7 Pahlawan Wanita Indonesia dari Barat hingga Timur

ADVERTISEMENT

7 Pahlawan Wanita Indonesia dari Barat hingga Timur

Noor Faa'izah - detikEdu
Selasa, 07 Nov 2023 14:00 WIB
Martha Christina Tiahahu
Perjuangan untuk Indonesia tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan. Berikut 7 pahlawan perempuan di antaranya. Foto: Ilustrasi Martha Tiahahu (perpusnas.go.id)
Jakarta -

Perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai gelar kemerdekaan tak lepas dari sosok-sosok pahlawannya. Para pahlawan Indonesia telah memberikan banyak jasa dan pengorbanan bagi pembentukan bangsa.

Perjuangan pahlawan-pahlawan ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja, tetapi banyak perempuan yang ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Para pahlawan wanita ini juga tidak kalah tangguh dalam memperjuangkan nilai-nilai kaum perempuan. Seperti yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pahlawan wanita asal Rembang, Jawa Tengah, ini dikenal sebagai wanita tegar, pintar, rajin, dan kebanggaan perempuan di seluruh Indonesia.

Sejak kecil, Kartini hanya mendapat pendidikan di sekolah dasar Europeesche Lagere School (ELS). Kemudian, dari usia 12 hingga 16 tahun, Kartini harus berdiam diri dalam pingitan.

ADVERTISEMENT

Walaupun demikian, semangatnya dalam memperjuangkan emansipasi wanita telah terbukti melalui tulisan-tulisannya yang menjelaskan harapannya akan kemajuan wanita Indonesia. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibukukan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Nah, tahukah detikers jika pahlawan wanita Indonesia tidak hanya Kartini saja? Siapakah para pahlawan wanita tersebut? Berikut detikEdu rangkum beberapa prodil pahlawan wanita Indonesia.

Profil Singkat Pahlawan Perempuan Indonesia

1. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien merupakan pahlawan wanita kelahiran Lampadang, Aceh, 1848. Dikutip dari buku Cut Nyak Dien (1850-1908) hingga R.A. Kartini (1878-1909) karya Toto Sugiarto dkk, diketahui Cut Nyak Dien menikah pada 1880 dengan Teuku Umar.

Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dien melakukan perlawanan yang berhasil menyerang dan memukul mundur Belanda. Namun pada 1899, Teuku Umar meninggal. Peristiwa ini semakin mendorong semangat Cut Nyak Dien untuk mengusir para penjajah.

Pada 1905, Cut Nyak Dien tertangkap oleh Belanda hingga satu tahun kemudian diasingkan di Sumedang karena dianggap membahayakan keamanan. Dua tahun setelahnya, akhirnya Cut Nyak Dien meninggal dunia dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat.

Atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia mengabadikan nama Cut Nyak Dien sebagai sebuah kapal perang Republik Indonesia, KRI Cut Nyak Dien.

2. Maria Walanda Maramis

Maria Walanda Maramis merupakan perempuan yang lahir di Kema, Sulawesi Utara pada 1872. Maria hanya diizinkan menempuh pendidikan hingga bangku sekolah dasar saja.

Melihat nasib dirinya dan gadis-gadis lain di lingkungan sekitarnya, Maria memberanikan diri untuk membantu para wanita Minahasa dalam mencapai cita-cita mereka.

Mengutip dari buku Cinta Pahlawan Nasional Indonesia: Mengenal & Meneladani karya Pranadipta Mahawira, Maria pun mulai bergaul dengan golongan terpelajar. Pada tahun 1890, dia menikah dengan seorang guru bernama Joseph Frederick Calusung Walanda.

Pada tahun 1917, Maria mendirikan Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya (PIKAT) untuk memberikan pendidikan pada perempuan yang telah menamatkan sekolah dasar.

Berkat kerja keras dan kemauan besar Maria, organisasi PIKAT berhasil berkembang hingga Pulau Jawa dan Kalimantan.

3. Dewi Sartika

Dewi Sartika merupakan perempuan kelahiran Bandung tahun 1884. Kedua orang tuanya dibuang ke Ternate karena menentang pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Dewi dititipkan kepada pamannya yaitu Patih Aria di Cicalengka.

Sama seperti Kartini, Dewi hanya mengikuti sekolah dasar saja. Namun, semangatnya dalam mendidik kaum perempuan telah mendorongnya untuk mendirikan Sekolah Istri pada tahun 1904, didukung oleh RAA Martanegara dan Den Hamer.

Awalnya, murid Dewi Sartika hanya 20 orang. Kegiatan belajar-mengajar pun dilakukan di salah satu ruangan Kantor Kepatihan Bandung. Di sana, para perempuan diajarkan menulis, membaca, berhitung, menjahit, menyulam, dan beberapa pendidikan agama.

Karena terus berkembang, pada tahun 1910, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri. Sekolah tersebut telah berhasil menjadi inspirasi sekolah-sekolah perempuan di daerah lain.

Pada akhirnya, di masa Perang Kemerdekaan, agresi militer menghentikan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Dewi Sartika pun mengungsi ke Cinean, Jawa Barat dan meninggal pada 1947.

4. Rasuna Said

Salah satu perempuan hebat dari Maninjau, Sumatera Barat adalah Hj Rangkayo Rasuna Said. Rasuna Said menempuh pendidikan di Pesantren Ar-Rasyidiyah dan dilanjutkan di Pesantren Diniyah School Putri Padang Panjang.

Sejak di pesantren, Rasuna Said telah mengajar para perempuan. Ia ingin sekali memasukkan kurikulum politik dalam kegiatan belajar-mengajar tersebut. Namun karena ditolak, ia akhirnya bertekad mengabdikan dirinya pada negara.

Rasuna Said mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi tahun 1930. Dia secara aktif melakukan pergerakan nasional dan dengan berani melantangkan pidato-pidato yang mengecam pemerintahan Hindia-Belanda, termasuk lewat tulisan.

Rasuna said sempat tertangkap pada tahun 1932. Namun, setelah bebas pada tahun 1935, ia menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya dan Majalah Menara Puteri di Medan.

5. Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang memiliki nama lahir Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi putri dari Pangeran Natapraja, penguasa Serang bagian dari Kerajaan Mataram.

Setelah ayahnya meninggal, Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan sang ayah. Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyatnya.

Amir Hendarsah dalam buku Kisah Heroik Pahlawan Nasional menuliskan, Nyi Ageng Serang juga sering melakukan serangan-serangan kecil pada Belanda menggunakan taktik perang gerilya.

Ketika Perang Diponegoro berlangsung, Nyi Ageng Serang ikut serta melawan Belanda. Meskipun usianya sudah 73 tahun dan berada di atas tandu, Nyi Ageng Serang membantu pasukan Pangeran Diponegoro bertempur selama 3 tahun.

Di usia 86 tahun, Nyi Ageng Serang akhirnya wafat. Namun, hingga akhir hayatnya Serang tetap menjadi wilayah merdeka dari jajahan Belanda.

6. Andi Depu

Andi Depu Maraddia Balanipa merupakan perempuan yang lahir di Tinambung, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Andi Depu merupakan putri bangsawan Mandar dan istri dari Raja Balanipa.

Dikutip dari buku berjudul Kisah Sang Penantang karya Ahmad M Sewang dkk, Andi Depu yang tidak sejalan dengan pemikiran sang suami kemudian memutuskan untuk meninggalkan zona nyamannya. Andi Depu sangat menentang keras kolonialisme belanda dan pro pada kemerdekaan Indonesia. Penentangannya ditunjukkan melalui pendirian kelaskaran Kebaktian Rahasia Islam Muda disebut KRIS Muda.

KRIS Muda lahir pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai tindak lanjut pergerakan anti kolonialisme, yaitu Amman Wewang dan Ammana Pattowali. Pada masa pendudukan Jepang, KRIS Muda dapat merampas senjata-senjata Jepang dan mengibarkan bendera Merah Putih.

7. Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu merupakan putri dari Kapitan Paulus Tiahahu dari Abubu, Maluku tengah. Sejak remaja, Martha telah berani mengangkat senjata untuk melawan Tentara Belanda.

Dikutip dari buku berjudul Inspirasi Pahlawan Indonesia: Martha Christina Tiahahu Pemimpin Pasukan dari Maluku karya Hafidz Muftisany, pada1817, Martha ikut serta membantu pasukan Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura. Keberaniannya terkenal di kalangan pendekar.

Naasnya, dalam pertempuran sengit di Desa Wulas, tenggara Pulau Saparua, ayah Martha tertembak mati. Ketika mencoba menyelamatkan sang ayah, Martha justru tertangkap dan diasingkan di Pulau Jawa.

Martha Christina Tiahahu akhirnya meninggal dunia di atas kapal Eversten pada 2 Januari 1818.

Itulah kisah tujuh pahlawan wanita yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.




(twu/twu)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads