Dua Hal Ini Disebut Bakal Mengancam Kehidupan Manusia pada Masa Depan

ADVERTISEMENT

Dua Hal Ini Disebut Bakal Mengancam Kehidupan Manusia pada Masa Depan

Fahri Zulfikar - detikEdu
Kamis, 19 Sep 2024 20:30 WIB
Shot of a gorgeous and elegant young woman out on a shopping spree
Foto: Istockphoto/PeopleImages/Ilustrasi perilaku konsumtif
Jakarta -

Para ilmuwan telah melakukan berbagai penelitian untuk mengetahui ancaman apa yang akan dihadapi manusia pada masa depan. Hal ini dilakukan agar manusia bisa mengontrol kehidupannya guna mencegah ancaman yang lebih parah.

Menurut laporan World Economic Forum (WEF), dalam dua tahun terakhir, ancaman yang dihadapi manusia adalah meningkatnya misinformasi dan disinformasi, hal ini termasuk hoaks dan penyalahgunaan teknologi lainnya. Laporan ini memprediksi bahwa sistem informasi global yang sistematis dan palsu bakal memperluas kesenjangan sosial dan politik.

Risiko ini diperparah dengan banyaknya pemilu yang dilaksanakan oleh lebih dari 3 miliar orang pada 2024 dan 2025, termasuk di negara-negara dengan perekonomian besar seperti Amerika Serikat, India, dan Inggris.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut laporan, penyebaran misinformasi dan disinformasi di seluruh dunia dapat mengakibatkan kerusuhan sipil, propaganda dalam negeri, dan kontrol terhadap arus bebas informasi.

Sementara dalam 5-10 tahun ke depan, potensi ancaman terbesar lebih mengerikan, yakni planet Bumi yang menuju "titik kritis iklim". Tanda-tandanya sudah terlihat, seperti rekor cuaca terpanas pada 2023 dan 2024 berdasarkan suhu rata-rata global.

ADVERTISEMENT

Lantas bagaimana menurut penelitian terkini? Apa potensi ancaman yang bakal dihadapi manusia?


Gaya Hidup Orang Kaya & Miskin yang Tidak Adil Turut Menjadi Ancaman

Studi yang terbit di jurnal Lancet Planetary Health pada 11 September 2024, menemukan bahwa gaya hidup konsumtif telah mencapai titik kesenjangan yang mengkhawatirkan. Dalam bidang teknologi dan infrastruktur, orang sangat kaya yang minoritas bisa mengakses dengan mudah, sedangkan sisanya tidak.

Kesenjangan untuk kehidupan yang berkelanjutan ini dinilai telah membuktikan bahwa distribusi sumber daya belum adil. Hal ini membuat orang-orang yang ingin berkembang untuk hidup lebih ramah lingkungan menjadi sulit tercapai.

Maka dari itu, dalam studinya, peneliti menawarkan ruang kehidupan yang adil bagi umat manusia untuk menerapkan gaya hidup yang tetap dalam batas-batas planet Bumi yang aman.

"Ini tidak akan langsung disambut baik. Sampai batas tertentu, hal ini menakutkan, namun hal ini menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi manusia dan spesies lainnya," ucap Joyeeta Gupta, mantan salah satu ketua Komisi Bumi dan profesor lingkungan dan pembangunan dari Universitas Amsterdam, dikutip dari The Guardian.

Makalah ini telah memetakan bagaimana 7,9 miliar orang di dunia tetap mengakses makanan, air, energi, tempat tinggal, dan transportasi pada tingkat yang diperlukan serta masih dalam batas-batas planet yang aman.

Laporan tersebut kemudian memproyeksikan bagaimana hal ini dapat berubah pada tahun 2050, ketika jumlah penduduk diperkirakan mencapai 9,7 miliar orang.

Dalam hal ini, peneliti telah menetapkan "dasar" standar hidup sehari-hari yakni dengan 2.500 kalori makanan, 100 liter air, dan 0,7 kWh listrik, serta luas tempat tinggal sebesar 15 hektar dan transportasi tahunan sejauh 4.500 km. Mereka juga memperkirakan seberapa besar kemampuan umat manusia untuk mendorong iklim, ekosistem, nutrisi dan fosfor serta sumber air tanpa mengganggu kestabilan sistem bumi.

Hasil studi mereka menunjukkan bahwa ruang yang aman dan adil secara teoritis masih mungkin dilakukan saat ini. Salah satunya dengan mengurangi penggunaan sumber daya di 15% penghasil emisi terbesar dan dengan cepat mengadopsi energi terbarukan dan teknologi berkelanjutan lainnya.

"Jika perubahan signifikan tidak dilakukan sekarang, pada tahun 2050 tidak akan ada lagi ruang yang aman dan adil. Artinya, meskipun semua orang di planet ini hanya memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi standar hidup dasar pada tahun 2050, bumi masih berada di luar batas iklim," laporan tersebut memperingatkan.

Krisis Iklim yang Terus Mengancam

Pada akhirnya, apa yang dihadapi manusia saat ini berpacu dengan kondisi iklim yang terus berubah.

Dalam makalahnya, peneliti turut mengidentifikasi lokasi-lokasi di seluruh dunia yang penduduknya paling rentan terhadap dampak buruk akibat kerusakan iklim. Hal ini termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, polusi, dan kekurangan air.

Negara-negara yang dimaksud yakni:

1. India: sekitar 1 miliar orang tinggal di lahan terdegradasi

2. Indonesia: 194 juta orang terpapar nitrogen pada tingkat yang tidak aman

3. Brasil: 79 juta orang terpapar polusi udara pada tingkat yang tidak aman dan tidak adil

4. China, India, dan Pakistan: lebih dari 200 juta orang juga terpapar suhu bola basah yang sangat tinggi dengan pemanasan global antara 1-2 derajat Celcius di atas suhu pra-industri.

Kondisi yang parah ini masih terus dihadapi seiring peristiwa cuaca ekstrem yang mengintai dalam 5-10 tahun ke depan, menurut WEF. Hal ini berpotensi terus berlanjut hingga tahun 2030-an.

Peneliti pun menyarankan untuk segera dilakukan langkah-langkah yang mencakup perpajakan yang progresif, penetapan harga sumber daya secara bertahap, perencanaan penggunaan lahan, teknologi ramah lingkungan, dan subsidi untuk produk-produk berkelanjutan.




(faz/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads