Kata bajingan mengalami pergeseran makna yang sangat jauh dari aslinya. Sekarang kata tersebut memiliki makna yang negatif di masyarakat.
Kata bajingan muncul dari produk budaya dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut merujuk pada profesi yang ada dalam masyarakat Jawa.
Bajingan berarti sopir atau pengendali moda transportasi tradisional Jawa, yakni gerobak sapi. Sedangkan saat ini, bajingan menjadi suatu kata umpatan atau makian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai penjahat, pencopet, dan kata makian untuk kurang ajar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan buku Mengulas yang Terbatas, Menafsir yang Silam oleh Mahasiswa Prodi Sejarah Universitas Sanata Dharma 2015, bajingan dalam KBBI merujuk pada kata dasar bajing yang artinya tupai, yaitu binatang pengerat yang kerap mencuri kelapa dan dianggap pengganggu masyarakat.
Kata bajing lantas diturunkan menjadi bajingan untuk menggambarkan sifat jahat seseorang yang menjadi sumber keresahan di masyarakat. Penafsiran KBBI itu kemudian dikonsumsi oleh masyarakat tanpa melihat sejarah asal mula kemunculan kata tersebut.
Asal Usul Kata Bajingan
Kata bajingan diperkirakan telah muncul dan berkembang pertama kali di Jawa, khususnya Jawa Tengah, sebelum kekuasaan Sultan Agung.
Saat masa keemasannya, profesi bajingan amat vital untuk kehidupan ekonomi pedesaan di Jawa yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani.
Gerobak sapi saat itu adalah satu-satunya transportasi yang berkembang. Gerobak sapi mampu mengangkut beban yang lebih besar daripada mengangkut secara manual oleh perseorangan.
Salah satu sopir gerobak sapi di Bantul, Sriyanto (48) mengatakan bajingan mempunyai filosofi yang mendalam untuk kalangan mereka. Maka, dia menampik jika bajingan sarat dengan makna negatif.
"Bajingan itu bagusing jiwo angen-angen ning pangeran. Jadi pangeran itu seneng arepo sopir gerobak bajingan ning watake apik. Eling karo pangeran eling karo sembahyang," terang Sriyono kepada detikJateng (23/2/2022) lalu.
"Kan artinya bagus, walaupun sering bepergian, tetap berperilaku baik dan tidak meninggalkan kewajiban sembahyang (beribadah)," lanjutnya.
Sriyono yakin, sebutan bajingan adalah filosofi salah satu Wali Songo yakni Sunan Bonang. Oleh sebab itu, sebutan ini telah muncul sejak lama.
"Menurut filosofi dari Sunan Bonang. Jadi sudah lama penyebutan sopir gerobak itu bajingan," ujarnya.
Proses Perubahan Makna Kata Bajingan
Perubahan makna suatu kata bisa terjadi disebabkan masyarakat sebagai penuturnya sendiri itulah yang menjadikan bahasa ini beralih, karena mereka pula yang mengubah cara dalam pemakaian bahasa.
Dikutip dari skripsi tulisan Dito Ardhi Firmansyah berjudul "Konstruksi Makna Kata Bajingan (Studi Etnografi Perubahan Makna Kata Bajingan dalam Komunitas Kusir Gerobak Sapi di Bantul Yogyakarta)" dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, tak jarang para pengguna bahasa tidak sadar telah melakukan perubahan pada bahasanya sendiri dan kerap pula mencontoh bahasa dari masyarakat dan kebudayaan lain. Maka dari itulah, apabila penggunaan bahasa baru secara terus menerus digunakan dan ditiru lagi oleh masyarakat sekitar yang lain, maka bahasa asli dari masyarakat tersebut akan mengalami difusi dan terjadi perubahan linguistik.
Seperti kata bajingan yang dulunya di komunitas gerobak sapi Bantul, Yogyakarta bermakna sopir gerobak sapi. Namun, karena masyarakat luas mendifusi makna ini secara berbeda, akhirnya menjadi kata cemoohan untuk menggambarkan seseorang yang jahat atau nakal.
Padahal, kata bajingan dengan makna sopir gerobak sapi digambarkan sebagai orang yang kasar, kuat, dan pemberani mengamankan hasil panen dari begal. Dalam pemaknaan ini, kasar; kuat; dan pemberani memiliki makna yang positif.
Pada kata bajingan, perubahan makna terjadi karena adanya perubahan eksternal yang disebabkan masyarakat mempersepsikan dan menginterpretasi kata dengan makna yang dipahaminya sendiri.
(nah/nwk)