Ada sekitar 150 jasad pendaki di lereng Gunung Everest yang tidak dibawa turun. Jumlah ini mencapai sekitar setengah dari total kematian yang tercatat di sana, yakni 310 jasad.
Kenapa jasad pendaki di Gunung Everest tidak dibawa turun, ya?
Salah satu jasad yang tidak diturunkan dari Gunung Everest adalah pendaki "Green Boots". Julukan ini diberikan padanya karena mengenakan sepatu trekking warna hijau dan identitas pastinya tidak diketahui.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Green Boots, yang diyakini sebagai pendaki asal India Tsewang Paljor maupun Lance Naik Dorje Morup, melakukan pendakian pada 1996.
Seiring waktu, jasad Green Boots menjadi titik penanda (landmark) di pendakian Gunung Everest jalur utara. Pada 2014, jasadnya dipindahkan ke tempat yang tidak terlalu mencolok oleh tim ekspedisi asal China, tetapi masih di atas gunung, seperti dikutip dari BBC Future.
Lhakpa Sherpa, pemegang rekor perempuan pemuncak Everest terbanyak, menuturkan bahwa dirinya melihat tujuh jasad dalam perjalanan ke puncak Gunung Everest pada 2018.
"Satu yang di dekat puncak seolah tampak hidup karena angin meniup rambutnya," tuturnya, dikutip dari Business Insider.
Kenapa Ada Ratusan Jasad di Atas Gunung Everest?
Biaya Mahal
Repatriasi atau pemulangan jenazah di Gunung Everest membutuhkan biaya mahal. Dalam sejumlah kasus, biaya repatriasi mencapai USD 70.000 atau sekitar Rp 1,097 miliar.
Pada dasarnya, rata-rata biaya mendaki Gunung Everest sendiri tidak murah, yakni sekitar USD 45.000 atau sekitar Rp 705 juta. Dalam beberapa paket pendakian, biayanya sama dengan perkiraan biaya repatriasi, bahkan lebih.
Saat pendaftaran, calon pendaki Gunung Everest juga disediakan form kematian yang menyepakati apakah ia hendak direpatriasi bila meninggal di atas gunung atau kesepakatan lainnya.
Proses Penurunan Sulit & Bahaya
Pendaki Everest Alan Arnette menuturkan, proses penurunan jasad pendaki di gunung tertinggi di dunia tersebut rumit, tergantung di mana lokasi meninggalnya.
Ia menjelaskan, jika pendaki meninggal di basecamp atau di es, maka ia harus diturunkan ke area yang bisa dijangkau helikopter pendakian Fishtail Air, dikutip dari laman CBC News.
Proses penurunan menurut Arnette makin sulit jika jasad pendaki berada di atas South Col, di ketinggian di atas 8.000 meter.
Makin tinggi pendaki dari dasar gunung, khususnya di Death Zone (di atas 8.000 meter), makin sulit repatriasi dilakukan. Sebab, kondisi cuaca ekstrem di bawah 0 derajat Celcius dan oksigen kurang untuk regu penyelamat.
Di samping itu, jasad yang berada di ketinggian tersebut umumnya tersangkut ke gunung karena membeku, seperti dikutip dari All That's Interesting.
"Mahal dan berisiko, dan sangat berbahaya bagi Sherpa (etnis Nepal yang kerap jadi pemandu dan penyelamat). Mereka harus menjangkau tubuh jenazah, mengikatnya ke beberapa jenis tali, kereta luncur, atau bahkan ke sepotong kain saja, lalu membantunya meluncur dengan terkendali," kata Arnette.
Butuh 6-10 Sherpa untuk membantu meluncurkan jasad pendaki dengan terkendali karena melewati turunan, naikan, cerukan, dan retakan lebar di sepanjang es.
Nah, barulah di Pos 2, di dasar area Lohtse Face, helikopter akan mendarat dan mengambil jenazah untuk diterbangkan ke tempat Kathmandu atau perkampungan di dekatnya untuk dikremasi.
Di beberapa kondisi, helikopter bisa mendarat di puncak Everest juga, tetapi hanya beberapa saat.
Penyelamat Ikut Tewas
Salah satu penyelamat yang meninggal dalam upaya menurunkan jasad pendaki yaitu Inspektur Polisi di Nepal, Yogendra Bahadur Thapa dan pemandunya Ang Dorjee, seperti dikutip dari arsip NY Times.
Pada 29 Oktober 1984, Thapa dan Dorjee yang merupakan pendaki berpengalaman tersebut ditemukan meninggal dalam kondisi masih terikat tali pendakian saat mencari jenazah Hannelore Schmatz.
Schmatz sendiri seorang pendaki perempuan asal Jerman yang tewas saat turun gunung 5 tahun sebelumnya, tepatnya pada 1979.
Kematian Thapa dan Dorjee dalam mencari jenazah Schmatz pada 1984 tersebut menambah jumlah pendaki meninggal di atas Gunung Everest menjadi 68 kasus.
(twu/twu)