Kasus bunuh diri dalam beberapa waktu terakhir tak jarang dilakukan oleh kalangan anak muda, misalnya mahasiswa. Menurut Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, drg R Vensya Sitohang, MEpid mengatakan kasus bunuh diri pada 2022 lalu mencapai 826 orang.
Jumlah itu meningkat sebanyak 6,37 persen daripada tahun 2018 yaitu 772 kasus. Angka bunuh diri di Indonesia juga relatif jauh lebih tinggi daripada rekor kasus terbanyak di Singapura sepanjang 2023 yang hingga sekarang mencapai 476 korban, seperti dikutip dari detikHealth.
Di kalangan mahasiswa khususnya, menurut pakar psikologi Universitas Airlangga (Unair), Atika Dian Ariana, pertemanan adalah faktor sosial yang penting. Pertemanan dinilai mampu membantu dalam proses keberlangsungan akademik dan pendewasaan diri. Rasa gagal dalam relasi tersebut berisiko menimbulkan perasaan tak berdaya dan kesepian yang turut meningkatkan risiko depresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Teman bukan hanya diperlukan untuk keperluan akademis melainkan juga untuk memenuhi tugas perkembangan mereka di tahapan usia remaja ke dewasa awal yang seharusnya membangun relasi sosial dan interpersonal yang intim," kata dia, dikutip dari rilis situs Unair.
Tekanan Akademis Tak Selalu Berkaitan Langsung dengan Bunuh Diri
Namun demikian, kasus bunuh diri oleh mahasiswa juga tak selalu berkaitan dengan tekanan akademis secara langsung. Hal ini disampaikan oleh dosen Psikologi Unair, Dr Achmad Chusairi.
Achmad Chusairi mengatakan, sebelum dilakukannya kegiatan belajar atau dibangun suatu lembaga belajar, institusi yang bersangkutan tentunya sudah melakukan riset pengelolaan risiko.
"Karena, lembaga tidak mungkin menerima sumber daya manusia sembarangan, dan tugas yang diberikan tidak mungkin diluar batas kemampuan mahasiswa," jelasnya, dikutip dari sumber yang sama dalam rilis berbeda.
Achmad Chusairi menegaskan bahwa tekanan akademis tak selalu jadi pemicu bunuh diri. Menurutnya, ada yang mengalami tekanan tetapi perilakunya semakin positif. Namun demikian, ada juga orang yang melakukan kebalikannya.
Pemahaman kompleksitas faktor-faktor yang bisa memicu bunuh diri disebut merupakan kunci utama untuk pencegahan. Achmad menyebut, gangguan kecemasan bisa jadi faktor signifikan pada individu yang cenderung bunuh diri.
"Gangguan kecemasan dapat memberikan beban emosional yang signifikan pada individu, menghambat kemampuan mereka untuk berpikir jernih dan membuat keputusan rasional. Hal ini, pada gilirannya, dapat meningkatkan risiko tindakan bunuh diri," paparnya.
Dia memiliki pesan khusus kepada masyarakat, dalam menghadapi tekanan atau masalah. Achmad mendorong agar orang segera konsultasi kepada ahli apabila mengalami tekanan atau masalah.
Hal itu dapat dilakukan tak hanya dengan psikolog, tetapi juga teman atau kerabat. Dia menegaskan bahwa penting untuk tak menyimpan sendiri perasaan dan masalah yang dihadapi.
(nah/pal)