Kanopi hutan Pulu Tanna, Vanuatu, Pasifik ditemukan pulih dengan cepat usai bencana angin Topan Pam pada 2015. Tingkat pertunasan tinggi, penanaman spesies pohon yang ada, dan kurangnya spesies invasif menurut peneliti bantu pemulihan hutan.
Topan Pam menerjang daratan Pulau Tanna selama 18 jam pada Maret 2015. Topan ini mencapai kecepatan angin 165 mile per hour (mph). Ini menjadikan bencana tersebut sebagai siklon pulau Pasifik terkuat dalam sejarah saat itu.
Perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan intensitas dan frekuensi siklon di kawasan kepulauan Samudra Pasifik. Akibatnya, area hutan dan masyarakat kepulauan Pasifik yang menggantungkan kehidupannya pada hutan berisiko terdampak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pohon Tahan Topan
Tim periset asal University of Hawaii (UH) MΔnoa, New York Botanical Garden (NYBG), University of the South Pacific (USP), Pusat Kebudayaan Vanuatu, dan Departemen Kehutanan Vanuatu meneliti pemulihan pasca-siklon di 8 lokasi hutan di Tanna selama 5 tahun.
Tamara Ticktin dari Fakultas Ilmu Hayati University of Hawaii, MΔnoa menjelaskan, cepatnya pemulihan hutan Tanna juga didukung jumlah kerusakan parah yang rendah pada pohon-pohon ketimbang topan di kepulauan Pasifik lain.
Ia dan rekan-rekan peneliti memperkirakan siklon yang kerap terjadi di Tanna memengaruhi banyak spesies jadi tahan angin topan. Di samping itu, praktik pengelolaan hutan di sana mendukung kemampuan seisinya bertahan dari bencana alam tersebut.
Sementara itu, hutan yang sebelumnya dijadikan lahan penggembalaan sapi dan babi pulih lebih lambat. Area ini lebih rentan terhadap siklon mendatang.
Peran Besar Pengelolaan Hutan secara Adat
Ahli etnobotani Michael J Balick menjelaskan, para pengurus kawasan Tanna mengedepankan keanekaragaman spesies pohon, sejarah kehidupan dan tahapan kehidupannya, serta berbagai jalur regenerasi pohon.
Direktur dan Kurator Institute for Economic Botany tersebut juga mendapati pengelolaan hutan berdasarkan adat di Tanna juga mendukung kelangsungan hidup dan reproduksi spesies.
"Pengurus Tanna menghargai beragam spesies yang berguna untuk makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan," kata Wakil Presiden The New York Botanical Garden (NYBG) untuk Ilmu Pengetahuan Botani tersebut, dikutip dari EurekAlert.
Para peneliti tidak menyangka spesies invasif tidak menyebar cepat usai topan seperti yang biasanya terjadi. Peneliti Jean-Pascal Wahe dari Pusat Kebudayaan Vanuatu mendapati, para petugas menyiangi spesies pohon asli dan bahkan menanamnya kembali usai topan. Langkah ini bantu memastikan regenerasi pohon sekaligus mengurangi dominasi spesies tumbuhan sekunder seperti rumput-rumputan.
"Hal ini menyoroti peran kunci pengelolaan hutan dalam membangun ketahanan terhadap perubahan iklim," kata Gregory M Plunkett, Direktur NYBG dan Kurator Program Cullman untuk Sistematika Molekuler
Plunkett dan Balick, beserta Marika Tuiwawa asal USP sudah meneliti tumbuhan di Vanuatu selama 20 tahun. Mereka juga mengalami sendiri topan tersebut terjadi.
Bagi Plunkett, menyaksikan pemulihan hutan jadi hal yang menyenangkan. Sebab, di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem, hasil studi mereka di Science of the Total Environment mendapati cara menjaga kelangsungan hutan.
"Ketika dunia mulai menghadapi kejadian cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, penelitian kami menunjukkan bahwa interaksi manusia yang tepat dapat memainkan peran penting dalam kelangsungan hutan," pungkasnya.
(twu/nwk)