Ada pilihan pengaturan di media sosial untuk membuat akun menjadi privasi. Pengaturan privasi ini membuat pemilik leluasa untuk memilih siapa saja pengguna yang bisa melihat profil miliknya. Tapi apakah akun yang privat sudah aman?
Hasil survei Penyedia Internet Satelit, Viasat Savings, mengungkapkan bahwa melakukan privasi akun media sosial bukan berarti akun aman 100% dari segala ancaman siber.
Dalam survei tersebut, hampir 50% dari responden mengaku menjaga akun media sosial dengan mode pribadi atau privat. Sementara separuh lainnya memilih untuk mempublikasi dan terbuka dengan media sosialnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data ini juga menunjukkan bahwa banyak orang masih merasa nyaman dengan tetap menggunakan akun media sosial dan aplikasi yang menyertainya secara terbuka.
Beda Cara Pandang Penggunaan Media Sosial
Menurut spesialis telekomunikasi perumahan dan bisnis di Viasat Savings, Autumn Knowles, pola pemilihan ini juga dipengaruhi oleh generasi yang berbeda.
"Berbeda generasi, maka berbeda juga cara memandang media sosial," ucapnya dalam Forbes, dikutip Jumat (15/3/2024).
"Kami bertanya kepada orang-orang tentang alasan mereka menyimpan aplikasi daripada menghapusnya. Sebagian besar responden menyimpan aplikasi agar tetap terhubung dengan teman dan keluarga," tambah Knowles.
Knowles mengatakan bahwa responden Gen Z cenderung lebih menyimpan aplikasi tertentu karena mereka membutuhkan akses ke akun mereka.
Gen Z juga berbeda dari generasi lain karena persepsi mereka terhadap media sosial sebagai alat online dan bukan sebagai sarana untuk tetap terhubung dengan orang lain.
Berapa Banyak Orang yang Membuat Akun Media Sosial Menjadi Privat?
Menurut survei tersebut, diketahui bahwa 71% responden menghabiskan waktu untuk memeriksa pengaturan privasi tambahan saat mereka mendaftar ke platform media sosial.
Knowles tidak mengantisipasi ada sebanyak 71% orang akan memeriksa pengaturan privasi tambahan di aplikasi.
"Ini menunjukkan bahwa orang-orang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pengaturan privasi mereka ketika ada kesempatan," paparnya.
Dalam survei juga menunjukkan bahwa 50% responden memperbarui pengaturan privasi pada tahun lalu karena masalah privasi.
"Pada tahun 2019 sedang hangat serangan siber dan pelanggaran data. Maka tidak heran bahwa ada separuh responden memperketat pengaturan privasi sosial mereka," kata Knowles.
Media Sosial Menjadi Sasaran Ancaman Siber
Meski begitu, para ahli tetap menyarankan agar publik lebih berhati-hati dalam menjaga privasi. Sebab, menjadikan akun media sosial menjadi privat belum tentu aman.
Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 100.000 informasi pribadi influencer media sosial telah disusupi dan/atau bocor setelah adanya pelanggaran terhadap perusahaan pemasaran media sosial Preen.Me.
Laporan dari RiskBasedSecurity.com mengungkapkan bahwa lebih dari 250.000 pengguna media sosial, mungkin terekspos informasinya di forum peretasan web.
Jika menilik ke belakang, pada 6 Juni 2020, telah ditemukan kebocoran data dari forum peretasan web ketika seorang hacker memposting telah menyusupi sistem Preen.Me dan mendapat informasi 100.000 lebih influencer yang berafiliasi.
Serangan mengejutkan ini disangkal oleh pakar keamanan bahwa hal tersebut tidak seharusnya dapat terjadi. Di kalangan influencer, media sosial menjadi media berbagi, bahkan seringkali merupakan informasi pribadi.
"Walaupun kebanyakan orang cenderung memperhatikan pelanggaran yang melibatkan kata sandi, nomor kartu kredit, atau informasi keuangan lainnya, pengguna mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar informasi pribadi mereka tidak dapat dihapus," kata Erich Kron, seorang advokat kesadaran keamanan di KnowBe4.
Meningkatnya Fenomena Doxing
Di dunia internet, terdapat fenomena doxing yakni tindakan meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik terhadap seorang individu atau organisasi.
Metode ini bertujuan untuk mencari basis data yang tersedia untuk umum dan situs media sosial, meretas, dan rekayasa sosial.
Para ahli memperingatkan jika praktik doxing telah lama dipandang sebagai pelanggaran serius dalam komunitas keamanan siber karena potensi dampaknya yang besar.
"Doxing telah merilis informasi yang sama tentang ratusan ribu korban yang berada dalam risiko. 230.051 catatan berisi informasi seperti nama akun Facebook dan daftar teman terkait menjadi tambang emas bagi para ahli sosial," ungkap Korn.
Hal yang mengerikan lagi, Korn mengatakan bahwa data tersebut digunakan untuk membuat akun palsu yang bisa menyerang orang terdekat.
"Seringkali serangan dilakukan melalui permintaan pertemanan atau pesan palsu untuk membuat pengguna percaya, padahal sebenarnya sedang ada penyebaran malware atau penipuan lainnya," tambahnya.
Jadi, terkait membuat privat akun untuk membuat informasi pribadi aman, hal ini bukanlah solusi yang tepat. Sebab, menurut pakar, sebaiknya harus waspada dan membatasi pembagian informasi di internet untuk menghindari ancaman kejahatan siber.
(faz/faz)