Sejarah dan Filosofi Tenun Ikat di Baju Adat Tanimbar yang Dipakai Jokowi

ADVERTISEMENT

Sejarah dan Filosofi Tenun Ikat di Baju Adat Tanimbar yang Dipakai Jokowi

Devita Savitri - detikEdu
Rabu, 16 Agu 2023 11:30 WIB
Presiden Jokowi
Foto: Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden
Jakarta -

Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan baju adat saat menghadiri Sidang Tahunan MPR. Tahun ini, Jokowi hadir mengenakan baju adat Suku Tanimbar dari Maluku.

Dikutip dari detikNews, Rabu (16/8/2023) Jokowi disebut sebagai presiden pertama yang memulai tradisi mengenakan pakaian adat saat Sidang Tahunan MPR. Langkah ini dilakukannya pertama kali sejak Sidang Tahunan MPR tahun 2017.

Berbagai baju adat yang pernah digunakan seperti Baju Adat Suku Bugis (2017), Baju Adat Suku Sasak (2019), Baju Adat Suku Sabu (2020), Baju Adat Suku Baduy (2021), Baju Adat Bangka Belitung (2022), dan Baju Adat Suku Tanimbar (2023).

Baju Adat Suku Tanimbar yang digunakan Jokowi tahun ini memiliki ciri khas kain tenun dengan filosofi tersendiri loh! Begini penjelasannya.

Busana Adat Tanimbar

Dikutip dari jurnal Moda Volume 3 Nomor 1 Januari 2021 berjudul "Penggunaan Bahan Tenun Ikat Tanimbar Pada Busana Resort Wear" karya Ivona Maria Tanlain, dkk, dijelaskan Suku Tanimbar berasal dari Kabupaten Kepulauan Tanimbar yang terletak di Provinsi Maluku. Ibu kota kabupaten ini terletak di Saumlaki.

Busana adat yang dipakai perempuan Tanimbar pada saat mengikuti upacara adat yaitu dengan kebaya dan tais (kain tenun). Penampilan perempuan juga dilengkapi dengan aksesoris yang menghiasi tubuh seperti sinune (selendang), somalea (hiasan dar cendrawasih di atas kepala atau dahi), ngore (kalung), lelbutir (anting), belusu (gelang), dan lufu (tas dari anyaman rotan).

Sedangkan busana adat pria Tanimbar adalah teik (cawat) atau umban. Teik terbuat dari tenunan kain yang berukuran kecil dan dipakai untuk menutup alat kelamin.

Sedangkan umbat adalah cawat yang terbuat dari tenunan yang berukuran sekitar 3 meter. Cawat digunakan dengan cara diikat pada bagian pinggang pada saat upacara adat.

Pria Tanimbar juga menambahkan kelengkapan seperti tatabun ulun (kain penutup kepala), somalea (hiasan dari cendrawasih di kepala), kmwenga (anting emas atau perak) dan wangpar (gantungan emas di dada).

Sejarah dan Filosofi Tenun Ikat di Baju Adat Tanimbar

Sejarah

Sejarah tenun ikat di kepulauan Tanimbar menurut sejarah pertama kali diperkenalkan oleh ahli etnografi Indonesia dari Belanda pada tahun 1900. Ia adalah G P Rouffaen.

Rouffaen meneliti cara pembuatan ragam hias dan proses pewarnaan yang membentuk pola sesuai dengan ikatan yang ada. Rouffaen meminjam istilah bahasa melayu "ikat" untuk menamakan teknik ini. Sehingga hasilnya disebut "tenun ikat".

Sejak dahulu kala masyarakat di Kepulauan Tanimbar sudah mengetahui cara menenun. Mereka mengambil daun lontar, dibersihkan, dan diambil serat-seratnya.

Dari serat itu daun lontar dianyam menyerupai bentuk kain. Namun, lama-lama tradisi ini ditinggalkan karena kain yang dianyam dari serat daun lontar tidak bertahan lama.

Seiring dengan perkembangan zaman, Suku Tanimbar mulai mengenal kapas yang dipintal untuk dijadikan benang. Mereka menggunakan pewarna alami dari kayu dan dedaunan.

Penggunaan kain tenun ikat Tanimbar juga bisa menentukan derajat seseorang. Bila kain ikat dengan warna dasar coklat menandakan orang itu dari keluarga bangsawan.

Sedangkan bila kain tenun ikat berwarna dasar hitam kebiruan menandakan golongan menengan. Terakhir warna dasar hitam saja menandakan golongan rakyat biasa.

Filosofi

Kain tenun ikat di baju adat Tanimbar umumnya memiliki ragam warna dan didominasi oleh garis-garis dan corak tertentu. Garis dan corak ini diadaptasi dari alam sekitarnya.

Di Kepulauan Tanimbar sendiri dahulu ada kurang lebih 47 motif tenun ikat. Namun, saat ini yang tersisa hanya 7, yaitu:

  1. Motif Lelmuku (Bunga Anggrek): ciri khasnya ada bunga anggrek yang diapit oleh beberapa garis yang melambangkan kecantikan, keanggunan, dan keuletan.
  2. Motif Sair (Bendera): berbentuk seperti bendera yang menggambarkan semangat masyarakat Kepulauan Tanimbar dalam mempertahankan identitas semua wanita.
  3. Motif Tunis (Anak Panah): berbentuk anak panah yang diapit oleh beberapa garis. Motif ini menggambarkan kesiapan mental masyarakat Kepulauan Tanimbar yang selalu berhati-hati.
  4. Motif Ulerati (Ulat kecil): berbentuk ulat kecil yang dikombinasikan beberapa motif lainnya. Filosofinya tentang kecintaan masyarakat akan lingkungan sekitar.
  5. Motif Eman Matan Lihir: terinspirasi dari jenis busana pria jaman dulu, tetapi yang dipandang dari satu sisi.
  6. Motif Mantatur (Tulang Ikan): memiliki ciri khas berwarna biru yang menggambarkan warna laut dan motif tulang ikan yang menggambarkan sumber daya laut yang berlimpah.
  7. Motif Wulan Lihir (Bulan Sabit): motif ini dibuat terinspirasi dari bulan dan keadaan alam masyarakat Tanimbar. Pada waktu bulan bersinar, masyarakat melakukan pelayaran untuk mencari hasil laut dan makanan di darat.



(nah/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads