Kerja Sunyi Sang Munsyi

ADVERTISEMENT

Lipsus Bulan Bahasa - WJS Poerwadarminta

Kerja Sunyi Sang Munsyi

Nimas Ayu Rosari, Baladan Hadza Firosya - detikEdu
Sabtu, 28 Okt 2023 18:28 WIB
W.J.S Poerwadarminta dan Kamus Umum Bahasa Indonesia
WJS Poerwadarminta dan Kamus Umum Bahasa Indonesia Foto: Zaki Alfarabi/Tim Infografis
Jakarta -

Nama W(ilfridus) J(osef) S(abarija) Poerwadarminta pasti tak asing bagi generasi era di bawah tahun 2000-an. Nama itu melekat pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang dicetak pertama kali pada 1953.

Setidaknya lebih dari tiga dasawarsa kamus babon yang disusunnya menjadi acuan utama bagi orang yang ingin mencari arti kata atau istilah hingga terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada akhir 1980-an.

Poerwadarminta bukanlah seorang pekamus yang khusus belajar untuk keahlian tersebut. Pria yang lahir di Yogyakarta, 12 September 1904 itu adalah alumnus sekolah guru empat tahun dengan pengantar bahasa Jawa atau Normaalschool di Ambarawa, Jawa Tengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Prof Piet Josephus Zoetmulder, seorang pakar sastra Jawa Kuno dan penulis Old Javanese-English Dictionary menjuluki Poerwadarminta sebagai "leksikograf terbaik di Indonesia". Sanjungan itu diungkapkan Pollycarpus Swantoro dalam buku berjudul Dari Buku ke Buku, "Zoetmulder tentu berpendidikan universitas."

Pengalaman yang tidak mengenakkan saat menjadi guru membuatnya tekun belajar bahasa-bahasa asing khususnya Belanda, Inggris, dan Jepang. Swantoro mengungkapkan ada ejekan bagi para guru lulusan Normaalschool. Selain itu, gajinya pun lebih rendah dibanding guru lulusan Kweekschool yang berpengantar bahasa Belanda.

ADVERTISEMENT

John M Echols, guru besar linguistik dan studi Asia, Cornell University, Amerika Serikat dalam artikel In Memoriam: W. J. S. Purwadarminta (1904-1968) menuliskan pada 1932, Poerwadarminta mendapat undangan dari pemerintah Jepang untuk mengajar bahasa Melayu dan Jawa di Geikokugo Gakko (Sekolah Bahasa Asing) di Tokyo, Jepang.

Sembari mengajar Poerwadarminta memanfaatkan waktu untuk memperdalam bahasa Jepang. Ia kembali ke Indonesia pada 1937 dan bergabung dengan lembaga penerbitan Balai Pustaka sebagai staf editorial.

Setelah Perang Dunia II, Poerwadarminta bekerja pada Lembaga Penjelidikan Bahasa dan Kebudajaan Universitas Indonesia di Jalan Diponegoro 72, Jakarta. Lembaga ini merupakan cikal bakal Pusat Bahasa. "Di tempat itu saya pertama kali bertemu Poerwadarminta pada 1951," ujar Echols.

Menyusun Kamus Sederhana dan Praktis

Berkat bahasa Jepang yang dikuasainya, pada masa pendudukan Jepang, Poerwadarminta menyusun kamus Nippon-Indonesia, Indonesia-Nippon.

Namun jauh sebelum kamus tersebut, ia telah menyusun kamus lain terutama yang berhubungan dengan bahasa Jawa. Saat masih menjadi guru, ia menyusun Baoesastra Djawa I bersama CS Hardjasoedarmo dan J Chr Poedjasudira terbitan 1930.

Saat di Jepang, ia masih menyempatkan menyusun Baoesastra Walandi-Djawi (1936) atau Kamus Belanda-Jawa yang terbit di Batavia oleh Penerbit Amsterdam. Kemudian, Poerwadarminta kembali menyusun Baoesastra Djawa jilid kedua pada 1939.

Tentu saja, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang paling menyita perhatiannya. Keuletan, ketelatenan, kedisiplinan, dan kegigihan Poerwadarminta diuji untuk menghasilkan kamus tersebut.

Sampai kamus siap cetak dan diterbitkan pada 1953, suami Agnes Sukirah itu membutuhkan waktu sembilan tahun. "Dihitung mulai pengumpulan kata-kata," tulis Swantoro. Sementara untuk menyusun kata-kata yang telah dikumpulkan tersebut dibutuhkan kurang lebih tiga tahun.

Kamar WJS Poerwadarminta, Bapak Kamus Indonesia. Di kamar ini Poerwadarminta mengerjakan penyusunan sejumlah kamus salah satunya Kamus Umum Bahasa Indonesia.Kamar WJS Poerwadarminta, Bapak Kamus Indonesia. Di kamar ini Poerwadarminta mengerjakan penyusunan sejumlah kamus salah satunya Kamus Umum Bahasa Indonesia. Foto: Baladan Hadza Firosya

Dalam menyusun kamus, ia menggunakan dalil "kalau sebuah kata telah dipergunakan oleh lima penulis pada lima tempat, maka kata itu adalah kata Indonesia".

Semua kata yang terkumpul, disusun dalam sistem kartu menurut abjad. Setiap kata ditulis pada sehelai kartu, disertai keterangan-keterangan yang sekiranya diperlukan, seperti terdapat di mana saja, apa sajakah artinya, bagaimana penggunaannya.

"Semua bacaan yang sudah diambil kata-katanya harus disimpan baik-baik, didokumentasikan, sebagai bahan pertanggungjawaban," tulis Swantoro.

Cucu tertua Poerwadarminta, Hubertus Hartanto menyampaikan eyang Poer menggunakan kotak untuk memilah-milah kata berdasarkan abjad. "Cara kerja eyang memang sangat manual. Setelah terkumpul kata-kata diketik, salah sedikit kertas dibuang. Jadi prosesnya memang lama," ujar Hartanto pada detikedu, di Yogyakarta.

Sebagai patokan awal pengumpulan kata-kata, Poerwadarminta mempergunakan novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1936. "Semua kata yang terdapat dalam buku tersebut disusun sebagai patokan, dan sesudah itu baru diteliti bahan bacaan lain," tulis Swantoro.

Ia mengumpulkan juga kata-kata yang dipergunakan sebelum tahun 1925 dari sekitar 40 buku yang terbit di tahun yang sama atau sebelumnya. Sesudah kata-kata terkumpul dan disusun dalam sistem kartu, lalu dicari sistem yang terbaik untuk menyusun kata-kata tersebut menjadi sebuah kamus.

Swantoro, dalam bukunya mengingat ucapan Poerwadarminta,"Pekerjaan memilih dan menyusun kata, tidak lebih sulit daripada memberi arti, mencari kata-kata lain atau berusaha mendapat penegasan atau definisi yang tepat." Menurut Poerwadarminta, pemberian definisi atau penegasan pengertian merupakan hal yang sulit dalam penyusunan kamus se-bahasa.

WJS Poerwadarminta Peletak Dasar Leksikografi >>>

Eko Endarmoko dan Anton M Moeliono dalam artikel berjudul W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia di buku Remah-remah Bahasa mengungkapkan menilik cara kerjanya, tak pelak Poerwadarminta layak disebut sebagai peletak dasar leksikografi di Indonesia.

Tiap kata dari berbagai sumber dicatat dalam kartu disertai keterangan mengenai sumber, batas-batas arti, serta bagaimana penggunaannya.

"Bersama sekian teks yang telah ia ambil kata-katanya, semua bahan tersebut kemudian ia simpan baik-baik. Sebuah ketelatenan yang amat menakjubkan, dan ini baru merupakan langkah awal dari satu pekerjaan mahapelik"

Karena itu, kamus yang dihasilkan Poerwadarminta pun kemudian layak dipandang sebagai tonggak dan dipergunakan sebagai rujukan dalam pengembangan kamus bahasa Indonesia.

Kerja dalam Kesunyian

Menurut cerita, laki-laki yang biasa memakai surjan dan blangkon bercorak lurik ini akan sangat serius jika sudah mulai asyik "bergumul" dengan kata-kata.

Cucu Poerwadarminta, Hartanto menyebut ada dua tempat favorit eyangnya bekerja yakni di kamar dan ruang tamu. "Di pojokan ruang tamu dulu ada dipan lengkung yang digunakan untuk istirahat di sela-sela waktu bekerja. Eyang kerja dalam kesunyian," ujar Hartanto.

Cucu tertua WJS Poerwadarminta, Hubertus HartantoCucu tertua WJS Poerwadarminta, Hubertus Hartanto Foto: Baladan Hadza Firosya

Swantoro menulis, menyusun kamus di masa sekarang tidak selama ketika dahulu Poerwadarminta mulai bekerja mengumpulkan kata-kata dan menyusunnya. Poerwadarminta bekerja sendirian, dalam kesunyian dan keterbatasan teknologi.

"Menyusun KBBI tidak memakan waktu sama lamanya dengan menyusun Kamus Umum Poerwadarminta untuk pertama kali. Perbedaan jangka waktu ini tidak saja karena adanya akhir-akhir ini peralatan modern seperti komputer, tetapi juga karena anggota tim penyusun sudah jauh lebih banyak dan kompeten."

Menjelang penghujung November 1968, Poerwadarminta yang saat itu berusia 64 tahun, tiba-tiba mengeluh sakit perut ketika tengah bertekun menyusun kamus Indonesia-Prancis. Kamus tersebut disusun dengan bantuan putri sulungnya, Elisabeth Soehartinah.

Ia tak bisa melanjutkan pekerjaannya dan kemudian dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta untuk diopname, lalu dioperasi. Namun, pascaoperasi kondisi kesehatannya justru berangsur-angsur melemah. Poerwadarminta akhirnya meninggal dunia pada Kamis 28 November 1968.

John M Echols mengungkapkan wafatnya Poerwadarminta, seorang leksikografer dan ahli tata bahasa yang luar biasa merupakan sebuah kehilangan besar bagi Indonesia.


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads