Saat ini, belum ada alat atau metode yang dapat memprediksi secara akurat kapan dan di mana gempa akan terjadi. Tetapi para ilmuwan sekarang percaya bahwa data dari Global Positioning System (GPS) dapat membantu menemukan tanda-tanda gempa dua jam sebelum terjadi.
Gempa Bumi terjadi ketika lempeng tektonik tiba-tiba meluncur melewati satu sama lain. Ini melepaskan gelombang energi yang memicu guncangan di permukaan, dari gemuruh kecil hingga gempa besar.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mencoba menemukan pola yang mendahului gempa Bumi besar sehingga orang memiliki waktu untuk bersiap. Namun, sejauh ini belum ada upaya yang berhasil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, setelah ada satelit GPS, muncul harapan bagi peneliti untuk mengidentifikasi tanda-tanda gempa kuat dua jam sebelum terjadi dengan melacak 'slip' kecil di lempeng tektonik.
Deteksi Gempa dengan Satelit GPS
Satelit GPS mampu mendeteksi pergerakan tanah dengan mengukur posisi sensor yang tertanam di sekitar Bumi, seperti dikutip dari dari Live Science. Besar perpindahannya dari waktu ke waktu kemudian juga dicatat.
Para peneliti menganalisis data GPS dari lebih dari 90 gempa bumi dengan magnitudo di atas 7. Data ini diambil dari Laboratorium Geodesi Nevada, laboratorium penelitian Universitas Nevada.
Para ilmuwan melacak bagaimana pergerakan tanah bergeser dalam 48 jam menjelang setiap peristiwa, khususnya dengan memperhatikan jumlah dan arah guncangan. Mereka menemukan bahwa dua jam sebelum gempa Bumi pecah, gerakan tanah horizontal semakin cepat dalam pola yang konsisten dengan kondisi yang disebut slip patahan lambat.
Slip patahan lambat yaitu saat tanah bergerak tanpa menghasilkan gelombang seismik atau getaran apa pun.
Peringatan 2 Jam sebelum Gempa
Mengidentifikasi pola gerakan halus dapat membantu para ilmuwan memperingatkan orang-orang tentang gempa Bumi beberapa jam sebelumnya. Dengan catatan, sistem GPS dikembangkan jadi lebih canggih, seperti dijelaskan rekan penulis studi Quentin Bletery.
"Kami tidak dapat mendeteksi pada skala satu gempa, jadi kami tidak dapat membuat prediksi," kata Bletery, ahli geofisika di Universitas CΓ΄te d'Azur di Prancis.
"Tapi itu memberi tahu kita bahwa ada sesuatu yang terjadi, dan jika kita membuat kemajuan yang signifikan dalam pengukuran--baik sensor itu sendiri, meningkatkan sensitivitasnya, atau hanya memiliki lebih banyak--kita dapat melihat sesuatu dan membuat prediksi," sambungnya.
Namun menurut John Rundle, seorang dosen di Departemen Fisika dan Geologi di University of California, Davis, temuan dari studi baru ini kemungkinan tidak dapat diterapkan untuk memprediksi gempa Bumi.
"Sementara kesimpulan dapat mendukung hipotesis bahwa mungkin ada proses fisik slip lambat yang [mendahului] gempa bumi besar, saya pikir itu akan menjadi kesalahan untuk berpikir bahwa ini dapat digunakan sebagai beberapa jenis observasi prediksi gempa," jelasnya.
(nir/twu)