Anak-anak dengan autisme atau gangguan perkembangan saraf ternyata memiliki dampak terhadap kemampuan mengingat pada memori otaknya. Hal ini telah diungkap oleh studi yang dilakukan tim Stanford Medicine.
Tim peneliti menemukan bahwa gangguan memori pada autisme tidak hanya berkaitan dengan pengenalan wajah yang buruk. Tetapi ada peran luas memori dalam neurobiologi gangguan tersebut.
Penelitian baru dari Stanford School of Medicine, menyebutkan, anak-anak dengan autisme memiliki tantangan memori yang tidak hanya menghambat memori mereka untuk wajah tetapi juga kemampuan mereka untuk mengingat jenis informasi lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gangguan ini tercermin dalam pola kabel yang berbeda di otak anak-anak," tulis studi yang diterbitkan 10 Juli di Biological Psychiatry dengan judul "Cognitive Neuroscience and Neuroimaging".
Kemampuan Ingatan pada Anak Autisme
Penelitian ini secara lebih jauh menunjukkan bahwa perjuangan ingatan mereka melampaui kemampuan mereka untuk membentuk ingatan sosial.
Para ilmuwan mengatakan, penemuan ini juga mendorong pemikiran yang lebih luas tentang autisme pada anak-anak dan tentang pengobatan gangguan perkembangan.
"Banyak anak autis yang berprestasi tinggi pergi ke sekolah umum dan menerima instruksi yang sama seperti anak-anak lain," kata penulis utama Jin Liu, PhD, seorang sarjana pascadoktoral dalam ilmu psikiatri dan perilaku.
Menurutnya, ingatan adalah prediktor utama keberhasilan akademik. Maka dari itu, tantangan ingatan bisa membuat anak-anak autis kurang beruntung di sekolah.
Meski begitu, temuan penelitian ini tetap menimbulkan perdebatan filosofis tentang asal-usul saraf autisme. Sebab, selama ini tantangan sosial telah diakui sebagai fitur inti autisme.
Tetapi ada kemungkinan gangguan memori juga dapat berkontribusi secara signifikan pada kemampuan untuk terlibat secara sosial.
"Kognisi sosial tidak dapat terjadi tanpa ingatan yang andal," kata penulis senior Vinod Menon, PhD, Rachael L. dan Walter F. Nichols, MD, Profesor dan profesor psikiatri dan ilmu perilaku.
"Perilaku sosial itu kompleks, dan melibatkan banyak proses otak, termasuk mengasosiasikan wajah dan suara ke konteks tertentu, yang membutuhkan memori episodik yang kuat. Kerusakan dalam membentuk jejak memori asosiatif ini bisa menjadi salah satu elemen dasar dalam autisme," imbuh Menon.
Tes Memori Komprehensif
Untuk mengklarifikasi dampak autisme pada ingatan, studi baru tim Stanford Medicine ini melibatkan 25 anak dengan autisme yang berfungsi tinggi dan IQ normal yang berusia 8 hingga 12 tahun.
Selain itu, ada juga kelompok kontrol yang terdiri dari 29 anak yang biasanya berkembang dengan usia dan IQ yang sama.
Semua peserta menyelesaikan evaluasi menyeluruh atas kemampuan ingatan mereka, termasuk kemampuan mengingat wajah; bahan tertulis; dan foto non-sosial, atau foto tanpa orang.
Para ilmuwan menguji kemampuan peserta untuk mengenali informasi secara akurat (dengan cara mengidentifikasi apakah mereka pernah melihat gambar atau mendengar kata sebelumnya) dan mengingatnya (menggambarkan atau mereproduksi detail informasi yang telah mereka lihat atau dengar sebelumnya).
Para peneliti menguji ingatan peserta setelah penundaan dengan durasi yang berbeda-beda. Semua peserta juga menerima pemindaian pencitraan resonansi magnetik fungsional otak mereka untuk mengevaluasi bagaimana daerah yang diketahui terlibat dalam memori terhubung satu sama lain.
Jaringan Otak yang Berbeda Mendorong Adanya Tantangan Memori
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, studi ini juga menemukan bahwa anak-anak dengan autisme memiliki lebih banyak kesulitan mengingat wajah daripada anak-anak yang sedang berkembang.
Penelitian menunjukkan mereka juga berjuang untuk mengingat informasi non-sosial. Pada tes tentang kalimat yang mereka baca dan foto non-sosial yang mereka lihat, skor mereka untuk mengingat verbal 'segera' dan 'tertunda', mengingat visual 'seger'a dan pengenalan verbal 'tertunda' lebih rendah.
"Kami berpikir bahwa perbedaan perilaku mungkin lemah karena peserta studi dengan autisme memiliki IQ yang cukup tinggi, sebanding dengan peserta yang sedang berkembang, tetapi kami masih mengamati gangguan memori umum yang sangat jelas pada kelompok ini," kata Liu.
Di antara anak-anak yang sedang berkembang, kemampuan ingatannya konsisten: Jika seorang anak memiliki ingatan yang baik untuk wajah, dia juga pandai mengingat informasi non-sosial.
Namun, Liu mengatakan hal ini tidak terjadi pada autisme. "Di antara anak-anak autis, beberapa anak tampaknya memiliki kedua gangguan tersebut dan beberapa lainnya memiliki gangguan yang lebih parah di satu bidang memori atau lainnya," jelasnya lebih lanjut.
Menurut peneliti lain, Menon, temuan ini cukup mengejutkan karena kedua dimensi ingatan sama-sama tidak berfungsi, dengan cara yang tampaknya tidak berhubungan.
"Itu memetakan analisis kami tentang sirkuit otak," ucapnya.
Pada saat dilakukan pemindaian otak, peneliti menemukan bahwa di antara anak-anak autis, jaringan otak yang berbeda ternyata mendorong berbagai jenis kesulitan memori.
Untuk anak-anak autis, kemampuan untuk mempertahankan ingatan non-sosial diprediksi oleh koneksi dalam jaringan yang berpusat di hippocampus yakni struktur kecil jauh di dalam otak yang diketahui mengatur ingatan.
Tetapi memori wajah pada anak-anak autis diprediksi oleh serangkaian koneksi terpisah yang berpusat pada korteks cingulate posterior yakni wilayah utama jaringan mode default otak, yang berperan dalam kognisi sosial dan membedakan diri dari orang lain.
"Temuan ini menunjukkan bahwa tantangan memori umum dan wajah memiliki dua sumber mendasar di otak yang berkontribusi pada profil yang lebih luas dari gangguan memori pada autisme," papar Menon.
Menurutnya, terapi autisme baru harus memperhitungkan luasnya kesulitan ingatan yang ditemukan penelitian, serta bagaimana tantangan ini memengaruhi keterampilan sosial.
"Ini penting untuk berfungsi di dunia nyata dan untuk lingkungan akademik," tutur Menon.
(faz/nwy)