Bangunan-bangunan dari era Kekaisaran Romawi masih tegak berdiri kokoh setelah berusia 2.000 tahun. Apa sih rahasianya?
Sebut saja beberapa bangunan terkenal dari era Romawi yang bertebaran seperti Kuil Pantheon dan Colosseum di Roma Italia, juga jembatan dan akuaduk Pont du Gard di Prancis atau akuaduk Segovia di Spanyol. Lihat pilar-pilarnya yang tinggi, anggun dan megah.
Bangunan-bangunan itu ada yang dibangun puluhan tahun sebelum masehi (SM) hingga pada abad pertama masehi (M). Dan bisa dilihat, masih tegak berdiri kokoh hingga tahun 2025 di era abad 21. Bangunannya awet sampai 2.000 tahun!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kuncinya Adonan Beton 'Self Healing'
Ternyata kuncinya ada pada kata: beton. Adonan beton era Kekaisaran Romawi sampai hari ini masih dikulik oleh para ilmuwan.
"Beton membangun kekaisaran," kata profesor madya bidang klasik di Universitas Oregon yang juga peneliti arkeologi Italia masa Romawi kuno kepada Live Science, dilansir Senin (19/5/2025), ditulis Jumat (23/5/2025).
Menurut Dicus, orang Romawi menggunakan beton sejak abad ketiga SM.
Rahasia di balik beton Romawi berasal dari bahan-bahannya dan metode pencampurannya. Salah satu 'game changer' alias kuncinya adalah pozzolan, atau abu.
Bangsa Romawi menggunakan abu dari lapisan vulkanik kota Pozzuoli di Italia dan mengirimkannya ke seluruh kekaisaran. Saat ini, pozzolan meliputi batu apung dan abu terbang, yang merupakan produk sampingan dari pembakaran batu bara.
Silika dan alumina dalam abu bereaksi dengan kapur dan air dalam reaksi pozzolan pada suhu sekitar, menghasilkan beton yang lebih kuat dan tahan lama. Pozzolan juga digunakan untuk membuat semen hidrolik, yang dapat mengeras di bawah air.
"Bahan utama lainnya adalah gumpalan kapur, atau potongan kecil kapur tohor," kata Dicus.
Gumpalan ini memberi beton Romawi kemampuan self healing alias penyembuhan sendiri. Beton mengalami pelapukan dan melemah seiring waktu, tetapi air dapat menyusup ke retakannya dan mencapai gumpalan. Saat bereaksi dengan air, gumpalan menciptakan kristal yang disebut kalsit (kalsium karbonat) yang mengisi retakan. Dengan cara ini, beton Romawi dapat menyembuhkan dirinya sendiri.
Misalnya, Makam Caecilia Metella yang berusia 2.000 tahun di dekat Roma memperlihatkan retakan yang dipenuhi kalsit, yang menunjukkan bahwa pada suatu saat sejak pembangunannya, air mengaktifkan gumpalan di dalam betonnya.
Sebuah tim peneliti di MIT menggambarkan efek gumpalan ini dalam sebuah studi tahun 2023 yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances. Mereka menganalisis beton Romawi dengan mikroskop elektron pemindaian dan sinar-X untuk melihat apa yang membuatnya kuat dan memahami bagaimana beton itu dibuat.
Sementara ilmuwan modern masih mencari-cari rahasia beton Romawi, orang Romawi sendiri sudah sangat memahami keajaiban teknik ini bahkan sebelum masehi.
"Apakah ini hanya kecelakaan yang menyenangkan, atau apakah mereka benar-benar tahu apa yang mereka lakukan?" Dicus merenung.
Orang Romawi juga menggunakan metode yang dikenal sebagai pencampuran panas, yang melibatkan pencampuran kapur tohor dengan pozzolan, air, dan bahan-bahan lain, lalu memanaskannya. Tim MIT menemukan bahwa metode ini membantu membuka kemampuan penyembuhan diri gumpalan kapur, dan dapat menghasilkan pengaturan yang lebih cepat daripada semen yang dibuat dengan larutan kapur tohor-air yang disebut kapur padam dalam metode semen modern.
Perbandingan dengan Semen Modern
Beton modern dibuat dengan semen, yang merupakan bubuk halus yang berubah menjadi pasta saat dicampur dengan air. Bahan utama dalam semen adalah batu kapur sedimen, yang sebagian besar terbuat dari kalsium karbonat, senyawa yang juga ditemukan di alam, termasuk dalam telur dan kerang laut. Batu kapur dicampur dengan bahan lain, seperti tanah liat, lalu dipanaskan dalam tanur pada suhu 2.700 derajat Fahrenheit (1.482 derajat Celsius) untuk menghasilkan bahan yang disebut klinker (arang besi). Menggiling klinker, serta beberapa zat tambahan, menjadi bubuk halus menghasilkan semen.
"Semen yang paling umum digunakan saat ini disebut semen portland. Bergantung pada lingkungannya, struktur yang terbuat dari semen Portland memiliki masa pakai 75 hingga 100 tahun," kata seorang profesor madya teknik sipil dan lingkungan di University of California, Somayeh Nassiri.
Beton jelas telah berubah sejak digunakan pada zaman Romawi, tetapi kenyataannya beton telah berubah sejak ditemukan. Para peneliti masih meneliti beton Romawi.
"Kami masih menemukan beberapa metode yang mereka gunakan dalam mencampurnya dan menyiapkan materialnya," imbuh Nassiri.
"Dalam proses pencampurannya saat ini, semen portland tidak memungkinkan terbentuknya gumpalan kapur. Klinker yang diproduksi di tungku digiling menjadi bubuk halus, menghancurkan semua gumpalan potensial. Sebaliknya, ketika orang Romawi kemungkinan mencampur kapur tohor, abu, dan air dengan panas, gumpalan tersebut tetap 'sebagai inklusi kecil dalam semen," tutur Dicus.
Apakah orang Romawi memahami sepenuhnya kecemerlangan resep semen mereka? Kehebatannya bersinar melalui keawetannya. Bahkan saat ini, tidak ada yang lebih baik daripada menyentuh tembok Romawi.
"Ini berusia 2.000 tahun, dan sama kerasnya dengan hari ketika dituang," tandas Dicus.
(nwk/erd)