Megathrust menjadi isu yang sedang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Megathrust disebut bisa memicu gempa yang berdampak besar untuk Indonesia.
Isu ini bukan isapan jempol belaka. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Indonesia memiliki zona megathrust dan pernah terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami.
Megathrust sendiri merupakan zona subduksi/pertemuan antar lempeng benua yang sangat luas dan memanjang. Zona megathrust adalah bagian dangkal suatu lajur pada zona subduksi yang mempunyai sudut tukik yang landai, demikian keterangan BMKG dalam situs resminya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara istilah, zona megathrust merujuk pada jalur subduksi lempeng bumi yang sangat panjang, tapi relatif dangkal. Kata 'mega' berarti 'besar' dan 'thrust' berarti 'dorongan'. Zona megathrust mengacu pada sumber gempa tumbukan lempeng di kedalaman dangkal.
Indonesia sendiri memiliki 16 zona megathrust yang ada di wilayah mulai dari Aceh, Jawa, hingga Sulawesi. Zona megathrust Indonesia bisa dilihat di sini.
Megathrust Juga Mengancam Negara Lain di Dunia
Kepala Bidang Mitigasi Tsunami Samudra Hindia dan Pasifik BMKG, Suci Dewi Anugerah, mengatakan bahwa ancaman megathrust bukan hanya berpotensi terjadi di Indonesia.
Berbagai negara atau negara bagian seperti Jepang dan Hawaii juga tengah dihadapkan dengan isu megathrust.
"Ada banyak negara di dunia ini yang memiliki potensi ancaman yang sama. Sebut saja Hawaii, Jepang, mereka wilayah-wilayah yang memiliki potensi tersebut," ucapnya dalam The Weekly Brief With Sandi Uno, pada Agustus 2024 lalu, yang dikutip kembali Senin (2/9/2024)
Apa yang dikatakan Suci senada dengan laporan ilmiah tentang megathrust di wilayah barat Amerika Serikat dan Kanada. Megathrust juga diprediksi akan mengancam wilayah tersebut pada masa depan.
Mengutip SciTechDaily, di lepas pantai selatan British Columbia, Washington, Oregon, dan California utara, terdapat jalur sepanjang 600 mil (965,6 km). Pada jalur ini dasar Samudra Pasifik secara bertahap menunjam ke arah timur di bawah Amerika Utara.
Daerah itu disebut Zona Subduksi Cascadia, yang merupakan tempat terjadinya patahan megathrust, tempat lempeng tektonik bergerak melawan satu sama lain dengan cara yang sangat berbahaya.
Lempeng-lempeng tersebut secara berkala dapat terkunci dan menimbulkan tekanan pada area yang luas. Tekanan tersebut pada akhirnya akan dilepaskan ketika kedua lempeng saling bersentuhan.
Akibatnya, gempa bumi terbesar di dunia bisa terjadi dan mengguncang dasar laut dan daratan, serta menimbulkan tsunami setinggi 100 kaki (30 meter) atau lebih.
Zona berbahaya semacam ini juga terdapat di Alaska, Chili, Selandia Baru, dan tempat-tempat lain. Di Cascadia, gempa besar diyakini terjadi kira-kira setiap 500 tahun, kurang lebih beberapa ratus tahun sekali. Adapun terakhir terjadi gempa besar adalah pada tahun 1700.
Ilmuwan Meneliti Risiko Tsunami yang Bisa Terjadi
Para ilmuwan telah lama berupaya memahami struktur dan mekanisme bawah tanah di Zona Subduksi Cascadia tersebut. Tujuannya untuk memetakan tempat-tempat yang paling rentan terhadap gempa, seberapa besar gempa, dan tanda-tanda peringatan apa yang mungkin ditimbulkannya.
Para ilmuwan mencoba meramalkan kemungkinan berbagai skenario. Harapannya, hasil prakiraan probabilitas dapat membantu pihak berwenang merancang peraturan bangunan dan sistem peringatan untuk meminimalkan kerusakan ketika sesuatu terjadi.
Hasil penelitian mereka, telah dipublikasikan di jurnal Science Advances Vol. 10, No. 23 pada 7 Juni 2024.
"Megathrust memiliki geometri yang jauh lebih kompleks dari perkiraan sebelumnya. Studi ini memberikan kerangka kerja baru untuk penilaian bahaya gempa bumi dan tsunami," kata Suzanne Carbotte, ahli geofisika kelautan di Lamont-Doherty Earth Observatory di Columbia University, yang memimpin penelitian tersebut.
Untuk meneliti ini, ilmuwan dibantu dengan pendanaan dari US National Science Foundation. Data dikumpulkan selama pelayaran 41 hari pada 2021 oleh kapal penelitian Lamont, Marcus G. Langseth.
Para peneliti menggunakan kapal untuk menembus dasar laut dengan gelombang suara yang kuat dan membaca gemanya. Hasilnya, kemudian diubah menjadi gambar, agak mirip dengan cara dokter melakukan pemindaian bagian dalam tubuh manusia.
Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa zona patahan megathrust ternyata bukan hanya satu struktur yang berkesinambungan. Zona megathrust dibagi setidaknya menjadi empat segmen, yang masing-masing berpotensi terisolasi terhadap pergerakan segmen lainnya.
Data menunjukkan bahwa segmen-segmen tersebut terbagi oleh fitur-fitur yang terkubur, termasuk patahan besar, di mana sisi-sisi yang berlawanan saling bergesekan tegak lurus dengan pantai.
"Kami tidak dapat mengatakan bahwa ini berarti hanya satu segmen saja yang akan pecah, atau seluruhnya akan pecah sekaligus. Tetapi hal ini memperkuat bukti bahwa ada perpecahan yang tersegmentasi," terang Harold Tobin, ahli geofisika di Universitas Washington dan salah satu penulis studi tersebut.
Meski segala hal masih terus diteliti, ilmuwan memprediksi bahwa kemungkinan besar bagian tersebut akan pecah secara keseluruhan sekaligus, sehingga berpotensi menjadi bagian yang paling berbahaya.
"Mengenai bahaya tsunami, hal ini masih dalam proses (pengamatan dan analisis)," kata Kelin Wang, seorang ilmuwan peneliti di Survei Geologi Kanada yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Kelompok Wang ini, akan menggunakan data tersebut untuk memodelkan fitur dasar laut di Pulau Vancouver yang mungkin menimbulkan tsunami.
Wang mengatakan penemuannya akan diberikan kepada kelompok lain yang membuat model tsunami sendiri, dan setelah itu ke kelompok lain yang menganalisis bahaya di darat.
Terlepas dari apa hasil prediksi penelitian, semua ilmuwan sepakat bahwa semua negara yang terkait dengan megathrust perlu menilai secara praktis aspek kesiapsiagaan untuk menghadapi risiko masa depan.
(faz/twu)