Ditolak 9 Negara, Begini Sejarah Keanggotaan Palestina di PBB

ADVERTISEMENT

Ditolak 9 Negara, Begini Sejarah Keanggotaan Palestina di PBB

Fahri Zulfikar - detikEdu
Rabu, 15 Mei 2024 14:30 WIB
Members of the United Nations Security Council meet on the day of a vote on a Gaza resolution that demands an immediate ceasefire for the month of Ramadan leading to a permanent sustainable ceasefire, and the immediate and unconditional release of all hostages, at U.N. headquarters in New York City, U.S., March 25, 2024. REUTERS/Andrew Kelly
Foto: REUTERS/Andrew Kelly/Suasana saat DK PBB Setujui Resolusi Gencatan Senjata Gaza
Jakarta -

Sembilan negara menolak keanggotaan Palestina dalam pengesahan resolusi yang dilakukan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (10/5/2024) lalu. Negara-negara yang menolak adalah AS, Israel, Argentina, Republik Ceko, Hungaria, Papua Nugini, Mikronesia, Nauru, dan Palau.

Dalam pemungutan suara yang dilakukan, mayoritas negara anggota PBB yakni sejumlah 143 mendukung Palestina menjadi anggota penuh PBB dan 25 negara memilih abstain (tidak memberikan suara).

Dengan resolusi ini, hak Palestina dalam PBB bertambah dan bisa lebih kuat. Majelis Umum PBB juga mendorong Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mempertimbangkan kembali pengajuan Palestina menjadi anggota penuh PBB ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama ini, jumlah negara anggota PBB adalah 193. Palestina tidak termasuk keanggotaan PBB, melainkan hanya negara pengamat non anggota. Status ini membuat Palestina tidak dapat memberikan suara dalam organisasi tersebut.

Sejak dulu, Palestina telah mengajukan permohonan keanggotaan penuh di PBB, tetapi statusnya tetap saja dibatasi sebagai pengamat karena masih adanya sengketa wilayah dengan negara anggota PBB yakni Israel.

ADVERTISEMENT


Bagaimana Sejarah Keanggotaan Palestina di PBB?

Berikut kronologi sejarah bagaimana negara Palestina muncul dalam organisasi internasional seperti PBB hingga diusulkan menjadi anggota tetap, sebagaimana dikutip dari laman resmi PBB.

1917-1947

Pada 1917, terdapat mandat dari pemerintahan Inggris untuk mendukung pembangunan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.

Pada 1922, secara administratif, Palestina merupakan salah satu bekas wilayah Ottoman yang ditempatkan di bawah pemerintahan Inggris oleh PBB. Kemudian selama 'Mandat Inggris' berlangsung, terjadi imigrasi Yahudi besar-besaran terutama dari Eropa Timur, ke wilayah Palestina.

Pada 1937, terdapat tuntutan kemerdekaan dan perlawanan bangsa Arab di Palestina terhadap imigrasi, yang menyebabkan pemberontakan dan kekerasan dari kedua belah pihak. Kemudian, Inggris menyerahkan masalah Palestina ke PBB pada 1947.

1947-1977

PBB mengusulkan penghentian 'Mandat Inggris' dan pembagian Palestina menjadi dua negara merdeka, satu negara Arab Palestina dan satu lagi negara Yahudi, dengan Yerusalem sebagai wilayah yang diinternasionalkan (Resolusi 181 (II) tahun 1947).

Pada 1948, terjadi perang antara Israel dan beberapa negara-negara Arab. Israel kemudian memproklamirkan kemerdekaannya. Akibatnya, lebih dari separuh penduduk Arab Palestina melarikan diri atau diusir.

Pada penyerangan tahun 1967, Israel berhasil menduduki wilayah tersebut (Jalur Gaza dan Tepi Barat) termasuk Yerusalem Timur, yang kemudian dianeksasi oleh Israel. Penyerangan ini mengakibatkan eksodus kedua warga Palestina, yang diperkirakan berjumlah setengah juta orang.

Resolusi Dewan Keamanan 242 PBB (1967) kemudian merumuskan prinsip-prinsip perdamaian yang adil dan abadi, termasuk penarikan Israel dari wilayah yang diduduki konflik, penyelesaian masalah pengungsi yang adil, dan penghentian semua klaim atau keadaan berperang.

Pada 1974, Majelis Umum PBB menegaskan kembali hak-hak rakyat Palestina yang tidak dapat dicabut untuk menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan, dan hak untuk kembali.

Pada tahun berikutnya, Majelis Umum membentuk Komite Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina dan menganugerahkan status pengamat kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Majelis dan konferensi PBB.

1977-1990

Pada September 1983, Konferensi Internasional tentang Pertanyaan Palestina (ICQP) mengadopsi prinsip-prinsip berikut:

- Perlunya menentang pemukiman Israel dan tindakan Israel untuk mengubah status Yerusalem

- Hak semua negara di kawasan untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan internasional

- Pengakuan batas-batas

- Pencapaian hak-hak rakyat Palestina yang sah dan tidak dapat dicabut

Pada tahun 1987, pemberontakan massal melawan pendudukan Israel dimulai di Wilayah Pendudukan Palestina (intifada). Dalam peristiwa ini, serangan brutal Israel mengakibatkan banyak korban jiwa di kalangan penduduk sipil Palestina.

Pada 1988, kemudian diadakan pertemuan Dewan Nasional Palestina di Aljir untuk memproklamirkan berdirinya Negara Palestina.

1990-an

Konferensi Perdamaian antara Israel dan Palestina dengan Israel dan negara-negara Arab diadakan di Madrid pada 1991. Tujuannya adalah untuk mencapai penyelesaian damai melalui negosiasi langsung.

Perundingan jalur multilateral ini berlangsung cukup baik. Hasil yang terlihat antara lain adanya pengakuan timbal balik antara Pemerintah Israel dan PLO, perwakilan rakyat Palestina, dan penandatanganan Deklarasi Prinsip-prinsip Pengaturan Pemerintahan Sendiri Sementara (DOP atau "Perjanjian Oslo") pada 1993.

Kala itu, keterlibatan PBB dianggap sangat penting baik sebagai penjaga legitimasi internasional maupun dalam mobilisasi dan penyediaan bantuan internasional.

Selain itu, pada 5 Oktober 1990, para anggota Dewan Keamanan PBB juga memilih untuk mengizinkan pengamat Palestina berpartisipasi dalam diskusi Dewan PBB mengenai situasi terkini di wilayah Palestina yang diduduki.

2000-an

Pada tahun 2000, Israel memulai pembangunan tembok pemisah Tepi Barat, yang sebagian besar terletak di Wilayah Pendudukan Palestina, yang dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Internasional.

Kemudian pada 2002, Dewan Keamanan menegaskan visi dua negara, Israel dan Palestina. Setahun kemudian, Kuartet (AS, UE, Rusia, dan PBB) merilis 'Peta Jalan' menuju solusi dua negara.

Perjanjian perdamaian Jenewa yang tidak resmi diumumkan oleh tokoh-tokoh terkemuka Israel dan Palestina kala itu. Pada 2005, Israel menarik pemukim dan pasukannya dari Gaza sambil tetap mempertahankan kendali atas perbatasan, pantai, dan wilayah udaranya.

Namun, setelah pengambilalihan bersenjata atas Gaza oleh Hamas pada 2007, Israel memberlakukan blokade. Pada 2008, tembakan roket dan serangan udara meningkat dan mencapai puncaknya pada operasi darat Israel "Cast Lead" di Gaza.

Dewan Keamanan PBB bertindak dengan mengadopsi resolusi 1860. Pelanggaran hukum internasional selama konflik Gaza diselidiki oleh PBB ("Laporan Goldstone").

2011: Mengajukan Menjadi Anggota PBB

Pada 2011, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas mengajukan permohonan untuk negaranya agar menjadi anggota PBB. UNESCO kemudian mengakui Palestina sebagai Anggota.

Tepat pada tanggal 29 November 2012, Palestina diberikan status negara pengamat non-anggota di PBB. Status ini belum membuat Palestina memiliki hak suara di PBB.

Pada akhirnya, kekerasan dan serangan terus dilancarkan beberapa kali oleh Israel di Jalur Gaza. Mulai dari Juli-Agustus 2014 hingga Oktober 2023 dan masih berlangsung hingga 2024.

2024

Majelis Umum PBB secara resmi meminta Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan kembali permohonan Palestina pada 2011 untuk menjadi anggota penuh PBB.

Adapun, syarat untuk menjadi anggota, harus atas persetujuan Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yakni Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis dan Inggris adalah negara yang mempunyai hak veto atau hak istimewa.

Dalam permohonan ini, AS telah mengindikasikan bahwa penolakannya terhadap status anggota Palestina di PBB, karena tidak adanya kesepakatan yang lebih luas antara Palestina dengan Israel, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.

Saat ini, sudah ada 143 negara atau lebih dari dua pertiga anggota Majelis Umum yang mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Ini artinya, mayoritas negara di dunia setuju terhadap dukungan Palestina menjadi anggota ke-194 PBB.

Meski begitu, tanpa mengesampingkan mayoritas anggota Majelis Umum, masih ada negara di Dewan Keamanan yang nyatanya memiliki hak veto.

Hasil voting Majelis Umum PBB ini tidak memberikan keanggotaan penuh pada Palestina. Dukungan 143 negara ini hanya menjadi pengakuan secara simbolis bahwa Palestina memenuhi syarat untuk bergabung dengan PBB.




(faz/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads