WJS Poerwadarminta berhasil menuntaskan kerja menyusun kamus babon bahasa Indonesia dalam waktu 9 tahun. Jerih payah tersebut menghasilkan sebuah kamus yang dikenal dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Kamus ini pertama kali dicetak pada 1953.
Selain Kamus Umum Bahasa Indonesia, pria yang lahir di Yogyakarta pada 1904 itu pun menyusun kamus-kamus lainnya. Nama Poerwadarminta sebagai penyusun ada pada Baoesastra Djawa I (bersama CS Hardjasoedarmo dan J Chr Poedjasudira, 1930); Baoesastra Walandi-Djawi (1936); Baoesastra Djawa II (1939).
Kemudian Kamus Nippon-Indonesia, Indonesia-Nippon (1942); Indonesisch-Nederlands Woordenboek (bersama A. Teeuw, 1950); serta Kamus Latin-Indonesia (bersama K. Prent dan J. Adisubrata, terbit pada 1969).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, ia sedang menyusun kamus Prancis-Indonesia dibantu putri sulungnya Elisabeth Soehartinah saat jatuh sakit. Kamus ini tak pernah selesai karena Poerwadarminta wafat pada Kamis 28 November 1968. Kamus yang belum lengkap tersusun itu kemudian dikembalikan pada pemerintah Prancis.
Bagaimana Poerwadarminta bisa menguasai banyak bahasa asing? Eko Endarmoko dan Anton M Moeliono dalam artikel berjudul W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia di buku Remah-remah Bahasa mengungkap minat Poerwadarminta kepada bahasa sudah terlihat ketika ia berusia sekitar 20 tahun.
Baca juga: Kerja Sunyi Sang Munsyi |
Sambil mengajar di sebuah sekolah dasar di Yogyakarta, ia mengambil kursus pelbagai bahasa, seperti bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Sanskerta, Jerman, Jawa Kuno, Melayu, dan Jepang, sampai ia menguasai semua bahasa itu.
Poerwadarminta pernah mengungkapkan alasan mempelajari bahasa asing itu pada Pollycarpus Swantoro. Swantoro dalam buku berjudul Dari Buku ke Buku menuliskan kembali cerita itu. Pada zaman menjadi guru, Poerwadarminta sebagai lulusan Normaalschool yang berbahasa Jawa mendapat gaji 40 gulden.
Sedangkan guru lulusan Kweekschool berbahasa Belanda mendapat gaji 75 gulden. Karena itu, guru-guru lulusan Normaalschool termasuk Poerwadarminta mendapat julukan sego abang atau nasi merah. Adapun lulusan Kweekschool dengan sego putih atau nasi putih.
"Ejekan menyakitkan inilah yang memacu Pak Poerwo, dan barangkali juga sejumlah rekannya, untuk mempelajari bahasa-bahasa asing, khususnya bahasa Belanda," tulis Swantoro.
Rupanya selain bahasa, Poerwadarminta juga belajar filsafat dari pastor Katolik berkebangsaan Belanda bernama J Van Rijckevorsel SJ. "Belajar filsafat bukan di universitas. Sama (memperdalam) bahasa Belanda itu di bawah asuhan romo, seorang pastor. Pastor-pastor itu guru filsafat," ujar cucu Poerwadarminta, Hubertus Hartanto pada detikEdu di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
![]() |
Ajarkan Kesederhanaan
Semasa hidupnya, Poerwadarminta dikenal sebagai sosok dengan penampilan sederhana. Ketimbang memakai jas, ia memilih surjan lurik dan memakai caping. "Kadang juga pakai topi prop putih zaman dulu," ujar Hartanto.
"Seragam" tersebut selalu dikenakannya termasuk saat mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM). "Berangkat ngajar pakai sepeda onthel, padahal di rumah ada mobil impala yang terbilang mewah saat itu. Tapi dia mengajar kita-kita biar hidup sederhana," kata Hartanto.
Suatu ketika, Hartanto meminjam motor kawannya untuk mengunjungi rumah Poerwadarminta di Jalan Ngadisuryan. Rupanya hal tersebut lantas membuat eyangnya naik pitam.
"Eyang saya ngeliat pas di teras pakai motor. Marah setengah mati. Ia bilang 'sekarang pulang, aku gak seneng kalau putu-ku (cucuku) seolah-olah orang kaya," ucap Hartanto.
Ia menyambung,"Menurut beliau, orang yang sederhana, rendah hati, apa adanya itu lebih baik. Harus berani apa adanya, (karena) orang kalau sederhana aman di mana-mana aja."
Selain menceritakan teladan yang diajarkan Poerwadarminta, Hartanto juga mengungkap setelah sang kakek wafat, sejumlah buku-buku dicetak ulang tanpa izin ahli waris.
"Kami tidak dapat royalti (dan) kalau dihitung sih ada miliaran. Terus kemudian diurus terus akhirnya dapet sebagian, tapi sebagian masih banyak yang berutang. Tapi it's OK-lah itu kan dulu bukan kita-kita yang urusi," ujarnya.
Ia pun mengungkapkan sejumlah peninggalan Poerwadarminta sekarang dikelola Yayasan WJS Poerwadarminta yang berlokasi di Jakarta.
(pal/pal)