Beberapa waktu belakangan, publik diramaikan dengan kasus KDRT antara pasangan selebriti. Tak dipungkiri, banyak yang mengira sang korban diduga menderita Stockholm syndrome.
Dugaan tersebut disebabkan karena korban mencabut laporan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sudah diajukan. Lantas, apa sebenarnya Stockholm syndrome?
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Tri Kurniati Ambarini MPsi Psikolog menjelaskan seputar Stockholm syndrome. Begini penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengertian Stockholm Syndrome
Dosen Fakultas Psikologi Unair yang akrab dipanggil Rini itu menyebut bahwa Stockholm syndrome adalah respons psikologis yang terkait dengan situasi penahanan atau pelecehan. Respons itu merupakan bagian dari mekanisme koping ketika orang mengalami trauma seperti ancaman terhadap kesejahteraan fisik atau psikologis agar tetap bisa bertahan dalam situasi tersebut.
"Orang dengan Stockholm syndrome ini mengembangkan hubungan positif dengan pelaku," terang Rini, dikutip dari laman Unair, Rabu (2/11/2022).
Hubungan positif inilah yang membuat korban merasa beruntung ketika pelaku tidak melakukan kekerasan padanya dan tidak menyakiti dirinya secara fisik. Situasi ini memunculkan Stockholm syndrome, yaitu upaya untuk keluar dari situasi berbahaya dengan cara melakukan kerja sama dengan pelaku.
Gejala Stockholm Syndrome
Gejala utama dari stockholm syndrome antara lain:
- Korban merasakan kasih sayang dari pelaku
- Korban mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku
- Korban setuju dengan cara pandang dan ideologi yang dimiliki pelaku
- Korban merasa kasihan terhadap pelaku sehingga menolak untuk meninggalkan pelaku, bahkan ketika diberi kesempatan untuk melarikan diri
- Korban cenderung memiliki persepsi negatif terhadap aparat penegak hukum, keluarga, teman, dan siapa pun yang memungkinkan untuk membantu mereka melarikan diri
- Korban cenderung menolak menuntut pelaku dan setelah dibebaskan, mereka akan terus memiliki perasaan positif terhadap pelaku
- Korban dimungkinkan juga mengalami flashback, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD).
Diagnosis Stockholm Syndrome
Stockholm syndrome tidak bisa didiagnosis secara asal. Rini memaparkan bahwa kepentingan diagnosis Stockholm syndrome diutamakan jika ada potensi berbahaya bagi orang yang diduga mengalaminya.
Sebab, adanya sindrom ini pada seseorang berisiko terkait dengan gangguan lain yang lebih parah. Karena itu, penting untuk dilakukan diagnosis khusus oleh ahli, baik psikolog maupun psikiater.
Apakah Stockholm Syndrome Termasuk Gangguan Mental?
Rini mengakui, Stockholm syndrome sendiri belum diakui sebagai gangguan mental. Sebab, sindrom ini belum tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (SDM-5).
"Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Karan dan Hansel pada 2018 menyatakan bahwa sindrom ini juga dapat dialami oleh orang-orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ataupun korban perdagangan manusia," jelasnya.
Pencegahan Stockholm Syndrome
Menurut Rini, Stockholm syndrome dapat dicegah dengan sesi konseling bersama psikolog ataupun psikiater. Selain itu, dukungan dari lingkungan sekitar maupun dukungan dari lembaga sosial dan pemerintah juga dibutuhkan.
"Korban kekerasan lebih sering tidak mampu keluar sendiri dari situasi tersebut jika tidak ada bantuan dari orang lain," tutupnya.
Pro-Kontra Korban KDRT Mencabut Laporannya
Usai pencabutan laporan KDRT oleh korban, publik memperdebatkan pro-kontra dari keputusan tersebut. Namun, menurut Dosen Fakultas Psikologi Unair Dr. Ike Herdiana M.Psi., Psikolog, tindakan korban adalah memaafkan pelaku KDRT dan merupakan hal yang baik.
Akan tetapi, sambungnya, memaafkan bukan berarti membenarkan tindakan KDRT yang telah terjadi. Sebab, kekerasan tetap salah dari sudut pandang manapun.
Menurut Ike, tindakan memaafkan pelaku bukan bentuk pembenaran, melainkan tindakan tepat korban serta pengorbanan demi anak.
"Memaafkan adalah hal baik karena orang yang mengembangkan sikap memaafkan sebenarnya fokus pada kesehatan mentalnya sendiri. Tidak menyimpan dendam yang justru akan membuat kondisi psikologisnya semakin tidak nyaman," terang Ike.
Selain itu, anak juga berhak hidup dalam lingkungan keluarga yang hangat, harmonis, dan penuh kasih sayang. Anak akan mengalami masalah psikologis jika berada dalam keluarga yang toxic dan saling menyakiti.
"Supaya tidak mengulanginya (tindakan KDRT), pelaku KDRT harus mencari tahu latar belakang kenapa pelaku melakukan KDRT. Apakah faktor internal atau eksternal?" jelas Ike.
Baik faktor pengaruh internal maupun eksternal, sambungnya, pelaku harus berusaha mencari pertolongan lingkungan sekitar dan profesional untuk mengontrol tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan. Lalu untuk faktor pengaruh eksternal, pelaku KDRT harus berusaha memutus hubungan dengan pengaruh eksternal tersebut.
Jadi meskipun korban diduga memiliki Stockholm syndrome atau memutuskan untuk memaafkan pelaku, bukan berarti KDRT adalah tindakan yang dibenarkan.
(nir/twu)