Survei: Baliho Bukan Sumber Informasi Politik yang Utama bagi Mahasiswa

ADVERTISEMENT

Survei: Baliho Bukan Sumber Informasi Politik yang Utama bagi Mahasiswa

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 31 Jan 2024 11:00 WIB
12 program prioritas yang diharapkan mahasiswa bagi Capres dan Cawapres berdasarkan survei Praxis Indonesia, paling unggul masalah ekonomi.
Diskusi survei Praxis Indonesia tentang tidak efektifnya penggunaan baliho sebagai media kampanye bagi mahasiswa. Foto: (Devita Savitri/detikcom)
Jakarta -

Menuju pemilihan umum (pemilu) 2024 berlangsung, area publik dipenuhi dengan pemasangan alat peraga baliho politik yang menampilkan wajah capres-cawapres, caleg DPR ataupun DPRD. Namun, ternyata baliho politik ini dinilai mengganggu dan tidak menyampaikan pesan secara efektif.

Bahkan bagi mahasiswa, baliho atau iklan out of home (OOH) bukanlah sumber informasi politik bagi mereka. Hal ini diungkap dalam survei Praxis PR yang dilakukan dalam dua metodologi, kuantitatif dan kualitatif.

Survei kuantitatif dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa dengan rentang usia 16-25 tahun dan dilakukan pada 34 provinsi di Indonesia. Sedangkan riset kualitatif dilakukan pada 15 Januari 2024 melalui aktivitas Focus Group Discussion (FGD).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

FGD ini bekerja sama dengan Election Corner (EC) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) dan melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).

Hasilnya ditemukan hanya ada 21,08 persen mahasiswa yang menilai baliho bekerja dengan efektif. Sisanya mereka memilih media massa daring (66,43%), Instagram (50,63%), dan televisi (47,15%) sebagai sumber informasi terkait politik.

ADVERTISEMENT

Hal ini menunjukkan mahasiswa masih mengacu pada sumber pemberitaan yang kredibel ketika mencari informasi politik. Sedangkan media sosial digunakan sebagai ruang untuk melihat secara personal terkait calon pemimpin yang akan dipilih nantinya.

Alasan Baliho Masih Digunakan

Lalu mengapa penggunaan baliho tetap dilakukan meski tidak menjadi sumber informasi?

Content Creator sekaligus Founder Malaka Project Ferry Irwandi menjelaskan, seharusnya baliho tidak lagi hadir di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung karena informasi lebih mudah ditemukan. Tetapi bagi daerah lain, hal ini masih efektif.

"Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan lain-lain, di mana informasi lebih mudah ditemukan, rasanya kurang masuk di akal jika baliho politik masih bertebaran di mana-mana. Segregasinya masih sangat miskin," ungkapnya dalam acara pembedah hasil #PraxiSurvey bertema Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024 di Jakarta (22/1/2024) lalu dikutip Rabu (31/1/2024).

Tetapi nyatanya di kota-kota besar, baliho politik dan bendera partai dinilai merusak estetika dan pemandangan. Ferry menjelaskan ia bahkan menemukan baliho politik dari pemilu di tahun 2019.

"Ini tandanya para partai politik tersebut hanya memasang saja, tanpa memikirkan bagaimana membersihkan baliho-baliho ini," tambahnya.

Selain merusak pemandangan, baliho politik juga menyebabkan masalah lain dan memakan korban pengendara di jalan. Seperti sepasang suami istri yang mengalami kecelakaan sepeda motor di fly over Mampang Prapatan, Jakarta Selatan karena bendera partai yang roboh.

Selanjutnya di Cakung, Jakarta Timur ada dua orang ibu-ibu yang tertimpa baliho kampanye caleg. Sehingga ketika kampanye selesai, partai politik sebaiknya ditindak tegas untuk membersihkan baliho dan bendera partai agar tidak terjadi korban selanjutnya.

Tradisi yang Sulit Dihilangkan

Masih dalam diskusi yang sama, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Arga Pribadi Imawan menjelaskan kehadiran baliho politik sebenarnya tidak berada di seluruh wilayah kota. Karena alat peraga kampanye (APK) ini bersifat teritorial.

Sehingga ketika seseorang mencalonkan diri di tempat tersebut, APK akan menjadi penanda kehadirannya dan hal ini ternyata penting untuk politik Indonesia saat ini. Karenanya tradisi ini dinilai Arga tidak akan hilang.

"Wilayah teritorial menjadi penting untuk politik di Indonesia saat ini. Aspek simbolik digunakan ketika berbicara mengenai baliho politik, dengan makna bahwa wilayah ini adalah wilayah dari seorang kandidat tertentu dan hal ini sepertinya tidak akan hilang," kata Arga.

Meski penggunaan baliho tidak akan hilang, politik Indonesia menurut Arga sudah bergerak di ruang yang lebih cair sejak pemilu 2004. Terutama dalam penggunaan media sosial mulai merebak luas.

"Melalui media sosial, politik bergerak di aspek bahasa dan visual. Ketika seorang calon pemimpin menggunakan akun pribadinya dalam menyuarakan visi, misi, atau program-program yang ia janjikan, tanpa disadari mereka telah melakukan media kampanye," tutupnya.




(det/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads