Saat publik di Indonesia sedang memperdebatkan bahan baterai mana yang lebih baik antara Lithium Ferro-Phosphate (LFP) dan nikel, ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT) terus mengembangkan bahan baterai lain yang lebih organik.
Peneliti MIT telah merancang bahan baterai yang menawarkan cara yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk menggerakkan mobil listrik masa depan. Bahan baterai lithium-ion baru tersebut dilengkapi katoda yang berbahan dasar bahan organik, bukan kobalt atau nikel (logam lain yang sering digunakan dalam baterai ion litium).
Dalam sebuah studi baru, para peneliti menunjukkan bahwa bahan organik ini, dapat diproduksi dengan biaya jauh lebih rendah dibandingkan baterai yang mengandung kobalt.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, bahan tersebut juga dapat menghantarkan listrik dengan kecepatan yang sama seperti baterai kobalt.
"Saya pikir bahan ini dapat memberikan dampak besar karena bekerja dengan sangat baik. Dapat menghemat banyak biaya dan masalah lingkungan terkait penambangan logam yang saat ini digunakan untuk membuat baterai," kata Mircea DincΔ, WM Keck Profesor Energi di MIT dan peneliti senior studi, dikutip dari laman resmi MIT.
LFP Memang Jadi Bahan Alternatif Kobalt, Tapi...
Selama ini, sebagian besar mobil listrik ditenagai oleh baterai lithium-ion yakni sejenis baterai yang diisi ulang ketika ion litium mengalir dari elektroda bermuatan positif (katoda) ke elektroda negatif (anoda).
Pada sebagian besar baterai lithium-ion, katodanya mengandung kobalt, logam yang menawarkan stabilitas dan kepadatan energi tinggi.
Bahan dari kobalt ini mempunyai kelemahan. Logam ini langka dan harganya bisa naik turun secara drastis. Selain itu, cadangan kobalt dunia juga banyak berlokasi di negara-negara yang secara politik tidak stabil.
Hal yang paling parah, ekstraksi kobalt dapat menciptakan kondisi kerja yang berbahaya dan menghasilkan limbah beracun yang mencemari tanah, udara, dan air di sekitar tambang.
"Baterai ini memiliki masalah karena tidak tersedia secara luas, dan biayanya berfluktuasi secara luas seiring dengan harga komoditas. Ketika Anda beralih ke kendaraan listrik yang lebih banyak di pasar konsumen, biayanya pasti akan menjadi lebih mahal," terang DincΔ.
Karena banyaknya kelemahan kobalt, banyak penelitian kemudian dilakukan untuk mencoba mengembangkan bahan baterai alternatif.
Salah satu bahan tersebut adalah lithium-iron-phosphate (LFP), yang mulai digunakan oleh beberapa produsen mobil pada kendaraan listrik.
Meski secara praktis masih berguna, LFP juga punya kelemahan karena hanya memiliki sekitar setengah kepadatan energi baterai kobalt dan nikel.
Bahan Organik yang Dikembangkan oleh Ilmuwan MIT
Untuk mencari bahan baterai lainnya, ilmuwan kemudian mengarah ke bahan organik. Namun, terdapat catatan karena sebagian besar bahan tersebut belum mampu menandingi konduktivitas, kapasitas penyimpanan, dan masa pakai baterai yang mengandung kobalt.
Bahan tersebut biasanya perlu dicampur dengan bahan pengikat seperti polimer, yang membantu bahan tersebut mempertahankan jaringan konduktif. Bahan pengikat ini, yang membentuk setidaknya 50 persen dari keseluruhan material, menurunkan kapasitas penyimpanan baterai.
Kemudian sekitar enam tahun lalu, laboratorium DincΔ mulai mengerjakan sebuah proyek untuk mengembangkan baterai organik yang dapat digunakan untuk menggerakkan mobil listrik.
Proyek yang didanai oleh Lamborghini tersebut berhasil menemukan bahan organik baru untuk baterai mobil masa depan.
Bahan organik ini terdiri dari banyak lapisan TAQ (bis-tetraaminobenzoquinone), sebuah molekul kecil organik yang mengandung tiga cincin heksagonal yang menyatu.
"Lapisan-lapisan ini dapat meluas ke segala arah, membentuk struktur yang mirip dengan grafit. Di dalam molekul terdapat gugus kimia yang disebut kuinon, yang merupakan reservoir elektron, dan amina, yang membantu bahan membentuk ikatan hidrogen yang kuat," papar DincΔ.
Menariknya, ikatan hidrogen yang ada bisa membuat material menjadi sangat stabil dan juga sangat tidak larut.
Ketidaklarutan ini menjadi sangat penting karena mencegah bahan tersebut larut ke dalam elektrolit baterai, seperti yang dilakukan beberapa bahan baterai organik, sehingga memperpanjang masa pakainya.
"Salah satu metode utama degradasi bahan organik adalah dengan melarutkannya ke dalam elektrolit baterai dan berpindah ke sisi lain baterai, yang pada dasarnya menyebabkan korsleting. Jika Anda membuat bahan tersebut benar-benar tidak larut, proses tersebut tidak akan terjadi, sehingga kita dapat melakukan lebih dari 2.000 siklus pengisian daya dengan degradasi minimal," jelas DincΔ.
Memiliki Performa yang Kuat dan Harga Rakit yang Lebih Murah
Bahan organik ini kemudian diuji dan menghasilkan kesimpulan konduktivitas dan kapasitas penyimpanannya sebanding dengan baterai tradisional yang mengandung kobalt.
Selain itu, baterai dengan katoda TAQ dapat diisi dan dikosongkan lebih cepat dibandingkan baterai yang sudah ada. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri karena dapat mempercepat laju pengisian kendaraan listrik.
Peneliti juga menambahkan bahan pengisi seperti selulosa dan karet untuk menstabilkan bahan organik dan meningkatkan kemampuannya menempel pada pengumpul arus baterai yang terbuat dari tembaga atau aluminium.
"Bahan utama yang diperlukan untuk pembuatan katoda jenis ini adalah prekursor kuinon dan prekursor amina yang sudah tersedia secara komersial dan diproduksi dalam jumlah besar sebagai komoditas kimia," tutur DincΔ.
Para peneliti telah memperkirakan bahwa biaya bahan untuk merakit baterai organik ini bisa mencapai sepertiga hingga setengah biaya baterai kobalt.
Kini, Lamborghini telah melisensikan paten atas teknologi tersebut. Di sisi lain, laboratorium DincΔ akan untuk terus mengembangkan bahan baterai alternatif yang lebih murah dan melimpah dibandingkan litium.
(faz/nwk)