Sebuah studi belum lama ini menemukan kaitan antara sifat mudah marah dan kecenderungan mempercayai teori konspirasi. Sejumlah kepribadian seperti narsistik misalnya, memang terbukti membuat seseorang lebih mudah percaya teori konspirasi.
"Meski teori konspirasi sudah ada sejak lama, tetapi tidak banyak yang diketahui bagaimana kaitannya dengan emosi spesifik tertentu seperti marah, takut, dan sedih," kata salah satu penulis studi, Kinga Szymaniak dari University of New South Wales kepada PsyPost, dikutip dari IFL Science.
Pada penelitian ini, Szymaniak dan rekan fokus pada koneksi antara rasa marah dan kepercayaan pada teori konspirasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka tampaknya muncul sebagai respons atas faktor-faktor yang serupa dan penelitian sebelumnya telah menunjukkan kaitan potensial antara keduanya," kata dia.
Penelitian ini mencakup empat tahapan riset. Tim mempelajari asosiasi antara sifat pemarah dan kepercayaan terhadap teori konspirasi umum serta teori konspirasi seputar pandemi COVID-19.
Penelitian yang pertama melibatkan 363 responden, dengan 298 di antaranya adalah perempuan yang berdomisili di Polandia. Tujuannya riset pertama adalah menghasilkan informasi awal tentang kaitan antara sifat pemarah dan keyakinan atas teori konspirasi COVID-19.
Studi tersebut dilakukan secara online menggunakan kuesioner berbasis self-report yang berisikan tujuh poin pertanyaan untuk mengindikasikan sifat pemarah.
Hasilnya, studi pertama menunjukkan bahwa karakteristik pemarah berkorelasi secara positif dengan kepercayaan atas teori konspirasi COVID-19.
Namun, untuk menyeimbangkan gender dalam responden, maka pada studi kedua Szymaniak dan timnya melibatkan 422 partisipan. Kuesionernya juga berisi lebih banyak pertanyaan, yaitu 13 butir.
Hasil riset kedua pun masih sama dengan studi pertama, yakni sifat pemarah berkorelasi positif dengan kepercayaan kepada teori konspirasi. Sementara, pada studi ketiga diperluas dengan cara turut mempertimbangkan teori konspirasi umum lainnya.
Teori konspirasi umum itu mengacu pada gagasan non spesifik tentang aktivitas konspirasi yang tidak berkaitan dengan konteks sejarah tertentu. Riset ketiga pun memiliki hasil yang sama dengan dua studi sebelumnya.
"Kesimpulan utama yang dapat diambil dari riset kami adalah bahwa orang yang lebih mudah marah, juga lebih cenderung percaya pada teori konspirasi, apa pun isinya," ujarnya.
"Namun, perlu ditegaskan bahwa faktor individual dan situasional yang kemungkinan mempengaruhi kaitan ini. Lantas apa faktor-faktornya?" lanjutnya.
Pada riset keempat dan terakhir, tim melihat apakah nuansa amarah akan mengubah respons seseorang terhadap teori konspirasi, terutama bagi mereka yang memiliki sifat pemarah tingkat tinggi.
Mereka menilai 141 peserta dengan menyusun sebuah konspirasi baru untuk menghindari pengaruh keyakinan yang dipegang sebelumnya. Konspirasi yang mereka ciptakan adalah adanya ruang bawah tanah militer rahasia di bawah Bandara Berlin.
Peserta juga diminta untuk melengkapi kuesioner kepribadian sebelum dibagi secara acak ke salah satu dari dua kelompok, untuk menulis tentang pengalaman otobiografi yang bernuansa marah atau yang netral. Mereka kemudian dihadapkan dengan konspirasi Bandara Berlin tersebut dan diminta untuk menilai sejauh mana mereka mempercayainya.
Szymaniak dan tim menemukan, dalam situasi penuh amarah, mereka yang pemarah lebih percaya pada teori konspirasi daripada mereka yang netral. Menurutnya, ada hal unik dalam amarah yang membuatnya sebagai prediktor teori konspirasi.
(nah/nwk)