Proses pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia menjadi masalah hangat yang terus dibicarakan beberapa waktu ke belakang. Dalam pemilu nasional 2024, berbagai laporan kecurangan didapat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Mengutip laman resmi Bawaslu, ada 1.023 dugaan pelanggaran pemilu 2024 yang didapat melalui laporan dan temuan. Dari jumlah tersebut Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja memutuskan 479 merupakan pelanggaran, 324 bukan pelanggaran, dan sisanya masih dalam proses penanganan.
Untuk mengurangi angka ini, pemerintah Indonesia perlu melakukan berbagai upaya. Salah satunya melalui proses digitalisasi pemilu melalui e-Voting.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu e-Voting?
E-Voting atau Electronic Voting adalah proses pemungutan dan penghitungan suara menggunakan perangkat elektronik atau teknologi informasi. Perangkat ini dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama PT Inti Konten Indonesia sejak tahun 2013.
Pencipta aplikasi e-Voting yang juga Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Sains Data dan Informasi BRIN, Dra Andrari Grahitandaru MSc menjelaskan e-Voting sebenarnya sudah diujikan materinya ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga seharusnya pemilu di Indonesia sudah bisa menggunakan e-Voting.
"Pengembangan e-Voting diawali dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian saat ini pemilu Indonesia sudah bisa menggunakan e-Voting. Tapi saat ini baru ditingkat pilkades (pemilihan kepala desa)," tutur Andrari dalam acara penandatanganan perjanjian lisensi Hak Cipta "Aplikasi Pemilu Elektronik (e-Voting)" antara BRIN dengan PT Inti Konten Indonesia, Selasa (19/3/2024) di Gedung BJ Habibie BRIN, Jl MH Thamrin No 9, Jakarta.
Kelebihan e-Voting
Sebagai upaya dalam proses mendigitalisasi pemilu di RI, e-Voting memiliki berbagai kelebihan. Di antaranya efisien dan efektif, penghitungan suara lebih cepat, tidak ada duplikasi data pemilih, tidak ada surat suara rusak, akurasi penghitungan suara tinggi, dan menghemat biaya dalam jangka panjang.
Meskipun berjudul elektronik, Andrari menjelaskan proses pelaksanaan pemilu tetap dilakukan di TPS (tempat pemungutan suara). Bedanya, bukan mencoblos peserta pemilu akan memilih calon di layar komputer secara langsung.
"Prosesnya hanya dua kali sentuh. Pertama sentuh calon, kemudian layar kedua adalah konfirmasi iya atau tidak. Ketika pilihan menjadi iya, maka langsung terdata struk auditing yang menjadi bukti hukum resmi," kata Andrari.
Menariknya e-Voting tidak terhubung ke jaringan apa pun selama proses pemungutan suara. Hal ini dimaksudkan untuk menanggulangi hadirnya hacker selama proses pemilu berlangsung.
Namun, setelah penghitungan suara selesai, perangkat akan dihubungkan dengan internet dan proses pengiriman data dilakukan secara langsung dengan satu kali klik kepada KPU. Sedangkan Bawaslu, akan mendapat informasi terkait log file dari aplikasi sehingga pemantauan bisa dilakukan secara langsung.
Dalam hal menghemat biaya dalam jangka panjang, Direktur Utama PT Inti Konten Indonesia, Rizqi Ayunda Pratama SKom MBA menyatakan ada dua opsi yang bisa dipilih daerah ketika ingin melakukan pemilihan melalui e-Voting. Pertama membeli perangkat ataupun sewa.
"Prosesnya sangat fleksibel, jika daerah sudah punya komputer pakai itu aja. Sisanya kita yang siapkan dari aplikasi yang ada lisensinya dan KTP Electronic Reader-nya untuk disewakan," jelas Rizqi.
Tidak sembarangan, Rizqi menambahkan petugas di lapangan juga harus disiapkan. Seluruh tim Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) akan melakukan sertifikasi resmi untuk menjamin proses pemilu aman dan lancar.
"Selama pengujian aplikasi aman, akses ratenya 100% jadi harus percaya," ungkapnya.
Bila masih kebingungan, PT Inti membuka sesi konsultasi untuk kabupaten yang ingin melaksanakan proses pilkades menggunakan e-Voting. Pihak terkait bisa mengunjung PT Inti di Jalan Balitung 1 No 17 Jakarta Selatan setiap hari Jumat.
Perlu Ada Reformasi Kepemiluan
Hingga saat ini, e-Voting memang masih dilakukan di tingkat pilkades. Meskipun begitu, Andrari menyatakan tidak menutup kemungkinan dan menjadi tujuan akhir bila e-Voting dilakukan di tingkat pilkada ataupun pilpres secara nasional.
Namun hal ini menurutnya tidak mudah, karena ketika berubah ke e-Voting proses bisnis KPU jika ikut berubah. Terlebih masa jabatan KPU hanya lima tahun dan terus berganti kebijakan usai kepemimpinan berubah.
"E-Voting membutuhkan perubahan besar sayangnya masa jabatan KPU itu hanya lima tahun. Bagaimana mau membuat perubahan besar. Oleh karenanya Sekjen KPU harus kuat, jadi siapapun komisionernya dapat melakukan reformasi kepemiluan melalui teknologi," pungkas Andrari.
(det/nah)