Jurnalis membutuhkan kehati-hatian dan sensitivitas dalam pemberitaan yang menyangkut anak-anak.
Sebagai contoh, dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan."
Ahli Pers Dewan Pers Nurcholis MA Basyari menjelaskan pasal tersebut masih memiliki turunan soal pedoman pemberitaan ramah anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ini kalau di pasal kode etik, tapi nanti ada turunannya pedoman pemberitaan ramah anak itu, tidak hanya anak yang menjadi pelaku kejahatan, tapi korban dan juga saksi harus disembunyikan identitasnya," ungkapnya saat menjadi mentor dalam salah satu sesi Journalism Fellowship on CSR 2025 pada Kamis (17/4/2025) secara daring.
"Yang dimaksud dengan identitas yang harus disembunyikan, seperti apa? Yaitu segala hal yang, segala hal informasi ataupun semacamnya yang dapat dijadikan pijakan untuk akhirnya terungkap untuk menelusuri hingga terungkap jati diri si anak itu," jelas Direktur Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) itu dalam program yang didukung oleh Tower Bersama Group ini.
Sensitivitas Wartawan untuk Memberitakan Anak-anak
Kepala Laboratorium Newsroom Universitas Padjadjaran (Unpad) Rinda Aunillah Sirait menyampaikan penjelasan lain saat memberitakan anak.
Rinda mengatakan seorang wartawan harus mengembangkan empati dalam pemberitaan yang menyangkut anak-anak.
"Anak-anak ini kan pihak yang kalau kita bicara voice of the voiceless dalam konteks journalism, mereka kan kalau dianggap secara umur belum dewasa, sehingga perlu ada wali. Akhirnya kemampuan mereka bersuara pun tidak seperti orang dewasa," terang Rinda kepada detikEdu, Kamis (17/4/2025).
Hal itu, menurut Rinda, menyebabkan seluruh pihak baik wartawan maupun masyarakat perlu melindungi anak-anak di ruang publik. Sebab, secara psikologis belum dapat disetarakan orang dewasa. Selain itu, di mata hukum pun belum dianggap sebagai orang dewasa.
"Ini adalah salah satu kelompok yang rentan dan perlu dilindungi oleh pers," kata Rinda.
"Saya sering menyorotinya sih sekarang ini bagaimana pers memberitakan anak berkonflik dengan hukum. Pemberitaan anak berkonflik dengan hukum itu sering kali kita lupa ini anak-anak," lanjutnya.
Rinda mencontohkan, dalam penyiaran misalnya berlaku pada sistem blur, identitas yang tersamar.
Identitas yang tersamar itu pun, dosen prodi jurnalistik ini menegaskan, haruslah dengan "niat" atau sungguh-sungguh.
"Karena kan sekarang eranya media sosial. Walaupun tersamar tuh, inisial misalnya, tapi kemudian diberikan identitas-identitas tambahan yang memudahkan publik mencari tahu rujukannya," sebut Rinda.
Ia menekankan, karena publik juga mengakses media sosial, maka disiplin penyamaran identitas anak perlu dimulai dari pers.
"Karena kita sedang melindungi sosok yang kekuatannya tidak seperti halnya orang dewasa di mata hukum dan kekuatan psikologisnya," terang Rinda.
Pemberitaan Positif Anak-anak, Wartawan Perlu Lakukan Ini
Dalam konteks pemberitaan positif pun, misalnya untuk memberitakan prestasi seorang anak, Rinda menegaskan jurnalis perlu sadar anak-anak belum sepenuhnya dapat bertanggung jawab atas perbuatannya, merujuk pada aspek psikologis dan kedudukannya di mata hukum.
"Maka ada wali kan, orang tua. Nah, si konsep wali dan orang tua itulah yang menjadi kesepakatan awal do/dont's-nya. Kesepakatan wali, izin dari wali, orang tua," terang Rinda.
"Saya melihatnya di sini ada unsur consent (persetujuan) ya," imbuhnya.
Rinda menyebut, anak perlu didampingi oleh orang tua saat diwawancarai. Ia merekomendasikan agar jurnalis meminta consent dari wali untuk mengekspos anak dengan pertanyaan.
"Gimana kalau guru? Nah, kalau kita perlakukan guru sebagai wali, saya melihat secara psikologis nggak semua anak dekat dengan gurunya kan," kata Rinda.
"Nggak seterbuka dengan keluarga lah, rata-rata begitu. Jadi poin 7 di Pedoman Peliputan dan Pemberitaan Anak (Aliansi Jurnalis Indonesia-UNICEF) sih yang bisa kita rujuk," terangnya.
Sementara, untuk penggunaan foto pada pemberitaan prestasi anak, jurnalis juga perlu mengantisipasi hal yang tak diduga seperti respons deviasi (menyimpang). Misalnya, jika anak tersebut ternyata merasa tertekan ketika terekspos.
Meski begitu, Rinda juga menggarisbawahi respons deviasi semacam ini jarang karena kebanyakan orang senang diekspos.
Ia menegaskan kembali, jurnalis perlu meminta consent saat memberitakan seorang anak dengan prestasinya. Menurutnya, yang paling aman adalah mengambil foto anak tersebut dari area publik, bukan secara khusus untuk media dari wartawan yang bersangkutan.
"Yang enak itu menurut saya kalau memang mau ngambil foto, pada saat momen dia sedang ada di kegiatan penghargaannya. Kan biasanya ada di ruang publik ya. Bukan foto personal yang diambil oleh wartawan," tutur Rinda.
"Kalau dokumentasi pribadi kan berarti izin ya, itu nggak masalah. Tapi kalau, 'Ayo foto sama piagamnya sama pialanya', itu berbeda lagi karena dia perlu ditawari consent-nya mau atau nggak. Kalau dia tidak mau, jurnalis tidak membujuk, tidak mengiming-imingi, nggak boleh," jelasnya lagi.
Krisis dalam Pers
Rinda menjelaskan soal munculnya fenomena platypus journalism dan wartawan jale (wartawan amplop). Ia mengatakan, kedua fenomena ini adalah imbas dari pers yang digerakkan menjadi sebuah industri.
"Yang kemudian terepresi adalah jurnalis di dalamnya. Dan yang kelompok yang paling rentan adalah kontributor," ujar Rinda.
Ia menerangkan platypus journalism muncul karena wartawan harus memberikan beberapa bentuk produk mulai dari video untuk media sosial maupun platform lain, kemudian foto, juga audio. Sehingga, satu wartawan dituntut menghasilkan laporan untuk multiplatform.
"Kan jadinya kayak kita harus serba bisa," kata Rinda.
"Tapi di sisi lain sejauh mana apresiasi industri media atas kinerja yang berlebih itu? Jika kemudian ditekankan pada unsur aktualitas dan target pemberitaan, jumlah berita, jumlah karya jurnalistik yang harus dihasilkan, yang bicara soal produktivitas, terus kan pada akhirnya muncul fenomena yang saya pikir ya itu pelanggaran berat lah kalau disebut pelanggaran etik," bebernya.
"Ada beberapa kejadian wartawan bekerja sama dengan wartawan lain untuk bagi-bagi bahan peliputan. Ya karena apa, dia nggak mungkin berada di dua tempat di satu waktu. Tapi, di sisi lain ada tuntutan kinerja ya, produktivitas," imbuh Rinda.
Rinda juga menyinggung soal pelanggaran etik menyangkut firewall. Fenomena-fenomena ini menurutnya sudah ada dari dulu, tetapi karena ada pergeseran platform hingga model bisnis, maka variasi pelanggarannya juga menjadi lebih banyak.
(nah/nwk)