Ada suatu kisah dari seorang laki-laki dengan kondisi buta dan buntung kedua tangan dan kakinya. Istimewanya, ia senantiasa sabar dan ridha serta tidak ada rasa penyesalan dan kesedihan meratapi dunia dalam hatinya.
Kisah ini diceritakan oleh Al-Auza'i yang ditulis oleh Imam Ibnul Jauzi dalam dalam 'Uyun Al-Hikayat Min Qashash As-Shalihin wa Nawadir Az-Zahidin dan diterjemahkan oleh Abdul Hayyi Al-Kattani.
Al-Auza'i menceritakan bahwa ada orang bijak pernah bercerita tentang kisah yang ia alami saat ia pergi ke Ar-Ribath (tempat berkumpulnya orang-orang sufi yang biasanya terletak di wilayah perbatasan).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu sampai di Arisy Mesir atau daerah di dekatnya, orang tersebut melihat sebuah kemah yang dihuni oleh seorang laki-laki buta dan buntung kedua tangan dan kakinya. Waktu itu ia sempat mendengar laki-laki itu berucap, "Ya Allah, saya memuji-Mu dengan pujian sepenuh pujian makhluk-Mu atas nikmat yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan karena Engkau telah melebihkan saya atas kebanyakan dari makhluk yang Engkau ciptakan."
Orang bijak itu kemudian berkata dalam hati, "Sungguh, saya akan bertanya kepadanya tentang sesuatu yang telah Allah ajarkan atau ilhamkan kepadanya." Ia pun beranjak mendekatinya, menyapanya dengan salam dan dia pun menjawabnya.
"Saya ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu yang engkau berkenan untuk memberitahukannya kepadaku," kata orang bijak itu kepada orang lelaki buta tersebut.
"Jika memang saya memiliki pengetahuan tentang apa yang akan engkau tanyakan, maka saya akan menjawabnya," jawab orang buta itu.
"Atas nikmat atau keutamaan apa engkau memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, sementara lengkap sudah musibah dan penderitaan yang engkau alami itu," tanya orang bijak itu kepadanya.
"Bukankah engkau melihat apa yang telah Allah SWT perbuat terhadapku?" kata orang itu.
"Ya, tentu saja," jawab orang bijak.
"Demi Allah, sungguh seandainya Allah SWT menumpahkan api dari langit pada diriku, hingga diri ini terbakar, memerintahkan gunung-gunung untuk runtuh menimpaku, hingga diri ini remuk, memerintahkan lautan untuk meneggelamkanku dan memerintahkan bumi untuk menelanku, niscaya yang terjadi adalah saya akan tetap cinta dan semakin memanjatkan puji syukur kepada-Nya. Saya ingin minta tolong kepadamu. Saya punya seorang anak laki-laki belia yang selama ini selalu membantuku setiap saya mau salat dan berbuka puasa. Sejak kemarin, saya tidak melihatnya. Maukah engkau membantuku untuk mencarikan di mana dia?" kata orang itu.
Orang bijak kemudian berkata dalam hati, "Membantu seorang hamba seperti dia tentu merupakan sebuah amal baik yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT."
"Tentu saja," jawabnya.
Kemudian, orang bijak tersebut mencari keberadaan anak si buta yang saleh itu. Ketika sampai di antara bukit-bukit pasir, ia dikagetkan dengan sebuah pemandangan yang memilukan. Seekor binatang buas sedang memangsa anak orang tersebut.
Ia pun langsung membaca kalimat istirja' dan bergumam dalam hati, "Bagaimana saya akan menyampaikan kejadian ini kepada orang tersebut dengan cara yang tidak sampai membuatnya mati karena kaget dan merasa terpukul."
Setelah itu, ia pun bergegas ke tenda orang buta tadi dan mengucapkan salam. Orang itu pun membalas salamnya.
"Wahai tuan, saya ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu. Apakah engkau bersedia menjawabnya?" kata orang bijak itu padanya.
"Jika saya memiliki pengetahuan tentang apa yang engkau tanyakan tersebut, maka saya akan menjawabnya," jawab orang itu.
"Apakah engkau lebih mulia kedudukannya di sisi Allah SWT ataukah Nabi Ayub AS?" tanya orang bijak itu kepadanya.
"Tentu saja Nabi Ayub AS lebih mulia dan lebih agung kedudukannya di sisi Allah SWT daripada diriku," jawab si buta itu.
"Bukankah Allah SWT menguji Nabi Ayub dan dia sabar, hingga orang-orang yang semula dekat dengannya mulai menjauhinya," tanya orang bijak itu lagi.
"Ya, benar," jawab si buta.
"Begini, putramu yang engkau ceritakan kepadaku itu, tadi pada saat saya mencarinya, saya tiba di perbukitan pasir dan melihat putramu itu sedang dimangsa binatang buas," kata orang bijak itu menjelaskan kondisi putra dari orang buta itu.
"Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang tidak menjadikan dalam hati ini rasa penyesalan dan kesedihan meratapi dunia," kata orang buta tersebut. Lalu dia pun menarik napas dengan merintih dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Melihat hal itu, orang bijak tadi lantas membaca kalimat istirja' dan berkata berkata dalam hati, kira-kira siapa yang akan membantunya memandikan, mengafani, dan memakamkan jenazah laki-laki buta itu.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba kafilah yang hendak menuju ke Ribath melintas di tempat itu. Ia pun memanggil mereka. Dan menceritakan tentang orang buta tersebut dan apa yang terjadi padanya.
Lalu, kafilah tersebut turun dari unta mereka dan menderumkannya. Setelah itu, mereka memandikan jenazah orang tersebut menggunakan air laut, mengafaninya dengan pakaian yang mereka bawa, menyalati dan memakamkannya di dalam kemahnya.
Setelah semuanya selesai, kafilah itu melanjutkan perjalanannya, sementara orang bijak itu masih tetap di sana.
Di tengah malam ia bermimpi melihat orang buta tadi berada di sebuah taman hijau dengan mengenakan pakaian sutra hijau sedang membaca Al-Qur'an.
"Bukankah engkau adalah kawanku itu?" tanya orang bijak itu kepadanya.
"Ya benar," jawabnya.
"Apa yang telah membuatmu mendapatkan apa yang saya lihat ini?" tanya orang bijak itu lagi.
"Saya datang dari kelompok orang-orang sabar pada suatu derajat yang tidak mereka raih kecuali dengan kesabaran di saat mendapatkan ujian dan bersyukur di saat sejahtera," jawabnya.
Al-Auza'i mengatakan, sejak mendengar cerita dari orang bijak tersebut tentang kisah laki-laki buta dan buntung kedua tangan kakinya, namun sabar dan ridha terhadap takdirnya, ia (Al-Auza'i) selalu merasa senang kepada orang-orang yang mendapat ujian hidup.
(kri/erd)