Akhir-akhir ini kita sering mendengar kata healing, yang secara umum dimaknai dengan melakukan kegiatan keluar (atau melepaskan diri) dari segala rutinitas keseharian, dalam rangka memulihkan atau menyembuhkan kembali kondisi psikologi, pikiran dan kebugaran fisik seseorang.
Kegiatan healing yang mudah ditemui adalah berinteraksi (kembali) dengan alam atau lingkungan alami. Karena panca indera dan tubuh yang berinteraksi dengan alam dapat menstimulasi
pengalaman yang memberikan efek nyaman, ketenangan, gembira, dan perasaan bahagia. Yang selanjutnya dapat meringankan bahkan menghilangkan stres atau depresi.
Miyazaki, seorang peneliti dari Jepang, mengkaji mandi hutan atau forest bathing yang dalam istilah Jepang dikenal dengan shinrin-yoku. Mandi hutan merupakan aktivitas fisik berintensitas rendah yang dilakukan di dalam hutan, seperti berjalan santai, pernafasan yoga, meditasi, dan aktivitas rekreasi lainnya, untuk mencapai relaksasi tubuh. Dia menduga bahwa aerosol dari hutan yang terhirup saat berjalan-jalan, dapat memengaruhi peningkatan sel-sel pembunuh alami atau natural killer (NK) yang dapat melawan tumor dan infeksi (Miyazaki, 2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekosistem hutan yang didominasi pepohonan, dapat membawa efek positif terhadap kesehatan, baik fisik maupun psikis. Dengan berada di hutan diharapkan dapat mengurangi gejala suatu penyakit. Selain itu, menghirup udara bersih di hutan juga bermanfaat untuk pernafasan, sekaligus menghirup aroma terapi alami pohon berupa fitonsida (phytoncides) yang berdampak terhadap kekebalan tubuh (Li dkk 2006, Li 2010).
Menurun atau hilangnya stres dapat memicu peningkatan imunitas diri yang pada akhirnya dapat meringankan atau bahkan memulihkan gangguan kesehatan fisik yang sedang diderita oleh seseorang. Menurut kesaksian penderita virus COVID-19 yang direkam dalam Rohid (2022), setelah dia melakukan healing pada lingkungan hutan di daerah Kuningan, Jawa Barat, selama tiga hari berturut-turut akhirnya kesehatannya pulih kembali dan dinyatakan negatif. Padahal dia tidak mengonsumsi obat-obatan Covid-19 selama terapi healing tersebut.
Maka, artikel ini selanjutnya akan membahas lebih jauh apa dan bagaimana healing forest itu. Dan seperti apa potensi Kebun Raya Cibodas dapat mengembangkan konsep tersebut pada areanya?
Apa Itu Healing Forest?
Konsep healing forest (disingkat HF) merupakan serangkaian program dan aktivitas (yang berintensitas rendah hingga sedang) di dalam hutan, yang bertujuan terutama untuk meningkatkan kondisi kesehatan fisik dan psikis pesertanya. HF sebagai salah satu alternatif berwisata alam yang tidak hanya sekadar beraktivitas wisata pada umumnya, tetapi dipadukan dengan dan serangkaian aktivitas di dalam lingkungan hutan, yang bertujuan menstimulasi pemulihan kesehatan psikis dan fisik pesertanya.
Program aktivitasnya terdiri atas terapi tumbuhan, terapi air, terapi latihan, psikoterapi, terapi makanan, dan terapi klimatik, (Park dkk., 2021). Biasanya terapi tumbuhan berupa aktivitas jalan santai dan melihat-lihat tumbuhan di sepanjang jalur hutan, menghirup dalam-dalam aroma hutan, dan beberapa juga mengembangkan kegiatan meraba dan memeluk pohon sebagai sarana transfer energi positif. Terapi air biasanya berupa kegiatan mencelupkan kaki dan tangan ke dalam air atau sumber-sumber air lainnya di dalam hutan.
Selanjutnya terapi latihan, biasanya pada lokasi-lokasi tertentu peserta diminta melepas alas kaki agar merasakan tekstur permukaan hutan yang dilaluinya. Sekaligus untuk melatih pernapasan peserta, biasanya dipilih lereng yang sedikit menanjak atau menurun. Psikoterapi berupa aktivitas meditasi, berdiam diri mendengarkan desir angin, ayunan dedaunan dan suara fauna hutan.
Biasanya diakhiri dengan aktivitas melepaskan emosi atau stres berupa berteriak. Terapi makanan dilakukan dengan menikmati makanan dan minuman kesehatan yang mengandung khasiat herbal dan diolah tanpa menambahkan zat tambahan kimia buatan. Sedangkan terapi klimatik biasanya merujuk pada waktu, misalnya pagi, sore atau bahkan malam hari.
Setiap terapi di atas dilakukan untuk merangsang seluruh pancaindra, organ gerak, organ dalam bahkan psikis para pesertanya. Menurut Park dkk. (2021) dari 75 program HF yang diamatinya, efek peningkatan kesehatan yang paling banyak dicapai oleh pesertanya adalah perbaikan tekanan darah dan penurunan depresi psikologis.
Di Jepang dan Korea telah lama mengembangkan program HF dalam program perbaikan atau pemulihan kesehatan medis pasien-pasiennya (Kim dkk 2010, Miyazaki 2018, Park 2021).
Baca juga: DAS Bribin, Oasis Masa Depan Gunungkidul |
Baca juga: Tangkur Gunung, Afrodisiak dari Halimun |
Syarat Healing Forest
Program HF dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip ilmu kesehatan, pendampingan oleh tenaga profesional, kehati-hatian dalam melaksanakan program, dan terhubung dengan alam (Rohid, 2022). Selain itu, faktor kunci lainnya adalah pemilihan tapak/ lokasi HF. Berdasarkan draf Standar Nasional Indonesia (SNI) 9006:2021, tentang Wisata Hutan untuk Terapi Kesehatan (Healing Forest)
(Ramdan, 2021), lokasi semestinya memiliki kerapatan vegetasi yang sedang hingga rapat.
Kemudian, suhu berkisar antara 20-26 o C dan kelembaban relatif berkisar antara 40%-80%. Lokasi memiliki kemiringan lereng yang datar hingga landai (0%-15%), tingkat kebisingan kurang dari 15 dB, tiupan angin kurang dari 1 m/detik, dan memiliki kandungan ion negatif udara lebih dari 1.000 ion/cm 3 . Kandungan ion negatif biasanya dapat dipenuhi apabila tapak memiliki badan air, seperti sungai kecil, kolam, air mancur atau air terjun.
Tapak harus bebas dari bahaya longsor, banjir, kebakaran dan bencana alam lainnya. Luasannya harus memadai untuk beraktivitas antara 30-60 menit, dan terpisah dari aktivitas umum lainnya. Tapak juga harus mudah diakses, dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan calon peserta dan untuk kepentingan evakuasi serta mudah mencapai berbagai fasilitas gawat darurat.
Kebun Raya Cibodas Sebagai Healing Forest
Berdasarkan syarat tersebut, maka kebun raya memiliki beberapa keunggulan mengembangkan program HF dibandingkan lokasi wisata berbasis alam lainnya. Kebun raya, termasuk Kebun Raya Cibodas (disingkat KRC), memiliki berbagai konfigurasi pepohonan dan tanaman aromatik, yang patut diduga memiliki kandungan fitonsida untuk mendukung program HF. Pinus-pinusan, Kayu Manis, Cemara-cemaraan, Sipres (Cupressus spp.), Eukaliptus (Eucalyptus spp.) dan pohon Ek/Oak adalah beberapa jenis pohon bersifat aromatik. Sedangkan beberapa semak dan herba aromatik seperti Kapas-kapasan, Senggani-sengganian, Jahe-jahean, Bayam-bayaman, dan Ginseng-ginsengan juga banyak dikoleksi di KRC.
Selanjutnya, KRC memiliki iklim mikro yang sejuk, ditunjang badan-badan air (seperti selokan-selokan, kolam, sungai, curug) yang tidak pernah mengering sepanjang tahun yang bersumber dari Gunung Gede-Pangrango. Kondisi ini sangat mendukung kualitas kandungan ion negatif dalam udara yang semakin tinggi.
Kebisingan dan kontak dengan pengunjung wisata umum lainnya juga dapat dikelola, semisalnya menyelenggarakan program HF pada pagi hari antara pukul 06.00-08.00 WIB, sebelum loket karcis dibuka. Keunggulan lainnya, banyak lokasi di dalam KRC mudah diakses dan masih memungkinkan dilakukan pengembangan dan desain ruang bagi program HF, dengan tetap memegang prinsip-prinsip konservasi.
Salah satu lokasi di Kebun Raya Cibodas yang potensial dikembangkan HF. Maka, alangkah baiknya potensi pengembangan HF yang dimiliki KRC tersebut dapat diwujudkan suatu hari kelak. Karena akan semakin menambah (lagi) nilai KRC dalam peningkatan jasa-jasa lingkungan, terutama pemulihan kesehatan bagi manusia, selain pastinya potensi ekonomi.
*Imawan Wahyu Hidayat adalah Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
(nwy/nwy)