Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan potensi kekeringan meteorologis di sejumlah wilayah di Indonesia harus diantisipasi dampaknya.
"Laporan kepada Presiden perihal kondisi iklim dan kesiapsiagaan kekeringan 2024 sudah kami sampaikan agar mendapat atensi khusus pemerintah sehingga risiko dan dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi dan diminimalisir sekecil mungkin," tutur Kepala BMKG Dwikorita Karnawati beberapa waktu lalu, dikutip dari laman BMKG, Selasa (25/6/2024).
Hasil monitoring BMKG terhadap indeks ENSO menunjukkan potensi menuju La Nina lemah terjadi pada JAS 2024 atau selama Juli, Agustus, dan September 2024. ENSO atau El Nino-Southern Oscillation dalam hal ini adalah anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menyebut anomali iklim global di Samudera Pasifik sudah menunjukkan indeks ENSO +0,21 atau netral per Mei 2024. Kondisi netral ini diprediksi masih terjadi hingga Juli 2024.
Kemudian, ENSO netral diperkirakan akan beralih ke La Nina lemah pada Juli-September 2024. Akibatnya, potensi hujan bulanan akan sangat rendah, yakni kurang dari 50 mm per bulan.
Daerah yang Diprediksi Alami Kekeringan
Ardhasena mengatakan beberapa daerah harus mendapatkan perhatian khusus untuk mengantisipasi dampak kekeringan. Di antaranya yaitu Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Pulau Sulawesi, dan sebagian Maluku dan Papua.
"Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau," ujarnya.
Menurut Dwikorita, mayoritas wilayah di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) selama 21-30 hari. Adapun kondisi kering telah terlihat di bagian selatan khatulistiwa.
"Sebagian wilayah Indonesia sebanyak 19% dari zona musim sudah masuk musim kemarau, dan diprediksi sebagian besar wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara segera menyusul memasuki musim kemarau dalam tiga dasarian ke depan. Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September," jelasnya.
Langkah Mitigasi dan Antisipasi Kekeringan
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto kemudian memberikan beberapa rekomendasi teknis sebagai langkah mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan meterologis ini, salah satunya menerapkan teknologi modifikasi cuaca.
Teknologi tersebut bisa dimanfaatkan untuk mengisi waduk-waduk di daerah yang berpotensi alami kekeringan. Terlebih bagi daerah yang rawan mengalami karhutla.
Seto berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Pertanian (Kementan) bisa memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan terdampak. Sementara itu, Dwikorita mengimbau pemerintah daerah untuk mulai memanen air hujan secara masif.
Panen air hujan bisa dilakukan lewat tandon-tandon atau tampungan air, kolam retensi, embung-embung, sumur resapan, dan lainnya. Langkah itu merupakan bentuk upaya mitigasi terjadinya kondisi ekstrem hidrometeorologi basah.
"Terkait pertanian, maka pola dan waktu tanam untuk iklim kering pada wilayah terdampak dapat menyesuaikan. Karenanya, BMKG akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Menteri Pertanian dan gubernur provinsi terdampak," katanya.
(cyu/twu)