Penggunaan kemasan saset untuk produk perawatan personal atau makanan dan minuman di Indonesia memang merupakan sebuah ironi.
Harga produk kemasan saset dengan harga murah membantu masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk keperluan sehari-harinya. Tetapi limbah sampah saset yang makin lama makin menggunung dan sulit untuk didaur ulang membahayakan lingkungan dan tentu saja akhirnya bagi manusia. Jadi, apa benar kemasan saset menguntungkan?
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada tahun 2023, Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton sampah, dimana 18.5% nya adalah sampah plastik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, menurut laporan sensus sampah plastik yang dilakukan oleh Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) pada 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia, ditemukan sekitar 25.733 sampah kemasan saset.
Kenapa sampah saset berbahaya?
Kemasan saset terbuat dari beberapa lapisan (multi layer, MLP) material yang berbeda-beda. Kenapa harus banyak lapisan? Awalnya kebanyakan industri hanya menggunakan satu lapis kemasan yang terdiri dari satu material saja, misalnya botol selai kaca, botol plastik soda atau material logam untuk minuman kaleng. Tapi material tersebut memiliki keterbatasan yang menghambat penggunaannya lebih luas.
Kaca misalnya, berat dan mudah pecah. Polietilen, tidak bisa memberikan fungsi penghalang oksigen yang cukup sedangkan logam tidak transparan. Oleh karena itu, penggabungan material-material yang berbeda dapat menghasilkan konsep kemasan yang lebih ideal.
Pada umumnya, struktur lapisan kemasan MLP terdiri dari (1) lapisan terluar, yang memiliki fungsi untuk kekuatan mekanik dan kemampuan cetak, contoh materialnya adalah HDPE (polietilen densitas tinggi), PS (polistiren) dan kertas, (2) lapisan pengikat (tie layer), fungsinya adalah sebagai perekat, contoh materialnya adalah poliuretan.
Kemudan lapisan ketiga adalah lapisan fungsional yang ditambahkan sesuai dengan fungsinya masing-masing, misalnya sebagai penghalang oksigen, penghalang air dan cahaya. Lalu lapisan ke empat atau bagian dalam yang berfungsi sebagai penyegel (sealability), contoh material yang dipakai adalah LDPE (polietilen densitas rendah), PP (polipropilen), dan PA (poliamida).
Menurut laporan yang ditulis oleh Walker et al. 2020, lebih dari 100 juta ton kemasan MLP diproduksi secara global setiap tahunnya. Salah satu alasan mengapa kemasan MLP ini sangat banyak digunakan adalah biaya produksi yang murah karena semakin banyak penambahan aditif material semakin berkurang material utama yang digunakan.
Permasalahannya adalah kemasan saset tidak bisa didaur ulang dengan cara konvensional seperti daur ulang mekanik atau kimiawi biasa karena masing-masing lapisan material yang membentuk kemasan tersebut berbeda secara kimiawi. Agar dapat didaur ulang dengan menggunakan fasilitas infrastruktur yang sudah ada, sampah kemasan saset harus dipisahkan per lapisan plastiknya.
Sayangnya, pada saat ini di Indonesia belum ada teknologi yang secara komersial yang bisa melakukan pemisahan tersebut. Oleh karena itu, kemasan saset akhirnya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dihancurkan dengan insinerasi atau dibiarkan saja. Pada akhirnya, sampah plastik akan menjadi mikroplastik yang bisa masuk ke dalam sistem air minum atau makanan dan akan membahayakan kesehatan kita.
Komunitas masyarakat melalui Bank Sampah sebenarnya telah lama mencoba untuk menggunakan lagi sampah kemasan saset untuk produk kerajinan, seperti tas, topi, pajangan dan lain-lain. Walau mungkin ada yang bisa sampai tembus hingga pasar internasional, tetapi kebanyakan kualitasnya masih kurang sehingga pada akhirnya menjadi sampah baru.
Untung atau buntung?
Yang untung tentu saja perusahaan-perusahaan Fast Moving Consumer Groups (FMCG) tersebut. Dan yang buntung tentu saja kita. Kemasan saset yang murah memberikan halusinasi bahwa apa yang telah kita lakukan merupakan tindakan yang ekonomis, padahal jika dihitung-hitung membeli produk dalam kemasan saset lebih mahal dibandingkan dengan produk dengan kemasan biasa.
Bayangkan saja, satu kemasan sampo saset ukuran 6 ml berada di kisaran harga Rp 1000 sedangkan ukuran 340 ml harganya sekitar Rp 46.000. Jadi, dari segi ekonomi saja bisa dihitung kalau kita sebagai konsumen sudah tidak untung.
Minimalisasi penggunaan dan penyebaran sampah kemasan saset adalah masalah global yang membutuhkan tindakan kolektif dari pemerintah, industri dan kita sebagai pengguna. Pemerintah haruslah memperkuat peraturan bahkan pelarangan kemasan saset.
Implementasi PermenLHK No.P.75/2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen dimana produsen perlu menyusun, mengumpulkan, dan melaksanakan peta jalan untuk mencapai target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30% dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah di tahun 2029 harus dilakukan.
Pada saat ini sistem isi ulang produk dianggap menjadi alternatif untuk mengurangi permintaan produk kemasan saset. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya dapat lebih mendorong dan menfasilitasi perkembangan bisnis isi ulang dan produk lokal kemasan ramah lingkungan di Indonesia dengan pemberian insentif dan promosi besar-besaran dari mulai kota besar hingga pelosok pedesaan.
Menurut laporan brand audit tahun 2023, di antara perusahaan penghasil sampah saset di Indonesia, hanya 2 yang telah memulai proyek pengurangan limbah, sesuai dengan peraturan KLHK No. 75/2019. Selain itu, dari 42 produsen yang mempunyai peta jalan pengurangan limbah, baru 18 produsen yang melaksanakan proyek percontohannya.
Tetapi secara keseluruhan, perusahaan yang disebut dalam laporan tersebut masih memiliki komitmen yang rendah dalam mengurangi kemasan saset dalam peta jalan pengurangan limbah mereka. Oleh karena itu, perusahaan yang masih menggunakan kemasan saset untuk produknya harus siap untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari rencana daur ulang kemasan saset mereka dan mulai berinvestasi pada teknologi daur ulang yang berkelanjutan dan tentu saja ramah lingkungan.
Sebagai pengguna sebaiknya kita tidak menutup mata dan telinga mengenai dampak sampah kemasan saset terhadap lingkungan dan pada akhirnya dampak negatif itu akan kembali ke kita. Oleh karena itu menerapkan gaya hidup sadar lingkungan. Pro aktif dalam mencari informasi, dan memilah informasi yang benar bukanlah hal yang sulit pada saat ini.
Memahami informasi dan menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang sangat esensial. Stop menjadi generasi yang abai terhadap lingkungan dan mulai ciptakan ekosistem yang layak huni untuk generasi mendatang, untuk anak dan cucu kita kelak.
Penulis: Dian Burhani
Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk/Konversi Biomassa BRIN
(pal/pal)