Viral Anak Main Roleplay di Medsos, Psikolog Unair Ungkap Bahayanya

Nikita Rosa - detikEdu
Senin, 03 Jul 2023 09:30 WIB
Viral Anak Kecanduan Gadget Karena Main Roleplay. (Foto: Tangkapan layar viral/TikTok)
Jakarta -

Baru-baru ini sempat viral mengenai anak yang dimarahi ayahnya lantaran asyik memainkan gim role-playing.

Role-playing merupakan permainan di mana seseorang memainkan peran karakter atau kepribadian orang lain di media sosial. Kejadian tersebut turut membuat heboh warganet.

Menanggapi hal tersebut, Psikolog Fakultas Psikologi (Fpsi) Universitas Airlangga (Unair) Dr Dewi Retno Suminar MSi mengatakan bahwa role-playing sangat tidak dianjurkan bagi anak-anak. Sebab dalam permainan ini, anak secara bebas memainkan peran sebagai publik figur dan sosok lain.

"Karena itu, peran orang tua di sini menjadi penting dalam mengawasi dan mengontrol aktivitas online anak-anak mereka," ucap Dewi dalam situs Unair dikutip Minggu (2/7/2023).

Bahaya Bermain Roleplay

Dewi menjelaskan bahwa dalam psikologi perkembangan, terdapat fase anak bermain dengan imajinasinya. Saat bermain roleplay, tahap tumbuh kembang anak akan terpengaruh.

Dewi melanjutkan, imajinasi anak dalam memainkan peran tokoh lain merupakan hal yang biasa. Misalnya memainkan peran sebagai seorang dokter, polisi, pilot, guru, hingga astronot.

Akan tetapi, lain halnya dengan roleplay yang digandrungi anak-anak. Lantaran, mereka memainkan gim tersebut di media sosial.

Selain itu, anak-anak biasanya akan memainkan peran seorang tokoh idola, sehingga dikhawatirkan hal ini akan membawa dampak negatif berupa fantasi dan imajinasi berlebih pada anak.

"Bahayanya saat bermain roleplay ini mereka memainkan peran diri sebagai "idola" yang juga berinteraksi dengan orang lain secara luas melalui platform digital," ungkap Dewi.

Berpotensi Menimbulkan Adiksi

Lebih lanjut, Dewi mengingatkan bahwa terdapat dampak berbahaya ketika anak bermain roleplay di media sosial. Salah satu dampak serius ialah munculnya adiksi gadget pada anak.

"Dampak yang mungkin adalah adanya perasaan cemas apabila anak tidak memegang gawai dan menimbulkan ketergantungan," tutur Dewi.

Selain itu, anak juga akan berpotensi kehilangan jati diri aslinya. Sebab selama ini, imajinasi dan pikirannya berfokus pada idola yang sedang ia mainkan dalam role-playing. Hal tersebut akan menyebabkan perubahan pemikiran anak, di mana anak akan berpikir dewasa sebelum waktunya.

"Tanda adiksi muncul ketika anak tidak bisa menahan untuk tidak melakukannya. Ini yang sebenarnya harus menjadi perhatian. Karena jika hal tersebut di luar kontrol orang tua,"paparnya.

Butuh Pengawasan Orang Tua

Demi mengimbau orang tua untuk melakukan pengawasan pada anak. Baik di dunia nyata maupun dunia digital.

Nah digital parenting menjadi cara yang direkomendasikan Dewi untuk mengawasi anak. Dewi mengajak orang tua untuk memahami digital parenting sebagai alat bantu untuk membatasi dan memanfaatkan digital untuk mengawasi anak.

Orang tua harus bisa mengambil peran kontrol pada konten digital yang dikonsumsi anak. Dewi menyarankan agar orang tua untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan online anak-anak mereka.

"Orang tua di era sekarang harus tahu bagaimana untuk membalasnya, bukan hanya langsung merebut gadget. Perlu pendekatan dan mengobrol lebih dalam dengan anak terkait hal yang dilakukan anak," pungkas Dewi.



Simak Video "Video: Cara Wamendikdasmen Fajar Riza Batasi Anaknya Main Gadget"

(nir/nah)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork