Kisah "kutukan mumi" menarik perhatian dunia setelah sekitar satu abad yang lalu arkeolog Inggris Howard Carter menemukan makam kuno Raja Tutankhamun, firaun dari dinasti ke-18 Mesir Kuno.
Makam itu ditemukan di Lembah Para Raja dekat Luxor, Mesir, dan harta karunnya masih dianggap sebagai salah satu penemuan arkeologi yang paling legendaris.
Namun, pada hari Carter membuka makam itu, seekor ular membunuh burung kenarinya. Beberapa staf lokal Mesir menganggapnya sebagai peringatan dari arwah Raja yang telah meninggal.
"Peringatan agar tidak mengganggu privasi makam lebih jauh," seperti dilaporkan koran The New York Times edisi 22 Desember 1922.
Desas-desus terus beredar tentang kutukan mumi yang dilepaskan Carter, terutama ketika orang-orang yang terkait dengan penggalian mulai sekarat.
Setahun setelahnya, tepatnya 5 April 1923, George Edward Stanhope Molyneux Herbert, donatur penggalian makam Raja Tut, terbaring demam dan batuk di rumah sakit Kairo.
Pria yang dikenal dengan Lord Carnarvon pun meninggal dunia diduga akibat pneumonia dengan peradangan pada paru-paru.
Menurut Science Alert, sakit yang dialami Carnavon disebabkan dia hadir pada pembukaan makam Tutankhamun beberapa bulan sebelumnya. Seketika rumor kutukan mulai beredar.
Setelah itu terdapat 9 hingga 20 kematian yang dikaitkan dengan kutukan Raja Tut.Termasuk mereka yang tewas dalam kecelakaan mobil, penembakan, dan kebakaran rumah.
Bahkan beberapa dari mereka belum pernah mengunjungi makam itu dan hanya berhubungan dengan seseorang yang pernah mengunjunginya.
Jamur Bisa Jadi Sebabnya?
Dua dokter menerbitkan surat di The Lancet pada tahun 2003 yang menyatakan bahwa aspergillus, jamur biasa, bisa membuat orang sakit.
Aspergillosis dapat menyebabkan batuk, sesak napas, tetapi lebih serius bagi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Dikutip dari Insider, dalam studi tahun 2013, peneliti Universitas Harvard melihat bintik-bintik coklat yang ditemukan di dinding makam Tutankhamun.
Ahli mikrobiologi ingin menentukan apakah jamur atau mikroba lain bertanggung jawab atas bintik-bintik tersebut dan menimbulkan risiko kesehatan bagi pengunjung. Hanya saja analisis menemukan bukti bahwa ternyata jamur dan bakteri tersebut tidak lagi aktif dan tidak menimbulkan ancaman bagi pengunjung.
Tidak mungkin untuk mengatakan apakah aspergillus atau jamur lain berkontribusi pada kematian orang-orang yang mengunjungi makam. Tetapi saat ini, para arkeolog mengenakan sarung tangan, masker, hingga penghalang pakaian sekali pakai untuk melindungi diri dari jamur di makam Raja Tutankhamun.
Profesor arkeologi di Central Connecticut State University di New Britain, Kenneth Feder mengungkapkan banyak situs penggalian arkeologi menyimpan kejutan biologis yang berpotensi buruk.
"Ada ilmu di balik fakta bahwa ketika sebuah deposit yang sudah lama disimpan terbuka, setidaknya dapat dibayangkan bahwa Anda dapat mengekspos diri Anda pada beberapa hal jahat," kata Feder yang juga co-editor buku Dangerous Places: Health, Safety, and Archaeology.
Menurutnya, para peneliti di sebagian besar penggalian arkeologi pasti akan terkena debu. Mau tidak mau mereka akan terpapar pada apa pun yang dikandung debu tersebut.
"... dan jika terkena jamur, spora, atau jamur yang tidak aktif di bumi, setidaknya ada kemungkinan terkena beberapa hal buruk," ujar Feder.
Simak Video "Video: Aksi Bela Palestina di Kedubes Mesir, Desak Perbatasan Rafah Dibuka"
(nir/pal)