Siapa tidak mengetahui Candi Borobudur? Candi Borobudur merupakan salah satu bangunan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia. Tapi tahukah kamu, ada satu sosok perempuan di balik berdirinya candi Budha tersebut.
Bilamana Candi Borobudur didirikan sebenarnya tidak ada keterangan yang pasti. Berdasarkan penelitian, bentuk huruf Jawa Kuno yang dipakai menulis inskripsi pendek-pendek di atas panil relief berasal dari abad ke-9
Hal ini bersesuaian dengan perkiraan epigraf asal Belanda, JG de Casparis yang juga berpendapat soal tokoh di balik pembangunan Candi Borobudur adalah seorang raja dinasti Syailendra, yaitu Raja Samaratungga beserta puterinya bernama Pramodhawardhani
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Casparis mengeluarkan teori tersebut berdasarkan Prasasti Kayumwungan/Karangtengah dan Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan.
Prasasti Kayumwungan adalah sebuah prasasti pada lima buah penggalan batu yang ditemukan di Dusun Karangtengah, Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah sehingga lebih dikenal deng/an prasasti Karangtengah.
Dikutip dari laman Kemdikbud, prasasti ini ditulis dengan aksara Jawa Kuno dan menggunakan dua bahasa. Baris 1-24 berbahasa Sanskerta, baris selanjutnya ditulis Jawa kuno. Masing-masing bahasa menunjuk angka tahun 746 Saka atau 824 Masehi.
Isi tulisan pada bagian berbahasa Sanskerta adalah tentang seorang raja bernama Samaratungga. Anaknya bernama Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya serta bangunan Wenuwana (Venuvana_sansekerta, yang berarti hutan bambu).
Bangunan suci ini untuk menempatkan abu jenazah leluhur "Raja Mega" yang merupakan sebutan untuk Dewa Indra. Mungkin yang dimaksud adalah Raja Indra atau Dharanindra dari keluarga Syailendra.
Adapun bagian Jawa Kuno menyebutkan pada 10 Kresnapaksa Bulan Jyestha Tahun 746 Saka (824 M), Rakai Patapan pu Palar meresmikan tanah sawah di Kayumwungan menjadi Tanah Sima atau tanah perdikan (daerah bebas pajak).
Lengkapnya seperti ini: "Raja Samaratungga mempunyai seorang putri bernama Pramodawardhani. Putri Pramodawardhani membangun Jinalaya yang sangat indah. Pada tahun Saka 746 atau tahun Masehi 824, area yang dimuliakan ditempatkan dalam candi yang telah dibangun. Arca itu bersinar seperti bulan yang, karena ketakutan kepada Rahu, jatuh kembali ke bumi. Kemudian dinaikkan di atas kaki candi, yang telah dibangun sangat indah oleh orang-orang tua dengan bantuan orang-orang muda. Mudah-mudahan, beliau, berkat pembangunan candi Jina itu, dapat mencapai sepuluh tingkat ke-Budha-an. Saya berharap agar saya pun, jika sampai giliran saya, dapat mencapai tingkat yang sangat sulit dicapai itu-tingkat yang tertinggi, yang ... Selama gunung Meru masih jadi tempat kediaman para dewa, dan selama matahari di angkasa masih bersinar demi kehidupan ribuan manusia, mudah-mudahan selama itu pula umur bangunan ini penuh dengan keutamaan Budha."
Casparis mengaitkan bangunan yang disebut Jinalaya pada Candi Borobudur. Sementara bangunan Wenuwana ini dengan Candi Mendut, sedangkan arkeolog Soekmono mengaitkannya dengan Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama.
Sementara dari keterangan Prasasti Tri Tepusan bertahun 842 M menyebut nama Sri Kahulunan sebagai tokoh yang menganugerahkan tanahnya di desa Tri Tepusan untuk pemeliharaan tempat suci bernama Kamulan I Bhumisambhara, tempat asal muasal Bhumisambhara.
Dikutip dari buku "Sriwijaya" karya Slamet Muljana, kamulan pokok katanya ialah mula, artinya: akar atau asal, permulaan. Bubuhannya ka- dan -an. Jadi, kata kamulan artinya: permulaan.
Pada bangunan suci yang disebut kamulan, tersembunyi pengertian kenenek-moyangan. Artinya bahwa bangunan yang bersangkutan digunakan sebagai tempat persembahan kepada nenek-moyang.
Adapun bhumi di sini berarti tingkat atau taraf untuk mencapai ke-Budha-an. Dalam agama Budha, tingkat itu ada sepuluh. Tingkat kesepuluh adalah tingkat yang sempurna.
Sementara kata sambhara berarti: timbunan. Demikianlah bhumisambhara berarti: timbunan tingkat. Bangunan yang didirikan di tanah perdikan Sri Kahulunan yang disebut Kamulan Bhumisambhara harus terdiri dari 10 tingkat.
Casparis menafsirkan gelar Sri Kahulunan adalah permaisuri sri maharaja Rakai Pikatan yang adalah Pramodhawardhani. Ia juga merupakan putri Rakai Garung yang juga dikenal sebagai Raja Samaratugga dari Dinasti Syailendra.
Karena Pramodawardhani adalah seorang putri pemeluk agama Budha dari wangsa Syailendra, maka boleh dipastikan bahwa Kamulan Bhumisambhara adalah tempat pemujaan nenek moyang dinasti Syailendra.
Slamet Muljana sendiri dalam bukunya berpendapat, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira dan kakak Balaputra. Dengan demikian Samaratungga mempunyai hak mewaris takhta kerajaan.
Samaratungga tidak mempunyai putra laki-laki. Ia hanya mempunyai seorang putri, yakni Pramodawardani. Sepeninggal Samaratungga terjadi perselisihan antara Balaputra dan Pramodawardhani.
Setelah itu pada tahun 833 M, Pramodhawardhani pun memenangkan perebutan kekuasaan. Balaputra sendiri pindah ke Sumatera dan kawin dengan putri kerajaan Sriwijaya.
Rakai Pikatan yang memegang kekuasaan sebagai raja dikenal juga dengan nama Jatiningrat. Dalam Prasasti Jatiningrat disebut Rakai Pikatan memeluk agama Siwa atau Hindu berbeda dengan permaisurinya yang beragama Budha.
(pal/pal)