Senyawa Antituberkulosis dalam Tumbuhan di Sekitar Kita

ADVERTISEMENT

Belajar dari Pakar

Senyawa Antituberkulosis dalam Tumbuhan di Sekitar Kita

*Risha Amilia Pratiwi - detikEdu
Jumat, 24 Mar 2023 12:30 WIB
Sick obese boy is coughing and throat infection on bed, health care concept
Foto: Getty Images/iStockphoto/kwanchaichaiudom
Jakarta -

Tema Hari Tuberkulosis Sedunia tahun ini yang diperingati setiap 24 Maret yakni 'Yes! We can end TB!. Besar harapan, dengan kesadaran global dan upaya sungguh-sungguh untuk memerangi musuh bernama bakteri Mycobacterium tuberculosis, kita akan mengakhiri epidemi ini bersama-sama.

World Health Organization (WHO) pada 2020 melansir data, tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menempati urutan kedelapan sebagai penyebab kematian di negara-negara low-income dan urutan ketujuh di negara-negara low-midde-income. Pada 2021, 10,6 juta penduduk dunia menderita TB. Sejumlah 1,6 juta orang di antaranya meninggal dunia. Kabar baiknya, pengobatan TB yang telah dilakukan secara massif sejak tahun 2000 berhasil menyelamatkan sekitar 74 juta penderita TB.

Berbagai penanganan TB telah dikembangkan, meliputi pencegahan, deteksi dini, diagnosis, maupun pengobatan. Sejumlah obat antituberkulosis telah diteliti. Beberapa antibiotik lini pertama di antaranya isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol yang digunakan dalam Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) atau pengawasan langsung pengobatan jangka pendek selama 6-9 bulan. Sayangnya, obat-obatan ini menimbulkan efek samping bagi pasien.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Isu resistansi bakteri juga mencuat seiring gencarnya penggunaan obat-obatan ini dalam terapi TB. Lama masa terapi menyebabkan banyak pasien gagal menjalani pengobatan sampai tuntas. Kearifan lokal menjadi dasar dalam pengembangan obat modern. Nenek moyang kita sejak dahulu telah memanfaatkan material yang Tuhan sediakan di alam untuk menangani masalah kesehatan.

Tumbuhan merupakan entitas yang patut dipertimbangkan sebagai bahan obat. Mekanisme pertahanan tumbuhan melibatkan sintesis metabolit sekunder dalam menghadapi patogen maupun predator. Senyawa-senyawa tersebut kemudian dimanfaatkan manusia sebagai bahan terapeutik.

ADVERTISEMENT

Penelitian obat dari tumbuhan tidak pernah mudah. Perlu pengujian teliti, waktu lama, dan dana riset besar. Tahap pertama penelitian obat dari tumbuhan adalah mengekstraksi senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan tersebut. Kedua, analisis jenis dan karakter senyawa aktif. Ketiga, pengujian keampuhan senyawa secara in vitro alias dalam tabung reaksi atau cawan petri di laboratorium, maupun uji in vivo pada hewan.

Peneliti juga perlu memproduksi senyawa sintesisnya. Ketersediaan senyawa alami terbatas karena pertumbuhan yang lambat, tergantung musim, butuh lahan luas, dan kandungannya yang sedikit, sedangkan industri obat membutuhkan suplai bahan yang banyak dan stabil. Senyawa sintesis dapat dimodifikasi untuk meningkatkan performa, dengan harga lebih murah dan produksi yang lebih mudah.

Mekanisme seluler aksi senyawa juga perlu dipahami karena obat ini akan dianggap bahan asing dalam sel manusia. Tahapan yang sangat krusial adalah uji klinis pada manusia. Jika lulus, senyawa tersebut dapat disetujui oleh lembaga berwenang untuk digunakan.

Samreen Fatima dari International Centre for Genetic Engineering and Biotechnology, India, beserta tim, merangkum senyawa dari tumbuhan yang berperan dalam pengobatan TB. Senyawa-senyawa tersebut adalah allicin, bergenin, curcumin, epigallocatechin-3-gallate, piperine, tetrandrine, ursolic acid dan oleanolic acid, andrographolide, resveratrol, thymoquinone, reserpine, pasakbumin A, gingerol, silymarin, dan glycyrrhizin.

Penelitian terhadap senyawa yang diekstrak dari tumbuhan ini dapat menjadi cikal bakal pengembangan obat TB baru. Allicin, bergenin, curcumin, dan resveratrol telah diuji in vitro maupun in vivo pada mencit. Bahkan piperin, gingerol, silymarin, dan glycyrrhizin telah diuji secara klinis sebagai kandidat obat TB.

Pada umumnya, penamaan senyawa fitokimia mengikuti nama tanaman sebagai sumber pertama kali senyawa tersebut diisolasi. Seperti allicin yang diisolasi dari Allium sativum (bawang putih), curcumin dari Curcuma longa (kunyit), piperin dari Piper nigrum (lada hitam), pasakbumin A dari pasak bumi (Eurycoma longifolia), gingerol dari Zingiber officinale (jahe), silymarin dari Silybum marianum, tetrandrin dari Stephania tetrandra, dan andrographolide dari Andrographis paniculata. Bawang putih, kunyit, lada hitam, jahe, dan jintan hitam merupakan bumbu yang mudah kita temukan.

Allicin telah diuji in vitro menghambat Mycobacterium tuberculosis, bahkan pada bakteri yang telah resisten. Curcumin efektif mengeliminasi bakteri TB, bahkan telah diformulasikan menjadi nanopartikel untuk meningkatkan efikasinya. Piperin meningkatkan keberhasilan rifampisin dalam menghambat bakteri TB. Gingerol selain efektif menghambat bakteri resisten dan dorman, juga meningkatkan keberhasilan terapi DOTS. Nigella sativa atau jintan hitam mengandung thymoquinone yang berpotensi sebagai anti TB.

Pasakbumin A yang diekstrak dari pasak bumi, bersinergi dengan rifampisin dalam melawan bakteri TB. Glycyrrhizin dari Glycyrrhiza glabra (akar manis atau licorice), selain digadang-gadang sebagai anti TB, juga antiperadangan dan penguat kekebalan tubuh.

Andrographis paniculata atau sambiloto juga memiliki potensi sebagai anti TB. Sayangnya, penelitian tersebut masih sebatas studi in silico (prediksi dengan software komputer). Camellia sinensis dan Stephania tetrandra tidak hanya memiliki nama yang cantik. Epigallocatechin-3-gallate yang diekstraksi dari daun teh hijau (Camellia sinensis) dapat mengurangi efek negatif akibat terapi obat. Stephania tetrandra banyak digunakan dalam pengobatan tradisional Cina.

Tidak seperti teh hijau yang bebas dikonsumsi masyarakat, akar Stephania tetrandra merupakan bahan yang dilarang ditambahkan dalam produk pangan olahan (PERKA BPOM Nomor 7 Tahun 2018). Pada dosis tertentu, bahan aktif tetrandrin menjadi pisau bermata dua. Alih-alih menyembuhkan, malah membahayakan. Resveratrol banyak terkandung dalam kulit anggur, kacang tanah, cokelat, dan beri-berian. Bahkan untuk pengobatan TB kulit, tim peneliti dari Brazil dan USA mengembangkan isoniazid-resveratrol cocrystals (INH-RES), yaitu modifikasi zat aktif untuk menyesuaikan sifat fisiknya tanpa mengubah efek farmakologinya. Pada metode ini, resveratrol dikombinasikan dengan obat TB lini pertama, isoniazid.

Tumbuhan Rauwolfia serpentine (pulai pandak) mulai langka karena akarnya banyak diburu oleh masyarakat sebagai antihipertensi. Reserpine dari ekstrak tumbuhan ini berpotensi sebagai obat TB yang tidak menyebabkan efek samping negatif. Silybum marianum disebut milk thistle karena memiliki urat putih pada bunganya yang ungu. Tumbuhan dari Eropa ini menjaga fungsi hati pada pasien akibat terapi obat TB. Ursolic acid (UA) bersinergi dengan oleanolic acid (OA) dalam pengobatan TB. UA dan OA banyak terkandung dalam Lantana camara (tembelekan). Tim Farmasi UGM menyatakan ekstrak akarnya menghambat pertumbuhan bakteri serta menjadi stimulator imun untuk kekebalan tubuh pasien TB.

Kebun Raya merupakan lembaga yang tidak hanya bertanggungjawab dalam konservasi ex situ, tetapi memiliki peran untuk meneliti potensi tumbuhan koleksinya. Tidak menutup kemungkinan, kebun raya mengoleksi tumbuhan berpotensi obat TB yang belum pernah tereksplorasi sebelumnya. Badan Riset dan Inovasi Nasional sebagai payung dari Kebun Raya Indonesia saat ini membuka peluang kolaborasi seluas-luasnya untuk percepatan riset dan inovasi.

Kita optimistis, dengan kerja keras nan cerdas bersama-sama antara lembaga penelitian milik pemerintah maupun swasta, universitas, pemerintah dan kementerian selaku pemangku kebijakan, tenaga medis, maupun industri, gelombang TB yang bercokol, khususnya di Indonesia, akan segera berakhir.

*Risha Amilia Pratiwi adalah Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan BRIN




(nwy/nwy)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads