Fenomena No Viral No Justice kerap terjadi di Indonesia. Istilah ini lahir agar pihak kepolisian lebih cepat dalam menangani suatu perkara.
"No viral no justice adalah sindiran masyarakat agar Polri lebih profesional dan sigap dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, terutama dalam menindaklanjuti laporan-laporan masyarakat," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti dalam CNN Indonesia beberapa waktu lalu.
Melihat fenomena ini, Asisten Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi Provinsi Jambi, Helena Oktaviane SH MH memberikan tanggapannya. Menurutnya, fenomena No Viral No Justice merupakan bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena ketidakadilan yang ada di depan layar kaca.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat menilai bahwa sebuah kasus viral cenderung lebih cepat selesai daripada kasus yang dimulai dengan laporan biasa.
"Masyarakat berpikir bahwa semua harus diviralkan agar bisa diusut," ungkapnya dalam laman Unair, dikutip Senin (6/11/2/230).
Bukan Hal Negatif
Helena berpendapat bahwa fenomena ini bukan sebuah hal negatif jika didasarkan atas kepedulian. Akan tetapi, No Viral No Justice adalah akibat dari tidak adanya perencanaan tentang bagaimana membentuk ekspansi pergerakan.
"Kalau mendapatkan berita yang viral, masyarakat langsung menyebarkan tanpa mengecek kebenarannya," tuturnya.
Hal ini terjadi karena masyarakat menilai bahwa sebuah kasus yang diviralkan cenderung akan lebih cepat selesai dibandingkan kasus yang dimulai dengan laporan biasa.
Dampak No Viral No Justice pada Penegakan Hukum
Fenomena No Viral No Justice juga memberikan tekanan pada lembaga atau instansi. Dampak fenomena No Viral No Justice itu berujung pada diskriminasi dalam penegakan hukum (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007).
"No Viral No Justice menjadikan proses penegakan hukum tebang pilih antara viral dengan tidak viral," ungkap Helena.
Fenomena itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, fenomena itu tidak menjamin dan tidak memberikan perlindungan hukum atas tersebar luasnya informasi, bahkan aib, seseorang meski dari sumber yang tidak jelas (melanggar Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi).
Selain itu, hal ini juga tidak menjamin dan tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam proses hukum (due process of law) .
"Penegakan hukum kini dihakimi dengan slogan no viral, no justice. Saat peristiwa viral, publik tak peduli lagi dengan kebenaran," tutur alumni FISIP UI ini.
Menyikapi No Viral No Justice
Untuk mengatasi hal ini, Helena menegaskan perlunya gerakan untuk mengubah fenomena "No Viral No Justice" menjadi sistematik dengan mengubah bentuk simpati yang dihasilkan oleh penggiringan opini menjadi sebuah kesadaran kolektif dengan argumen "No Viral No Education".
No Viral No Education adalah penemuan hukum sebagai bentuk adanya pergeseran budaya hukum agar masyarakat dan netizen tidak lagi menggunakan No Viral No Justice.
"Masyarakat harus bisa menjadikan sosial media tidak hanya sebagai sarana viral tapi juga edukasi," ungkapnya.
Ia berharap perkembangan teknologi bukan lagi sekadar memudahkan, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat mencerdaskan masyarakat.
"Bukan no viral no justice, tapi no viral no education. Jadi dengan viral harusnya dapat mengedukasi masyarakat," ujar mahasiswa S3 Unair itu.
(nir/twu)