Trauma adalah sebuah kondisi yang dapat dialami oleh siapa saja dan disebabkan oleh apa saja. Tentunya trauma dapat memberikan dampak yang begitu besar bagi kehidupan kita.
Seseorang yang memiliki trauma tentu akan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki trauma. Namun, mengapa trauma memiliki pengaruh sebesar itu?
Yuk, simak penjelasan terkait trauma dan hubungannya dengan kehidupan kita yang disampaikan oleh para psikolog mengutip dari Science News.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trauma dapat Menghancurkan 'Garis Waktu'
Pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki tentunya terus berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Namun, seseorang yang memiliki trauma cenderung akan menganggap dirinya di masa lalu dan masa depan adalah sama.
Seseorang yang memiliki trauma, didorong untuk menuju ke arah yang spesifik, orang tersebut cenderung akan memiliki garis waktu yang hancur.
Dalam hal ini, para peneliti terus melakukan studi terkait bagaimana seseorang mengembangkan identitas naratif dan mempertahankan identitas tersebut dari waktu ke waktu.
Baca juga: Kenapa Orang Mudah Percaya Mitos? |
Karena, akibat dari hancurnya garis waktu, usaha seseorang untuk mempertahankan jati dirinya dalam menghadapi trauma menjadi sangat penting.
Tekanan trauma yang diberikan pada seseorang dapat membuat dirinya serasa berhenti pada waktu tersebut dan mengabaikan masa lalu dan masa depannya. Sehingga perlahan secara tidak langsung bisa mengubah diri kita.
Trauma Menyebabkan Kita Kehilangan Kisah Hidup
Trauma tentunya dapat memberikan dampak secara langsung pada kehidupan kita. Menurut Elisa Ciaramelli yang merupakan ahli saraf kognitif Universitas Bologna, Italia mengungkapkan bahwa orang yang memiliki trauma memiliki ingatan yang berlebih terkait trauma tetapi ingatannya akan berkurang terkait hal yang tidak menyebabkan trauma.
Seseorang yang memiliki trauma cenderung akan mengingat ingatan yang penuh dengan tekanan secara mendetail.
Saat pikiran terpaku pada ingatan yang traumatis akan membuat ingatan yang tidak terkait dengan trauma memudar dan ingatan baru gagal masuk dalam memori.
Berdasarkan sebuah penelitian terhadap pengidap PTSD (post-traumatic stress disorder) dan kepada yang bukan pengidap PTSD ditemukan bahwa peserta dengan PTSD memiliki lebih banyak memori tentang trauma dibandingkan peserta tanpa PTSD.
Peserta tanpa PTSD juga diketahui dapat mencatat memori rata-rata sebanyak 21,4 memori sepanjang minggu.
Peserta dengan PTSD mencatat rata-rata hanya 11 memori sepanjang minggu. Hal ini membuktikan bahwa trauma memang dapat mempengaruhi cara kerja memori seseorang.
Kurangnya ingatan orang yang trauma terdapat dalam dua bentuk yaitu kejelasan dan kuantitas. Namun, kurangnya ingatan dalam kedua bentuk tersebut menandakan mereka sedang membangun narasi yang kohesif tentang masa lalu dan berusaha untuk bergerak maju.
Terapi untuk Menyembuhkan Trauma
Beberapa jenis terapi sudah pernah diterapkan kepada orang yang mengalami trauma. Namun, terapi-terapi tersebut tidak semuanya dapat bekerja dengan efektif karena terapi tersebut tidak secara langsung menangani masa depan.
Kemudian, Sokol, psikolog di Universitas Touro mengembangkan terapi yang menggabungkan unsur-unsur perawatan yang berorientasi pada masa lalu dan masa sekarang tetapi tetap memprioritaskan masa depan. Terapi ini dikenal sebagai terapi kognitif identitas berkelanjutan.
Tujuan dari terapi ini adalah untuk membantu para pemilik trauma untuk menciptakan kembali plot dalam garis waktu mental kehidupan mereka.
Sokol menguji versi awal terapi dalam studi percontohan selama empat minggu dengan 17 veteran. Program ini berisi banyak solusi bagi peserta yang berjuang untuk mengakses atau memahami ingatan mereka.
Pada minggu pertama, peserta diminta untuk mendefinisikan nilai-nilai inti mereka. Harapannya adalah bahwa nilai-nilai itu, bukan peristiwa masa lalu yang spesifik, akan menjadi inti dari kisah hidup seseorang.
Fokus minggu kedua bergeser ke masa depan. Peserta mengumpulkan kemungkinan masa depan dengan merenungkan bagaimana kehidupan dapat terjadi jika mereka bekerja dengan, atau melawan, nilai-nilai yang mereka nyatakan.
Di minggu ketiga, peserta belajar membedakan antara kisah hidup eksternal, rangkaian peristiwa di luar kendali mereka, dan kisah hidup internal yang dibuat dari pilihan sesuai dengan nilai-nilai yang mereka nyatakan.
Pada minggu keempat, peserta harus dapat memvisualisasikan diri masa depan mereka mengatasi masalah yang dihadapi diri mereka saat ini.
Partisipan juga aktif membangun kesinambungan diri. Misalnya, mereka menulis surat untuk diri mereka sendiri di berbagai titik waktu, seperti dari diri mereka saat ini ke diri mereka di masa depan atau sebaliknya.
Hasilnya, partisipan menemukan penelitian Sokol telah memulai perjalanannya sendiri menuju penyembuhan trauma.
Namun, terapi jenis ini masih sangat terbatas dalam lab milik Sokol. Kendati demikian terapi ini sangat menjanjikan untuk membantu menyembuhkan trauma seseorang.
(faz/faz)