Hari kelahiran RA Kartini diperingati setiap tahunnya sejak 1964 lalu. Pahlawan nasional yang lahir pada 1879 lalu itu adalah pelopor pendidikan perempuan di Indonesia.
Usaha Kartini terekam melalui surat-suratnya yang kemudikan diabadikan dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
Berdasarkan Kartini: Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin Teladan oleh Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, ada tiga hal pokok yang membentuk pandangan hidup Kartini, yaitu situasi di Tanah Air sebelum dan selama penjajahan Belanda, feodalisme yang masih begitu kuat dan menghambat masuknya berbagai ide baru dari Barat, serta lingkungan dan asal usul keluarga Condronegoro.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendirian Sekolah Kartini
Kartini wafat dalam usia muda pada 1904. Namun ide untuk mendirikan sekolah bagi perempuan tak ikut terkubur bersama jasadnya.
Sahabatnya di Belanda, Abendanon dan istrinya Rosa Manuela menerbitkan surat-surat Kartini dalam bentuk buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (Dari Gelap Terbitlah Terang) pada April 1911.
Buku tersebut laku keras di Belanda dan menginspirasi orang-orang Belanda yang berhaluan politik etis salah satunya Conrad Theodore van Deventer. Ratu Belanda akhirnya menunjuk Abendanon untuk mengurusi masalah pendidikan perempuan pribumi di Hindia Belanda.
Conrad Theodore van Deventer adalah seorang tokoh politik etis yang terkesan dengan berbagai tulisan Kartini yang selaras dengan cita-citanya sendiri, yakni mengangkat derajat bangsa pribumi secara rohani dan ekonomis serta memperjuangkan emansipasi mereka.
Maka dibentuklah komite pada 1912 yang bertanggung jawab dalam merumuskan pendidikan perempuan Jawa. Komite tersebut dijalankan dengan orang yang dekat dan menyukai visi Kartini. Di antara orang-orang tersebut ada Abendanon dan Deventer.
Pada tahun itu pulalah diresmikan Yayasan Kartini yang diketuai pertama kali oleh Conrad Theodore van Deventer. Keuangan untuk Yayasan Kartini didapat dari penjualan buku kumpulan surat Kartini.
Yayasan Kartini kemudian mendirikan sekolah wanita bernama Sekolah Kartini di Semarang, tahun 1912. Pada tahun pertama, sekolah ini menampung kurang lebih 112 siswa dengan lama pendidikan selama dua tahun.
Sekolah Kartini pun kian meningkat. Mulanya sekolah ini diperuntukkan bagi para anak bangsawan dengan pengurus dan pelajar para perempuan Belanda.
Kebijakan tersebut pun perlahan berubah saat Sekolah Kartini mengembangkan jaringannya ke berbagai daerah. Maka dari itu pada akhirnya Sekolah Kartini tak lagi didominasi anak-anak perempuan bangsawan.
Sekolah Kartini di Jakarta didirikan di bawah Vereeniging Bataviasche Kartinischool (Perhimpunan Sekolah Kartini Batavia). Sekolah ini pun menjadi jaringan sekolah pertama yang bersedia menampung anak tidak mampu.
Perhimpunna itu pun memasukkan anak perempuan kalangan menengah ke sekolah Kemadjoean Istri School yang tergolong sebagai sekolah pribumi kelas dua.
Pada 1928 dengan semangat kebangkitan nasional, para guru pribumi pun bisa masuk sebagai pengurus dan pengajar di Sekolah Kartini.
(nah/pal)