Perencanaan kota lazimnya disesuaikan dengan kebutuhan warga perkotaan yang dinamis. Namun, saat ini perencanaan kota juga mempertimbangkan lingkungan bersejarah bencana tengah mengemuka.
Peneliti Aya Kubota dari Tohoku University, Jepang menemukan, subjektivitas lokal penting untuk melestarikan dan meregenerasi lingkungan bersejarah. Ia mencontohkan, puing bangunan yang terdampak bom Hiroshima 1945 kelak dijadikan tempat pengingat atas harapan akan perdamaian oleh warga.
Genbaku Dome, monumen peringatan bom Hiroshima 1945 tersebut, kelak dianugerahi penghargaan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1996.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tertarik pada pelestarian dan penggunaan Warisan Bencana ini. Kita tahu, Genbaku Dome adalah semua puing yang terdapat di Hiroshima Prefectural Industrial Promotion Hall, yang hancur dan tersisa kerangkanya saja akibat bom atom Hiroshima," terangnya di jurnal Landscape Architecture Frontiers.
"Dalam rancangan rencana Taman Peringatan Perdamaian Hiroshima, (arsitek) Kenzo Tange beride menghubungkan taman peringatan tersebut dengan Genbaku Dome dalam sebuah garis untuk membuatnya jadi tempat berdoa dan berharap atas kedamaian. Sejak itu, para warga, Kota Hiroshima, dan Prefektur Hiroshima tergerak untuk melestarikan kubah tersebut dan mengirim pesan perdamaian," sambungnya.
Kubota mengatakan, alih-alih dihargai atas nilai arsitektur atau estetikanya , tempat tersebut justru diakui sebagai simbol kekuatan destruktif besar yang bisa dihasilkan manusia, sekaligus harapan besar atas perdamaian setelahnya.
Merespons Bencana Nuklir di Fukushima
Jika Hiroshima terkena bom atom, Fukushima terkena ledakan hidrogen, tepatnya di PLTN Fukushima Daiichi . PLTN tersebut ditutup karena reaktor nuklirnya rusak dan mengkontaminasi tanah dan material bangunan dan rumah, sehingga tidak aman bagi manusia.
Di area tersebut, terdapat desa-desa yang pernah ditinggali warga, lengkap dengan SD, kuil, balai desa, dan fasilitas umum. Kontaminasi tinggi di kawasan 'Warisan Bencana' ini membuatnya tidak bisa diruntuhkan sehingga lapuk sendiri.
Merespons jejak bencana di sana, Desa Okuma , Fukushima menyusun Rencana Regional untuk Pelestarian dan Pemanfaatan Properti Budaya. Harapannya, mereka bisa melestarikan jejak bencana ini dengan cara tertentu, kendati rencana induk perencanaan kota lazimnya tidak mempertimbangkan lingkungan historis.
"Peninggalan di sana sering diperlakukan sebagai warisan bencana saja, tetapi kita harus selalu mempertimbangkan fakta bahwa ada kenangan bahagia di sana, khususnya bagi warga lokal," tuturnya .
"Apa yang harus dilestarikan di antara sekian banyak sisa-sisa peninggalan di sana, bagaimana cara melihatnya, dan untuk siapa?" sambung lulusan S2 Preservasi Sejarah di Columbia University dan S2 Urban Design, University of Tokyo tersebut.
Kubota berpendapat, keterlibatan tenaga profesional juga berisiko dalam pelestarian dan regenerasi lingkungan bersejarah. Oleh karena itu, subjektivitas warga lokal menjadi penting.
Namun, ia mengakui sulit bagi warga untuk terlepas dari aturan konvensional pemerintah yang tidak terlalu memikirkan aspek sejarah. Kemungkinan besar, bangunan peninggalan keburu runtuh sebelum warga bisa melestarikan jejak kehidupan mereka.
"Bisa dikatakan, ekologi lingkungan bersejarah tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan efek samping urbanisasi. Oleh karena itu, bagaimana cara memeriksa dan memiliki alternatif urbanisasi menjadi isu penting di sini," tuturnya .
"Kalau kita tidak memikirkan bentuk 'kota' lain yang tidak terlalu urban, kita tidak akan bisa keluar dari dilema melestarikan dan meregenerasi lingkungan bersejarah. Melakukannya tidak bisa dilakukan sendiri. Memahaminya dan berkolaborasi adalah hal yang ingin saya dan mahasiswa saya capai," tuturnya .
Mempelajari Konservasi Warisan Perkotaan
Kubota berpendapat, menyikapi dilema kepentingan urbanisasi dan pelestarian sejarah bencana, pelajar setidaknya penting untuk mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah tersebut. Lalu, secara alami hal-hal bernilai di sana, sambil menikmatinya sebagai lingkungan bersejarah.
Sementara itu, tenaga profesional menurutnya tetap bisa mengukur apa yang bisa dilestarikan dan diperbaiki di situs bersejarah bencana tersebut. Langkah para tenaga profesional kemudian dapat mendiskusikan siswa di kelas.
(twu/faz)