Cengkeh merupakan komoditas penting dalam perdagangan internasional sejak zaman dahulu. Bahkan cengkeh telah dikenal sebagai rempah berharga sejak ratusan tahun sebelum masehi, yakni pada masa kekaisaran Cina dan Romawi kuno.
Konon bangsa Eropa pada abad ke-16 tergerak untuk mengarungi samudera dan mengelilingi dunia guna mencari pulau asal cengkeh serta tidak segan-segan untuk melakukan monopoli perdagangan dan melakukan kolonisasi.
Tanaman yang memiliki nama latin Syzygium aromaticum ini berasal dari Kepulauan Maluku dan sejak dahulu kala biasa digunakan untuk keperluan medis, kuliner, dan wewangian. Pada masa modern cengkeh juga diolah sebagai bahan utama rokok kretek yang khas dengan aromanya yang unik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia merupakan produsen cengkeh terbesar di dunia. Data Kementerian Pertanian pada tahun 2010-2020 mencatatkan setidaknya Indonesia dapat memproduksi bunga kering cengkeh sebesar rata-rata 130 ribu ton per tahun dengan sentra produksi terbesar di Sulawesi dan Maluku.
Namun di balik potensi ekonominya yang besar, laporan terbaru menunjukkan bahwa Indonesia saat ini mengalami indikasi penurunan produksi cengkeh dalam beberapa tahun belakangan. Data dari tahun 2022-2023 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami trade deficit sebagai negara pengimpor cengkeh dengan nilai rata-rata USD 141,47 juta.
Hal ini dikarenakan konsumsi domestik cengkeh di Indonesia sangatlah besar untuk keperluan rokok kretek namun lama kelamaan suplai cengkeh Indonesia yang sekitar 90% diproduksi oleh perkebunan rakyat tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Produktifitas lahan cengkeh per hektar Indonesia (2,334 kg/ha) kalah jauh dibandingkan negara-negara produsen cengkeh lainnya seperti Republik Rakyat Cina (12,39 kg/ha), Tanzania (9,96 kg/ha) dan Sri Lanka (7,475 kg/ha).
Para petani cengkeh dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah serangan hama yang dapat mengancam produksi dan kualitas cengkeh.
Ragam Hama pada Tanaman Cengkeh
Berdasarkan letak serangannya, hama penggerek pada pohon cengkeh dapat dibedakan menjadi tiga kelompok utama yaitu penggerek batang, penggerek ranting, dan penggerek cabang.
Setiap kelompok hama ini memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda pada tanaman cengkeh. Pertama, hama penggerek batang cengkeh menyerang dengan cara mengebor batang utama pohon. Gejala serangan biasanya ditandai dengan adanya lubang pada batang yang mengeluarkan cairan mirip lendir.
Tiga jenis ulat kumbang sungut panjang (family Cerambycidae) yang dikenal sebagai penggerek batang adalah Hexamitodera semivelutina, Nothophorus hemipterus, dan N. fasciatipennis. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi cengkeh secara signifikan dan bahkan menyebabkan kematian pohon.
Kedua, hama penggerek ranting menyerang ranting pohon cengkeh, menyebabkan ranting mengering dan produksi menurun. Hama yang paling umum dalam kelompok ini berasal dari kumbang ambrosia genus Xyleborus spp. (famili Scolytidae). Namun, hingga saat ini, nama pasti jenisnya belum diketahui dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Ada kemungkinan lebih dari satu jenis hama yang menyerang ranting cengkeh di Indonesia.
Ketiga, hama penggerek cabang, terutama dari jenis Cryptophasa, menyerang dengan cara mengebor dan membuat lubang di cabang pohon, kemudian menutup lubang tersebut dengan jaring sutra dan kotorannya. Ulat ini aktif pada malam hari dan memotong daun untuk dibawa ke dalam lubang sebagai makanan.
Salah satu spesies, Cryptophasa watungi, telah menyebabkan kerusakan parah pada cabang cengkeh di Sulawesi Utara sejak 2013. Namun, penemuan terbaru oleh tim peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN bersama dengan Universitas Sam Ratulangi menunjukkan adanya spesies baru, Cryptophasa warouwi, yang endemik di Pulau Sangihe.
Jenis Baru Kupu-kupu Malam Sangihe Penggerek Cengkeh
Ulat kupu-kupu malam ini terdeteksi oleh tim pertama kali menyerang cabang cengkeh di tahun 2016 pada 2 desa dan 2 kecamatan di Pulau Sangihe. Namun pada 2023 persebarannya dimonitor semakin meluas hingga ke 9 desa dan 5 kecamatan.
Melalui penelitian lebih lanjut menggunakan karakter morfologi, genitalia dan molekuler (DNA mitokondria), didapati bahwa ulat ini merupakan jenis baru yang berbeda dari Cryptophasa watungi yang dapat ditemukan di Sulawesi bagian utara. Maka dari itu Cryptophasa warouwi kemudian dideskripsikan menjadi jenis baru pada jurnal Zootaxa volume 5403 nomor 1 pada Januari 2024.
Cryptophasa warouwi ini memiliki ciri khas pada sayapnya yang berbeda dengan C. watungi. Pejantan C. warouwi memiliki corak coklat gelap yang khas di sepanjang bagian costa sayap depan, sedangkan betinanya memiliki bercak warna coklat tua yang mencolok.
Nama spesies baru ini didedikasikan untuk Dr. Ir. Jootje Warouw dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang telah melakukan banyak penelitian mengenai pengendalian hama di Pulau Sangihe dan Talaud.
Hama ini tersebar di beberapa desa di wilayah Tabukan Utara, Tabukan Timur Laut, Tabukan Tengah, Manganitu, dan Tamako. Serangan serius oleh hama ini menyebabkan cabang dan ranting mati, sehingga pohon cengkeh kehilangan banyak daunnya.
Selain menyerang cengkeh, ada indikasi bahwa Cryptophasa warouwi juga memiliki potensi untuk melakukan "host jumping", yaitu kemampuan berpindah dan menyerang tanaman lain dari famili yang sama dengan cengkeh, Myrtaceae, seperti jambu air dan jambu biji. Fenomena ini memerlukan perhatian dan penelitian lebih lanjut karena dapat memperluas dampak negatif hama ini pada berbagai jenis tanaman.
Mengenali dan memahami berbagai jenis hama penggerek cengkeh serta penemuan spesies baru seperti Cryptophasa warouwi sangat penting bagi petani dan pemerintah. Dengan pengetahuan ini, langkah-langkah pencegahan dan pengendalian dapat lebih efektif dilakukan, menjaga produksi dan kualitas cengkeh Indonesia tetap optimal.
Oleh: Hari Sutrisno, Encilia, Raden Pramesa Narakusumo
Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional
(pal/pal)