Studi baru menemukan bukti yang menunjukkan bahwa bumi mungkin memiliki sistem cincin yang terbentuk sekitar 466 juta tahun yang lalu. Tepatnya, pada awal periode pemboman meteorit yang dikenal sebagai lonjakan dampak Ordovisium.
Hipotesis yang diterbitkan dalam Earth and Planetary Science Letters ini berasal dari rekonstruksi tektonik lempeng untuk periode Ordovisium. Ilmuwan mencatat posisi 21 kawah dampak asteroid.
Semua kawah ini terletak dalam jarak 30 derajat dari khatulistiwa. Meskipun lebih dari 70% kerak benua bumi berada di luar wilayah ini, anomali ini tidak dapat dijelaskan oleh teori konvensional. Tim peneliti percaya pola ini dihasilkan setelah sebuah asteroid besar bertemu bumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat asteroid itu melewati batas Roche bumi, ia pecah karena gaya pasang surut, membentuk cincin puing di sekitar planet itu, mirip dengan cincin yang terlihat di sekitar Saturnus dan raksasa gas lainnya saat ini.
"Selama jutaan tahun, material dari cincin ini secara bertahap jatuh ke bumi, menciptakan lonjakan dampak meteorit yang diamati dalam catatan geologi," kata penulis utama studi Profesor Andy Tomkins, dari Sekolah Bumi, Atmosfer, dan Lingkungan Universitas Monash dalam Phys.org dikutip Jumat (20/9/2024).
"Yang membuat temuan ini semakin menarik adalah implikasi iklim potensial dari sistem cincin tersebut," sambungnya.
Para peneliti berspekulasi bahwa cincin itu dapat menimbulkan bayangan di bumi, menghalangi sinar matahari, dan berkontribusi pada peristiwa pendinginan global yang dikenal sebagai "Rumah Es Hirnantian." Periode ini, yang terjadi menjelang akhir Ordovisium, diakui sebagai salah satu yang terdingin dalam 500 juta tahun terakhir sejarah bumi.
"Gagasan bahwa sistem cincin dapat memengaruhi suhu global menambah lapisan kompleksitas baru pada pemahaman kita tentang bagaimana peristiwa ekstraterestrial dapat membentuk iklim bumi," kata Profesor Tomkins.
Biasanya, asteroid menghantam bumi di lokasi acak. Untuk menyelidiki apakah distribusi kawah tumbukanOrdovisium tidak acak dan lebih dekat ke ekuator, para peneliti menghitung luas permukaan benua yang mampu melestarikan kawah dari masa itu.
Mereka berfokus pada batuan yang lebih tua dari periode Ordovisium pertengahan, tidak termasuk area yang terkubur di bawah sedimen atau es, wilayah yang terkikis, dan yang terkena dampak aktivitas tektonik. Dengan menggunakan pendekatan GIS (Sistem Informasi Geografis), mereka mengidentifikasi wilayah yang secara geologis cocok di berbagai benua.
Wilayah seperti Australia Barat, Afrika, Kraton Amerika Utara, dan sebagian kecil Eropa dianggap cocok untuk melestarikan kawah tersebut. Hanya 30% dari wilayah daratan yang cocok yang ditentukan berada di dekat ekuator, namun semua kawah tumbukan dari periode ini ditemukan di wilayah ini.
Implikasi dari penemuan ini melampaui ilmu geologi modern. Mendorong para ilmuwan untuk mempertimbangkan kembali dampak yang lebih luas dari peristiwa langit pada sejarah evolusi bumi. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan baru tentang potensi sistem cincin purba lainnya yang dapat memengaruhi perkembangan kehidupan di bumi.
(nir/nwy)