Terjadi penurunan yang signifikan dalam proporsi kelas menengah di Indonesia pada 2019 hingga 2024. Apa alasannya?
Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan signifikan pada kelas menengah dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 jiwa pada 2024. Terdapat tren penurunan pada klasifikasi kelas menengah, seperti miskin, rentan miskin, dan Aspiring Middle Class (AMC).
Pakar Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo mengatakan ada faktor utama dari penurunan middle class ini. Hal itu berkaitan dengan pandemi beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandemi Jadi Alasan Penurunan Kelas Menengah Indonesia
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia pada 2020 menjadi alasan utama penurunan kelas menengah di Indonesia. Rossanto berpendapat bahwa COVID-19 telah melumpuhkan sejumlah sektor, terutama sektor perdagangan internasional. Penurunan permintaan global ini memaksa perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau memotong jam kerja, yang berdampak langsung pada pendapatan karyawan.
"Akibatnya daya saing perusahaan lokal menurun akibat persaingan dengan negara lain yang lebih kompetitif. Selain itu, pola konsumsi yang meningkat, terutama akses mudah ke pinjaman online, judi online, dan produk gaya hidup murah, semakin memperparah kondisi ini," jelasnya dalam laman Unair dikutip Sabtu (14/9/2024).
Sektor Paling Terdampak
Menurut Rossanto, penurunan kelas menengah berdampak langsung pada sektor perdagangan. Ia berpendapat jika hal itu terjadi karena perang dagang Amerika Serikat dan China. Perang dagang itu membuat China mencari pasar baru, salah satunya Indonesia.
"Hal ini tentunya memukul daya saing produk lokal, Akibatnya, banyak pedagang lokal yang harus mengurangi jumlah karyawan, yang kemudian berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat," paparnya.
Tidak hanya perusahaan besar, Rossanto meyakini jika sektor usaha kecil dan menengah juga menghadapi tantangan serupa. Tak sedikit dari para pekerja yang terpaksa bekerja di sektor informal atau membuka usaha kecil, seperti UMKM.
"Namun, persaingan di sektor ini juga sangat ketat. Pendapatan yang diperoleh sering kali jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), sehingga banyak yang berisiko turun kelas," kata Rossanto.
Dorong Kebijakan Pemerintah
Dalam menghadapi tantangan ini, Rossanto menyarankan agar pemerintah mengambil langkah melalui kebijakan moneter dan fiskal. Menurutnya, Bank Indonesia dan OJK harus mendukung lebih banyak masyarakat untuk membuka lapangan kerja, bukan sekadar mencari kerja.
"Kebijakan seperti pemberian subsidi bunga bagi UMKM sangat penting untuk mendorong munculnya usaha baru. Sementara dari sisi fiskal, subsidi bunga perumahan dan bantuan biaya pendidikan dapat menjadi solusi untuk menjaga kelas menengah agar tidak terpuruk," tutupnya.
(nir/pal)