Mengapa Mengejar Kebahagiaan Malah Bikin Tak Bahagia? Ini Kata Pakar

ADVERTISEMENT

Mengapa Mengejar Kebahagiaan Malah Bikin Tak Bahagia? Ini Kata Pakar

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 03 Mar 2025 09:30 WIB
Asian beautiful woman enjoying the sun.
Ilustrasi bahagia. Foto: Getty Images/iStockphoto/LaraBelova
Jakarta -

Para peneliti memiliki penjelasan baru mengapa kita bisa mengalami "paradoks kebahagiaan". Fenomena paradoks kebahagiaan adalah ketika upaya untuk membuat diri kita lebih bahagia sebenarnya justru membuat kita kurang bahagia.

Penelitian telah mendokumentasikan paradoks tersebut selama lebih dari satu dekade, tetapi hanya sedikit yang menganalisis penyebabnya.

Berusaha Bahagia Menguras Pengendalian Diri

Ternyata, menurut penelitian baru U of T Scarborough yang diterbitkan dalam jurnal Applied Psychology: Health and Well-Being, mencoba menjadi lebih bahagia melelahkan secara mental karena menguras kemampuan kita dalam pengendalian diri dan motivasi. Akibatnya, kita lebih rentan terhadap godaan, dan membuat keputusan yang merusak diri sendiri yang membuat kita kurang bahagia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mengejar kebahagiaan sedikit mirip dengan efek bola salju. Anda memutuskan untuk mencoba membuat diri Anda merasa lebih bahagia, tetapi kemudian upaya itu menguras kemampuan Anda untuk melakukan hal-hal yang membuat Anda lebih bahagia," kata rekan penulis studi Sam Maglio, profesor bidang pemasaran di Departemen Manajemen di U of T Scarborough dan Sekolah Manajemen Rotman, dikutip dari Science Daily.

Maglio menyamakan akibat dari terus-menerus mencoba untuk menjadi lebih bahagia dengan pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Semakin lelah mental kita, semakin tergoda kita untuk melewatkan membersihkan rumah dan malah menggulir media sosial, misalnya.

ADVERTISEMENT

Berusaha Bahagia Membuat Orang Merasa Kekurangan Waktu

Maglio dan rekan penulis studi Aekyoung Kim, dosen di Sekolah Bisnis di Universitas Sydney, juga membahas paradoks tersebut dalam sebuah studi tahun 2018 yang menemukan orang yang mencoba untuk menjadi lebih bahagia cenderung merasa kekurangan waktu, sehingga membuat mereka tidak bahagia.

"Ceritanya di sini adalah bahwa mengejar kebahagiaan menghabiskan sumber daya mental. Alih-alih mengikuti arus, Anda mencoba membuat diri Anda merasa berbeda," kata Maglio.

Mengatur pikiran, emosi, dan perilaku kita secara manual sangat melelahkan, menurut para peneliti. Kebahagiaan sangat melelahkan ketika orang melihatnya dalam konteks yang sama dengan uang, seolah-olah pada dasarnya adalah sesuatu yang dapat dan harus kita kumpulkan dan timbun sebanyak yang kita bisa.

Mengejar Kebahagiaan Memberi Tekanan pada Mental

Peneliti mensurvei ratusan orang dan menemukan semakin mereka terbiasa mencoba untuk menjadi lebih bahagia, semakin sedikit mereka mengaku melakukan pengendalian diri dalam kehidupan sehari-hari.

Maglio dan Kim menduga hal ini terjadi karena pencarian kebahagiaan dan pengendalian diri harus bersaing untuk mendapatkan sumber energi mental yang sama. Jadi, mereka mengakhiri putaran survei berikutnya dengan meminta peserta memberi peringkat pada sejumlah objek, karena membuat pilihan dan menyelesaikan tugas biasa apa pun membutuhkan sumber daya mental dan pengaturan diri.

Seperti yang diduga, semakin banyak orang mengaku mencari kebahagiaan, semakin sedikit waktu yang mereka habiskan untuk tugas tersebut.

Satu eksperimen menggunakan iklan dengan kata "kebahagiaan" di dalamnya untuk memicu fenomena di mana orang mencoba untuk menjadi lebih bahagia hanya dengan melihat kata tersebut. Para peserta kemudian diberi semangkuk besar cokelat, diberi tahu bahwa mereka dapat memakannya sebanyak yang mereka suka, dan diminta untuk memberi peringkat rasa.

Para peneliti merasionalisasi semakin banyak pengendalian diri yang dimiliki peserta, semakin sedikit cokelat yang akan mereka makan. Peneliti juga menemukan mereka yang diperlihatkan iklan "kebahagiaan yang utama" makan lebih banyak daripada rekan-rekan mereka.

Namun, Maglio dan Kim bertanya-tanya, apakah mereka makan lebih banyak karena mencari kebahagiaan sangat melelahkan atau apakah mengejar tujuan apa pun akan membuat mereka sama lelahnya?

Untuk eksperimen terakhir, peserta diberikan sepasang barang sehari-hari. Satu kelompok diminta untuk memilih opsi yang akan meningkatkan kebahagiaan mereka, sementara yang lain diminta untuk memilih berdasarkan preferensi pribadi mereka.

Kedua kelompok kemudian diberi tugas mental yang mengukur kemampuan pengendalian diri mereka. Kelompok kebahagiaan berhenti lebih awal, yang artinya mereka memiliki lebih sedikit sumber daya mental yang tersisa setelah pencarian kebahagiaan.

Santai Saja

Mengejar kebahagiaan pada dasarnya tidak sia-sia, Maglio menjelaskan. Ia menyarankan agar kita menganggap kebahagiaan lebih seperti pasir di pantai.

Kita dapat berpegangan erat pada segenggam pasir dan mencoba mengendalikannya, tetapi semakin keras kita memegangnya, semakin kram tangan kita. Pada akhirnya, kita harus melepaskannya.

"Santai saja. Jangan mencoba untuk selalu sangat bahagia," kata Maglio, yang karyanya didukung oleh hibah dari Dewan Riset Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada.

"Daripada berusaha mendapatkan lebih banyak barang yang Anda inginkan, lihatlah apa yang sudah Anda miliki dan terima saja sebagai sesuatu yang membuat Anda bahagia," imbuhnya.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads