Politik uang atau money politic menjadi salah satu fenomena yang ramai dibicarakan terutama saat berlangsung pesta demokrasi, termasuk pemilihan umum (Pemilu) 2024. Pusat Edukasi Anti Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan politik uang adalah upaya untuk mempengaruhi pilihan penyelenggara pemilu dengan imbalan materi.
Praktik ini menurut KPK adalah salah satu bentuk suap yang pada akhirnya memunculkan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan pribadi dan golongan, bukan kepada masyarakat yang memilihnya.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief mengatakan bila politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Karena uang digunakan untuk jual beli suara dan membayar mahar politik kepada partia dengan nominal fantastis. Proses ini terjadi di berbagai lapisan masyarakat termasuk mahasiswa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ada satu hal yang menarik dari fenomena politik uang. Berdasarkan survei yang dilakukan Praxis Indonesia menjelaskan bila praktik politik uang tidak menentukan pilihan mahasiswa.
Survei ini menggunakan metode campuran yaitu kuantitatif dan kualitatif melalui Focus Group Discussion (FGD). Pada metode kuantitatif, survei diikuti oleh 1.101 mahasiswa berusia 16-25 tahun yang tersebar dari 34 provinsi pada periode 1-8 Januari 2024. Pengambilan sampel dengan menggunakan dua teknik sampel, yakni non-probability sampling dan snowball sampling menghasilkan kesimpulan dengan tingkat kepercayaan hingga 98%.
Sedangkan pada metode kualitatif, FGD dilakukan bekerja sama dengan Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada (FGD) pada 15 Januari 2024. Selama prosesnya, FGD melibatkan empat akademisi serta perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM/KM) dari kampus-kampus yang merepresentasikan seluruh Indonesia seperti UGM, Universitas Indonesia, Universitas Mulawarman, dan Universitas Nusa Cendana.
Berkaitan dengan politik uang ditemukan dari seluruh suara, sekitar 53,95% mahasiswa menyatakan tidak akan memilih calon pemimpin yang melakukan praktik politik uang. Meskipun 42,96% di antaranya menyatakan akan menerima uang dari praktik tersebut.
Ada Kaitannya dengan Ekonomi
Survei ini menjelaskan bila penerimaan politik uang pada mahasiswa berkaitan dengan Socio Economic Status (SES). Di mana semakin tinggi SES, praktik politik uang semakin tidak efektif karena responden semakin memahami bahwa uang tidak memengaruhi pilihannya.
Hal tersebut dibuktikan dengan temuan lapangan. Di mana mahasiswa yang menerima politik uang dan memilih tokohnya paling besar berasal dari golongan yang memiliki ekonomi rendah sebanyak 29,21%, di tingkat ekonomi menengah 15,89%, dan mahasiswa dengan ekonomi baik sebanyak 15,04%.
Sedangkan bila berkaitan penerimaan uang tapi tidak memilih kandidat yang diminta survei menghasilkan mahasiswa berekonomi baik dan menengah lebih banyak jumlahnya. Yakni sebesar 47,51% (ekonomi baik) dan 41,98% (ekonomi menengah).
Terakhir terkait pilihan tidak akan menerima politik uang, mahasiswa yang berasal dari ekonomi baik mendominasi di angka 13,07%, menengah 10,46%, dan rendah 9,87%.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan menjelaskan bila mahasiswa dan pemilih muda sudah sangat baik, berpikir logis juga kritis. Walaupun tidak seluruhnya bisa dipukul rata terlebih adanya perbedaan ekonomi.
"Tetapi hasil survei ini menunjukkan bagaimana mayoritas mahasiswa yang merupakan pemilih muda sadar bila mereka memilih tidak hanya rasionalitas berdasarkan uang tetapi juga kenyataan yang mereka temukan," ungkapnya dalam acara Konferensi Pers: #PraxiSurvey Kaji Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024 di Hotel Sotis Kemang, Jakarta Selatan, Senin (22/1/2024).
Lebih lanjut, Arga juga menemukan bila semangat anak muda dalam kontes Pemilu 2024 sangatlah tinggi. Baginya, anak muda masa kini tidak mudah disetir dan diguncang rasionalitasnya dalam aspek politik uang.
Content Creator dan Co-Founder Malaka Project, Ferry Irwandi menambahkan bukan hal yang mengherankan bila politik uang masih diterima mahasiswa dengan tingkat ekonomi rendah. Karena bagi mereka, uang dari politik bisa menjadi alasan untuk menyambung hidup dalam sebuah periode waktu.
Mahasiswa Pesimis Politik Uang Bisa Hilang
Temuan lainnya, mahasiswa menyatakan tingkat pesimisme yang tinggi terhadap hilangnya politik uang dalam kontes politik. Tingkat pesimisme ini bahkan mencapai angka 65,73%.
Karena bagi publik, Pemilu diibaratkan sebagai sebuah 'pesta' sehingga wajib hukumnya bagi peserta pemilu untuk membagi-bagikan barang. Padahal seharusnya sikap pesimis dan negatif terhadap politik uang tidak sejalan dengan sikap toleran terhadap praktik semacam itu.
Mengenai hal ini, Arga menjelaskan isu politik uang memang menjadi hal yang paling banyak dibahas dalam berbagai studi. Tidak hanya Indonesia, politik di berbagai negara juga melakukan praktik ini.
Dengan demikian, sikap pesimisme untuk menghilangkan praktik ini akan selalu timbul. Meski begitu, Director of Public Affairs Praxis dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI), Sofyan Herbowo menyatakan tingkat optimisme menghilangkan politik uang harus terus dibangun.
Bila melihat hasil survei, mahasiswa sudah memiliki langkah yang baik dan bijak untuk tidak mendukung politik uang. Sehingga diskursus politik adalah suatu hal yang mungkin dilakukan
(det/nwk)