Puasa Ayyamul Bidh Juli 2022 bertepatan dengan pertengahan bulan Zulhijah yakni 13, 14, dan 15 Zulhijah. Namun, tanggal 13 Zulhijah sendiri diketahui sebagai hari tasyrik atau waktu yang terlarang untuk berpuasa.
Puasa Ayyamul Bidh pada pertengahan bulan tersebut diterangkan Rasulullah SAW dalam haditsnya. Ia menganjurkan pelaksanaan puasa sunnah 3 hari di tiap tengah bulannya,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya: "Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriah)." (HR Tirmidzi).
Ditambah lagi, Rasulullah SAW dalam sabdanya pernah menyebut, berpuasa Ayyamul Bidh akan mendatangkan pahala seperti puasa setahun. Mungkin bagi sebagian muslim tidak mau melewatkan puasa sunnah tersebut.
Namun sayangnya, pelaksanaan hari pertama Ayyamul Bidh bulan Juli 2022 bertepatan dengan hari tasyrik Zulhijah. Hari tasyrik sendiri jatuh setiap tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah atau tiga hari setelah Idul Adha.
Pada waktu tersebut, Rasulullah melarang untuk berpuasa sebagaimana dikisahkan Abu Hurairah RA dalam suatu hadits. Diceritakan, saat itu Rasulullah SAW mengutus Abdullah bin Hudzafah untuk berkeliling Mina dan menyeru,
لَا تَصُومُوا هَذِهِ الْأَيَّامَ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَذِكْرِ اللَّهِ، عز وجل
Artinya: "Janganlah kalian puasa pada hari-hari ini (hari tasyrik) karena hari-hai itu merupakan hari-hari untuk makan, minum, dan dzikir kepada Allah Azza wa Jalla." (HR. Ahmad)
Apa Hukum Puasa Ayyamul Bidh saat Hari Tasyrik?
Puasa Ayyamul Bidh termasuk puasa yang berhukum sunnah. Sementara menurut empat imam besar mahzab, puasa pada hari tasyrik disejajarkan dengan larangan seperti berpuasa pada Idul Fitri dan Idul Adha.
Dengan kata lain, puasa pada waktu tersebut dianggap makruh hingga tidak sah. Bahkan, puasanya dapat terhitung dengan maksiat jika sengaja berpuasa pada hari tasyrik.
"(Puasa pada hari tasyrik) hukumnya makruh menurut mahzab Hanafi dan Hambali, baik puasa tersebut wajib maupun sunnah," tulis Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu Jilid 2.
Makruh yang dimaksud dalam mazhab Hanafi adalah makruh tahriiman yang berarti puasanya tetap dianggap sah. Namun, buku tersebut menjelaskan, pelakunya tetap disebut berdosa.
"Sebab, larangan yang tertuju kepada suatu sifat yang laazim [melekat, tidak terpisahkan) dari suatu amal mengakibatkan kerusakan sifat itu saja, sedangkan amal itu sendiri tetap masyru' (dianjurkan untuk dikerjakan)." bunyi keterangan mazhab Hanafi yang diterjemahkan Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaili.
Sementara bagi mahzab Maliki, kemakruhan berpuasa di hari tasyrik hanya terbatas pada dua hari setelah Idul Adha. Berbeda dengan jumhur yang menyebut larangan berlaku selama tiga hari setelah Idul Adha.
Meski tidak ada larangan puasa pada hari tasyrik ketiga atau 13 Zulhijah pada mahzab Maliki ini, namun hukumnya tetap terhitung makruh. Hal ini dijelaskan dalam Fikih Ibadah yang disusun oleh Hasan Ayyub.
"Malik berpendapat, makruh berpuasa pada hari keempat (13 Zulhijah) bila puasanya sunnah (namun) puasanya tetap berlaku," tulis buku tersebut.
Di sisi lain, mahzab Syafi'i membolehkan pelaksanaan puasa pada hari tasyrik karena sebab tertentu meski selebihnya puasa apapun tetap dilarang. Sebab yang dimaksud dalam mahzab ini di antaranya yakni, puasa nazar, kafarat, atau qadha.
Secara umum, empat mahzab menyatakan puasa di hari tasyrik adalah makruh termasuk dalam pengamalan puasa Ayyamul Bidh. Meski demikian, ada pengecualian dalam larangan tersebut bagi pelaksana haji tamattu' yang tidak memiliki hewan sembelihan.
Keterangan ini didasarkan dari perkataan Ibnu Umar yang menyebut, "Puasa bagi yang berhaji tamattu' hingga hari Arafah, bila tidak memiliki hewan sembelihan dan tidak puasa, ia harus puasa pada hari-hari ketika berada di Mina." (HR Bukhari).
Wallahu'alam.
(rah/erd)