Meski di Tengah Gurun yang Gersang, Kerajaan Ini Punya Pasokan Air Melimpah

ADVERTISEMENT

Meski di Tengah Gurun yang Gersang, Kerajaan Ini Punya Pasokan Air Melimpah

Nimas Ayu Rosari - detikEdu
Kamis, 26 Okt 2023 19:30 WIB
Kerajaan Garamantian
Foto: Franzfoto via Wikimedia Commons
Jakarta -

Kerajaan Garamantian merupakan kerajaan yang berada di Sahara sekitar lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Meski berada di wilayah gurun, mereka memiliki cara tersendiri untuk tetap mendapatkan air bawah tanah demi bertahan hidup.

"Mereka beruntung memiliki akuifer kelas dunia," kata Frank Schwartz, ahli hidrogeologi dari Ohio State University dalam Live Science.

"Tetapi sistem ini tidak bersifat berkelanjutan sehingga pada akhirnya akan habis," tambahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Schwartz telah mempelajari masalah hidrogeologi pada peradaban kuno dengan menggambarkan naik turunnya Sungai Garamantes. Ia mempublikasikannya di konferensi Geological Society of America di Pittsburgh pada 16 Oktober lalu.

Kerajaan Besar

Garamantes berlokasi tepat di wilayah Fezzan Afrika Utara yang kini berada di barat daya Libya. Kerajaan ini sebelumnya dianggap sebagai kerajaan kecil yang kemudian ditundukkan oleh perluasan Kekaisaran Romawi di abad pertama.

ADVERTISEMENT

Kemudian sejak tahun 1960-an, para arkeolog menemukan bukti bahwa Garamantes sebenarnya adalah kerajaan yang besar dan kuat. Kotanya dialiri air melalui terowongan bawah tanah atau foggara dari teknik akuifer kuno di dataran tinggi.

"Ini adalah masyarakat pertama yang tumbuh di Afrika tanpa sungai. Di Mesir mereka mengalami banjir dari Sungai Nil, tetapi di sini tidak ada apa-apa," jelas Schwartz.

Kerajaan Garamantian di Sahara

Menurut pendapat Schwartz, kaum Garamantes adalah keturunan penggembala sapi Neolitik yang tinggal di wilayah tersebut antara 7.000 dan 5.000 tahun lalu. Mereka hidup ketika Sahara sedang mengalami fase hijau, di mana iklimnya relatif basah akibat rotasi Bumi dan terjadi setiap 23.000 tahun.

Iklim Sahara kemudian berubah menjadi gersang ketika Kerajaan Garamantian berdiri sekitar tahun 400 SM.

Para arkeolog berpendapat bahwa kaum Garamantes melakukan ekstraksi air tanah dengan teknologi tertentu, seperti sumur "shadoof" dengan mengangkat air dalam ember menggunakan tuas. Sedangkan sumur "dalw" mengangkat airnya dengan kantong kulit menggunakan hewan yang diikat.

Inovasi terbesar yang pernah dilakukan adalah adanya foggara yang berasal dari Persia. Foggara ini merupakan terowongan dikenal sebagai qanats yang mengalirkan air ke kota Garamantian.

Sebagian besar qanats Persia yang kering kemudian terisi kembali setiap tahun dengan air yang berasal dari salju mencair. Sedangkan foggara Garamantian memanfaatkan akuifer bawah tanah kuno di dataran tinggi yang airnya telah terisi kembali selama fase Sahara hijau pada puluhan juta tahun sebelumnya. Keadaan di Garamantes ini menurut Schwartz sebagai suatu keberuntungan karena bisa dialiri air dari foggara.

"Ini seharusnya tidak berhasil di sini," ucapnya.

Namun nyatanya air berhasil mengalir dari foggara dan memungkinkan Garamantes mendirikan kerajaan yang kuat di tengah gurun.

Penggalian Jalur Air

Para arkeolog mengidentifikasi terdapat lebih dari 460 mil atau 750 kilometer foggara di wilayah Fezzan dan mungkin dibuat dengan digali oleh budak Garamantia.

Diketahui foggara terpanjang sebelumnya hanya memiliki panjang 6,5 kilometer dengan menembus pasir, kerikil, dan batu pasir padat. Porosnya sebagai akses turun ke terowongan kira-kira sedalam 5 sampai 10 meter.

Sedangkan foggara tertua berasal dari bahan organik di lapisan poros batu bara lumpur antara tahun 391 dan 206 SM, menurut Andrew Wilson, profesor arkeologi dari Universitas Oxford.

Wilson masih belum tahu seberapa banyak air yang mengalir di foggara dari akuifer kuno dan sejauh mana akuifer tersebut terisi kembali oleh hujan. Ia menemukan pula adanya tanda-tanda yang mencerminkan terjadinya penurunan muka air tanah, seperti semakin bertambahnya kedalaman dan luasnya foggara.

"Pada akhirnya foggara tersebut rusak setelah beberapa abad," jelasnya.

Penurunan muka air tanah tersebut yang menyebabkan kemunduran kerajaan Garamantian sekitar tahun 100 M.

Meski begitu, air bawah tanah tersebut masih dieksploitasi oleh Proyek Sungai Besar dari Libya (GMMRP) sejak tahun 1980 dan kini digunakan untuk memasok air ke lahan pertanian serta masyarakat di wilayah utara.

Hancurnya Garamantes menggambarkan bahaya dari eksploitasi pasokan air tanah kuno, seperti yang dilakukan oleh California dan Iran sekarang ini.

"Garamantes sempat mengalami keberuntungan untuk sementara waktu, tetapi hal itu tidak berlangsung lama," kata Schwartz.




(nah/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads