Kekerasan Jelang Pemilu pada Jurnalis, Ini Kata Wamen Kominfo & Staf Ahli KSP

ADVERTISEMENT

Kekerasan Jelang Pemilu pada Jurnalis, Ini Kata Wamen Kominfo & Staf Ahli KSP

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 07 Agu 2023 20:47 WIB
Diskusi kekerasan terhadap jurnalis
Wamen Kominfo dan Staf Ahli Kantor Staf Presiden angkat bicara soal merespons kekerasan pada jurnalis jelang pemilu 2024. Foto: Trisna Wulandari/detikEdu
Jakarta - Jelang Pemilu 2024, 58 kasus kekerasan terhadap jurnalis terdata sepanjang Januari-Juli 2023. Jumlah kasus ini naik dari total 61 kasus yang terdata oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2022.

"Kekerasan fisik sebanyak 12 kasus, ancaman 10 kasus, serangan digital 8, teror dan intimidasi 7, penghapusan hasil liputan 6 kasus, pelarangan liputan 5 kasus, kekerasan seksual/berbasis gender 5 kasus, perusakan atau perampasan alat 3 kasus, penuntutan hukum 1 kasus, dan pelecehan 1 kasus," papar Ketua Divisi Advokasi AJI Erick Tanjung dalam Diskusi Publik Keamanan Jurnalis, Tanggung Jawab Siapa? yang digelar AJI bersama Usaid dan Internews di Hotel Morrissey Jakarta, Senin (7/8/2023).

UU Pers dan MoU dengan Penegak Hukum

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamen Kominfo) Nezar Patria mengatakan, pelembagaan demokrasi semula mampu menurunkan tingkat ancaman dan penghabisan nyawa jurnalis pascareformasi ketimbang di masa Orde Baru, termasuk dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurutnya, kehadiran Dewan Pers cukup membantu persoalan di komunitas pers sendiri, termasuk soal merawat kebebasan pers. Terkait tuntutan hukum, sambung Nezar, jurnalis dapat menggunakan UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Menghadapi tuntutan-tuntutan hukum, kita masih punya yang namanya KUHP. Polisi tidak bisa menolak jika ada laporan masyarakat terhadap suatu perbuatan yang melawan hukum," kata Nezar dalam kesempatan yang sama.

"Dan kalau yang dilaporkan ini media, oleh masyarakat ke aparat penegak hukum, sepenuhnya itu sah. Aturan hukum kita mengatakan demikian. Tapi di sisi lain, media dilindungi UU Pers, UU No 40 Tahun 1999," sambungnya.

Menurutnya, Dewan Pers berupaya mengambil jalan tengah atas himpitan jurnalis dan masyarakat. Contohnya yakni MoU terkait kerja jurnalistik dengan tiga lembaga penegak hukum, yakni Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

MoU tersebut diharapkan membantu pihak penegak hukum memahami kerja jurnalistik dan dapat menyerahkan masalah terkait kode etik jurnalis ke Dewan Pers. Sedangkan masalah terkait pidana atau nonjurnalistik baru diproses hukum.

"Sekadang mendorong ke yang lebih detail lagi (aturannya), yakni Perkap (Peraturan Kapolri). Dengan demikian, koridornya makin jelas, SOP main jelas, tidak terjadi lagi kebingungan-kebingungan," kata Nezar.

"MoU dengan Kapolri ini sudah berjalan hampir 3 periode, hampir 10 tahun. Sosialisasi sudah dilakukan Dewan Pers cukup intens, tetapi di Polri kita belum tahu. Dengan Perkap, sosialisasi ini diharapkan berlangsung lebih baik sehingga isu terkait pers bisa diselesaikan lewat UU Pers," sambung Wamen Kominfo.

Tantangan Profesionalisme dan Media di Sosmed

Di sisi lain, ia menekankan profesionalisme media di tengah entitas di media sosial yang melakukan praktik jurnalistik. Menurut Nezar, tantangan profesionalisme tidak mudah di tengah disrupsi teknologi dan budaya.

"Kepercayaan terhadap sosial media hampir menyaingi kepercayaan pada media mainstream. Ini jadi masalah juga. Tetapi yang terpenting adalah aturan yang bisa merespons perkembangan terbaru di ranah perkembangan media sosial. Kita tahu, percakapan publik saat ini didominasi media sosial, dan dia yang mendefinisikan realitas sosial politik kita hari ini, dan juga menentukan bagaimana gonjang-ganjing ekonomi dan sebagainya," kata Nezar.

Ia menambahkan, Dewan Pers karenanya harus kerja keras soal definisi perusahaan media berbadan hukum hari ini.

"Homeless media membuat masyarakat merasa punya hak menyiarkan hal yang menurutnya layak diketahui publik," sambungnya.

Ia menjelaskan, homeless media yang tidak mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan pers tidak menjadi tidak berpayung hukum. Akibatnya, ketika melanggar kerja jurnalistik atau terlibat masalah tertentu, maka jenis media yang tidak terdaftar ini tidak dapat dilindungi UU Pers.

"Banyak pers yang sekarang atau mereka mendirikan entitas perusahaan pers, atau entitas organisasi, lalu berpraktik jurnalistik, tidak mendaftar sebagai perusahaan pers, tidak pakai website, tetapi muncul di social media seperti homeless media. Lalu ketika ada persoalan-persoalan terkait yang ditulis atau disiarkan di platform media sosial itu, dilaporkan oleh masyarakat ke polisi, lalu homeless media ini menuntut dilindungi lewat UU Pers, ini menjadi problem sendiri," jelas Nezar.

Menurutnya, ada perbedaan yang cukup mencolok antara media mainstream yang bergerak dengan UU Pers dan media yang bergerak di social media. Salah satunya yakni cara ungkap berdasarkan asas kepatutan dan etik mungkin tidak lagi diadopsi atau jadi pegangan bagi media di media sosial tersebut.

"Di media sosial terjadi sekarang, seleb media sosial jadi rujukan informasi publik, diikuti. Jika punya akun, Anda bisa ulas soal politik, ekonom, bisa ulas cukup bebas," kata Nezar.

"Ini jadi tantangan. Di media mainstream punya media logic, sedangkan di sana social media logic, yang mungkin tidak sejalan. Contohnya dalam profesionalisme, wartawan jelas membedakan diri dengan pendongeng: tidak hanya memberitakan yang dia lihat, tetapi verifikasi," sambungnya.

Revisi Undang-Undang

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Mufti Makarim mengatakan, terkait memastikan keamanan kerja jurnalis oleh negara, pemerintah berkomitmen memberi perlindungan komprehensif dan legislasi yang mengarah pada pencegahan ancaman dan serangan kekerasan terhadap jurnalis.

"Misalnya, dalam Undang-Undang ITE itu memang dinilai bermasalah, dan arahan Presiden untuk dilakukan revisi itu sudah ditindaklanjuti, misalnya dengan SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung terkait pedoman implementasi pasal-pasal tertentu di Undang-Undang ITE," kata Mufti.

Lalu kedua, Presiden mendorong penyempurnaan Undang-Undang melalui revisi dengan mengirimkan surat Presiden ke DPR RI, yang ditandatangani 16 Desember 2021.

"Jadi sekarang sebenarnya proses yang didorong bersama pemerintah dan DPR, mudah-mudahan bisa didorong lebih cepat," ujarnya.

Terkait Pemilu 2024, Mufti mengatakan, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemulu juga memuat beberapa ketentuan yang memberikan keadilan dan perimbangan bagi media massa, daring dan cetak, untuk melakukan kerja jurnalistik. Lebih lanjut, KPAI dan Dewan pers diamanatkan melakukan pengawasan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak.


(twu/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads