Mengutip situs Imperial College London, sebuah studi baru mengungkap burung-burung tropis yang lebih rentan terhadap fragmentasi hutan.
Studi ini turut menyarankan pertimbangan akan pengaruh iklim terhadap kemampuan hewan untuk berpindah pada lahan yang terfragmentasi dalam menetapkan kebijakan konservasi.
Fragmentasi hutan sendiri terjadi saat terdapat proses penebangan dan ekspansi pertanian yang menyebabkan hutan di seluruh dunia terpecah menjadi beberapa bagian.
Hal itu menyebabkan habitat di dalamnya perlu beradaptasi untuk dapat bertahan hidup.
Baca juga: 8 Manfaat Hutan Hujan Tropis |
Tidak Semua Bisa Bertahan Hidup
Sayangnya, tidak semua habitat dapat bertahan hidup di tengah hutan yang telah terfragmentasi.
Kemampuan hewan bertahan hidup bergantung pada makanan yang tersedia, lingkungan sekitar, dan kemudahan akses bagi para hewan untuk melewati celah antara habitat alami yang tersedia.
Studi sebelumnya telah mengungkapkan bahwa perbedaan kemampuan burung untuk bertahan di tengah fragmentasi hutan bervariasi dan dipengaruhi oleh garis lintang.
Burung yang hidup pada daerah dengan garis lintang tinggi atau dataran tinggi dinilai lebih mampu bertahan menghadapi fragmentasi hutan.
Teori utama yang digunakan untuk menjelaskan hal tersebut adalah karena hutan di dataran tinggi telah melalui filter kepunahan.
Artinya, bentang alam di dataran tinggi telah terdegradasi lebih lama, misalnya oleh periode glasiasi. Oleh sebab itu, burung yang kurang tangguh telah punah.
Sayap Burung Memegang Peranan Penting
Studi terbaru yang ditulis oleh Tom Weeks dari Department of Life Sciences (Silwood Park) di Imperial College London, mengungkapkan kemampuan burung untuk bertahan hidup dari fragmentasi habitat dipengaruhi oleh sayapnya yang dirancang untuk melintasi celah antar fragmen.
"Studi kami menegaskan bahwa fragmentasi hutan akan memiliki efek yang lebih parah pada spesies tropis, dan menunjukkan bahwa pola ini mencerminkan perbedaan yang melekat di antara spesies dalam kemampuan mereka untuk bertahan," ungkap Tom Weeks.
"Salah satu implikasi utama bagi pengelolaan hutan yang terfragmentasi adalah bahwa 'koridor' atau 'batu loncatan' hutan antara kawasan utuh yang lebih luas diperlukan untuk meningkatkan konektivitas dan memungkinkan spesies bertahan hidup di bentang alam ini, terutama di daerah tropis," tambahnya.
Penelitian ini dilakukan menggunakan gabungan data antara data survei lapangan dengan proksi kemampuan terbang yang disebut sebagai hand-wing index (HWI). HWI akan mencerminkan pemanjangan sayap.
Diketahui, burung dengan sayap yang lebih panjang memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik untuk melakukan terbang yang berkelanjutan.
Hal tersebut memberikan perkiraan apakah burung dapat atau akan melakukan perjalanan di antara hutan-hutan yang terfragmentasi.
Sensitivitas Burung Dipengaruhi oleh Kemampuan Penyebarannya
Pada penelitian sebelumnya, diungkapkan gradien dalam kemampuan penyebaran terdapat dari daerah dengan garis lintang rendah hingga daerah dengan garis lintang tinggi.
Para peneliti menemukan kemampuan penyebaran dapat diprediksi oleh sejauh mana burung tersebar pada iklim musiman yang berbeda-beda.
Garis lintang rendah cenderung memiliki iklim yang stabil sehingga burung pada daerah ini telah beradaptasi dengan gaya hidup untuk tinggal di satu tempat. Selain itu, mereka juga kerap mempertahankan wilayahnya sepanjang tahun tanpa perlu bermigrasi.
Sementara itu, burung yang tinggal pada garis lintang yang lebih tinggi harus memiliki kemampuan untuk menyebar dan bermigrasi untuk mengikuti variasi kondisi lingkungan dan sumber daya musiman.
Penelitian terbaru dilakukan untuk memperluas temuan sebelumnya dengan menentukan efek gradien terhadap respons fragmentasi hutan untuk 1.034 spesies burung yang tersebar di seluruh dunia.
Para peneliti kemudian menemukan bahwa sensitivitas yang dimiliki oleh burung dipengaruhi dengan kuat oleh kemampuan penyebaran dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti garis lintang, massa tubuh, dan gangguan sejarah.
Salah satu alasan di balik tren ini adalah terdapat banyak spesies burung yang teradaptasi untuk hutan-hutan tropis.
Malaysian rail-babbler, salah satu spesies yang hidup di hutan tropis diketahui memiliki sayap yang relatif pendek dan bulat.
Hal itu menyebabkan ia memiliki kemampuan terbatas untuk melewati celah antar fragmen hutan untuk mengakses sumber daya penting seperti makanan atau pasangan sehingga mereka kerap menghilang dari hutan-hutan kecil.
"Hasil kami menyoroti bagaimana bentuk sayap burung memberikan metrik sederhana untuk mengidentifikasi komunitas dan spesies yang paling sensitif terhadap fragmentasi, yang dapat berguna dalam memantau dampak pengelolaan penggunaan lahan, mengidentifikasi spesies yang rentan, dan merancang jaringan area perlindungan," jelas Dr. Joseph Tobias, dari Departemen Ilmu Hayati (Silwood Park) di Imperial College London.
(faz/faz)