencana ini merupakan anugerah bagi jamur. Organisme ini berkembang biak saat mereka memakan banyak bahan tanaman mati yang berserakan di tanah.

"Peristiwa kepunahan dapat menjadi bencana besar bagi sebagian besar organisme, tetapi sebenarnya dapat menjadi hal yang positif bagi yang lain," kata Schultz.

"Pada akhir Cretaceous, dinosaurus tidak berkembang dengan baik, tetapi jamur mengalami masa kejayaannya," ujarnya lagi, dikutip dari Science Daily.

Banyak jamur yang berkembang biak selama periode ini kemungkinan besar memangsa serasah daun yang membusuk, yang membuat mereka bersentuhan dekat dengan semut. Serangga ini memanfaatkan jamur yang berlimpah untuk makanan dan terus bergantung pada jamur yang kuat saat kehidupan bangkit kembali dari peristiwa kepunahan.

Penelitian ini juga mengungkap semut membutuhkan waktu hampir 40 juta tahun lagi untuk mengembangkan pertanian tingkat tinggi. Para peneliti dapat melacak asal mula praktik tingkat tinggi ini hingga sekitar 27 juta tahun yang lalu.

Pada saat itu, iklim yang mendingin dengan cepat mengubah lingkungan di seluruh dunia. Di Amerika Selatan, habitat yang lebih kering seperti sabana dan padang rumput yang berhutan memecah petak-petak besar hutan tropis yang basah.

Ketika semut membawa jamur keluar dari hutan basah dan ke daerah yang lebih kering, mereka mengisolasi jamur dari populasi leluhur liar mereka. Jamur yang diisolasi menjadi sepenuhnya bergantung pada semut untuk bertahan hidup dalam kondisi kering, yang menjadi awal mula sistem pertanian tingkat tinggi yang dipraktikkan oleh semut pemotong daun saat ini.

"Semut menjinakkan jamur ini dengan cara yang sama seperti manusia menjinakkan tanaman," ujar Schultz.

"Yang luar biasa adalah sekarang kita dapat menentukan kapan semut tingkat tinggi awalnya membudidayakan jamur tingkat tinggi," jelasnya.

Selain Schultz, studi tersebut menyertakan kontribusi dari beberapa rekan penulis yang berafiliasi dengan National Museum of Natural History, termasuk Jeffrey Sosa-Calvo, Matthew Kweskin, Michael Lloyd, Ana JeΕ‘ovnik, dan Scott E. Solomon.




(nah/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads