Ini Alasan Mengapa Kabar Buruk Bisa Membuat Kita Merasa Sakit

ADVERTISEMENT

Ini Alasan Mengapa Kabar Buruk Bisa Membuat Kita Merasa Sakit

Fahri Zulfikar - detikEdu
Jumat, 11 Agu 2023 06:30 WIB
Emotional Asian Woman Covering Ears With Hands At Home, Annoyed Millennial Korean Lady Suffering Stress Or Headache, Can Not Bear Sound, Feeling Desperate And Having Nervous Breakdown, Closeup Shot
Foto: Getty Images/iStockphoto/Prostock-Studio/Ilustrasi stres karena kabar buruk
Jakarta -

Sering merasa tubuh kurang enak atau sakit setelah mendengar kabar buruk? Ternyata itu adalah reaksi yang terkait dengan hubungan pikiran dan kesehatan fisik kita.

Susanne Babbel, seorang psikoterapis yang berspesialisasi dalam pemulihan trauma, mengatakan bahwa otak ternyata dirancang untuk memproses stres yang berkaitan dengan trauma dengan memasuki apa yang dikenal sebagai mode "lawan, lari, diam" sebelum kembali ke keadaan tenang.

Namun, paparan trauma yang terus-menerus dapat menggagalkan kemampuan kita untuk mengatasi secara (fisik) sehat dan menghalangi kemampuan kita untuk kembali ke keadaan rileks.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Setiap kali kita mengalami atau mendengar tentang peristiwa traumatis (kabar buruk), kita masuk ke mode stres. Kita mungkin mati rasa atau memiliki respons ketakutan yang terlalu aktif terhadap ancaman yang dirasakan. Fisiologi kita dipicu untuk melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin," kata Babbel dikutip dari CNN Internasional.


Kabar Buruk yang Berulang Bisa Membuat Fisik Lelah

Biasanya, setelah ancaman akibat kabar buruk yang dirasakan sudah teratasi, keadaan homeostasis istirahat tubuh harus diperoleh kembali.

ADVERTISEMENT

Namun, paparan berulang terhadap peristiwa traumatis membuat tubuh mengalami proses ini jauh lebih sering dari sebelumnya. Ini dapat mengganggu pemulihan yang tenang.

"Seiring waktu, saat kita mengalami proses ini berulang kali, kelenjar adrenal kita bisa menjadi lelah. Kelelahan adrenal dapat menyebabkan kelelahan di pagi hari, kurang tidur nyenyak, kecemasan dan depresi, serta banyak gejala lainnya," imbuh Babbel.

Bagaimana Otak Merespon Kabar Buruk

Melansir BBC Science Focus, pada tingkat neurobiologis, reaksi terhadap kabar buruk atau trauma diatur oleh apa yang dikenal sebagai sistem saraf simpatik.

Sistem ini yang mengirimkan perintah dari sumsum tulang belakang ke organ utama tubuh, termasuk jantung dan usus. Kemudian singkatnya, proses ini yang mempersiapkan tubuh untuk melawan atau melarikan diri saat menghadapi bahaya.

Bagian penting dari respons melawan atau lari pada otak adalah mematikan pencernaan sehingga aliran darah dan energi dapat dikirim ke otot tungkai kita.

Pada beberapa orang, efek tiba-tiba pada pencernaan ini dapat bermanifestasi sebagai mual, muntah, atau diare. Singkatnya, kabar buruk telah mendorong seseorang untuk merasa terancam dan tubuh telah memicu mode bertahan hidupnya.

Adapun sistem saraf simpatik selalu berlawanan dengan sistem saraf parasimpatis, yang lebih aktif saat kita sedang rileks. Ini mengirimkan pesannya sendiri ke tubuh kita, termasuk mendorong pencernaan.

Jadi apa pun yang dapat dilakukan untuk meningkatkan aktivitas sistem saraf parasimpatis, bisa membantu seseorang mengatasi perasaan sakit yang diakibatkan kabar buruk tersebut.

Cara Menghilangkan Gangguan Kabar Buruk

Menurut Babbel, salah satu cara untuk mengatasi keterpaparan kabar buruk yang terus-menerus adalah dengan tidak dibebani dengan berita dan perhatikan konsumsi informasi setiap harinya.

Terlebih di era media sosial, orang cenderung mudah mengambil perasaan saat melihat kabar buruk yang memang setiap hari ada. Sementara dia lupa dengan kesehatan pikiran dan fisiknya ketika mengonsumsi informasi seperti itu.

"Setiap orang memiliki batasan yang berbeda, dan Anda harus mencari tahu batasan Anda," ungkap Babbel.

Menetapkan batasan seberapa banyak melihat berita atau membuka media sosial dapat menciptakan ruang dan waktu bagi untuk menenangkan respons stres sistem saraf dan kembali normal.

Bila perlu, matikan pemberitahuan media sosial di ponsel atau menyisihkan waktu tertentu untuk memeriksa peristiwa dunia nyata di sekitar.

"Yang penting adalah memperhatikan saat Anda kelebihan beban, mulai stres, merasa mati rasa, dan murung atau jengkel atau merasakan gejala luar lainnya dari respons sistem saraf. Setiap kali Anda merasa 'tidak aktif', itu adalah sinyal. Itu adalah sinyal Anda bahwa Anda harus berhenti," tutur Babbel.




(faz/pal)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads