Mungkinkah Pemilu Ditunda dan Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?

ADVERTISEMENT

Mungkinkah Pemilu Ditunda dan Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?

Anatasia Anjani - detikEdu
Minggu, 27 Feb 2022 16:00 WIB
ilustrasi opini tentang pemilu
Ilustrasi Pemilu (Ilustrasi: Edi wahyono/detikcom)
Jakarta -

Ada sejumlah kalangan yang mengusulkan agar Pemilihan Umum 2024 ditunda dengan konsekuensi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden diperpanjang. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Pemilu seperti diatur dalam pasal 22E UUD 1945 dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. Di sini juga terkait dengan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

"Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali. Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya "ilegal" alias "tidak sah" atau "tidak legitimate"," kata Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Minggu 27 Februari 2022.

Yusril menyebut ada tiga alternatif bisa dilakukan jika memang Pemilu 2024 harus ditunda. Pertama amandemen UUD 1945, kedua presiden mengeluarkan Dekrit sebagai tindakan revolusioner, dan ketiga adalah membuat constitutional convention atau konvensi ketatanegaraan. Menurut dia dasar yang paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu dan sebagai konsekuensinya adalah perpanjangan sementara masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah dengan cara melakukan perubahan atau amandemen terhadap UUD 1945.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alternatif berikutnya adalah Presiden mengeluarkan Dekrit untuk penundaan Pemilu dan memperpanjang semua pejabat yang tercantum dalam UUD 1945 tetap harus diisi dengan Pemilu.

Memahami Dekrit Presiden

Dekrit menurut Yusril adalah sebuah revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum. Dekrit dapat berhasil apabila mendapatkan dukungan dari rakyat dan menciptakan hukum yang sah.

ADVERTISEMENT

Tetapi jika gagal akan menyebabkan tindakan revolusi hukum dan menyebabkan tindakan illegal dan melawan hukum. Akibatnya dapat diadili dengan dakwaan makara tau penghianatan terhadap bangsa dan negara. Bahkan hingga dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" kata Yusril dalam keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Minggu (27/2/2022).

Yusril mengungkapkan, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berhasil berkat dukungan partai politik utama yaitu PNI dan PKI serta dukungan militer.

"Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau negara dalam keadaan bahaya," tulis Yusril.

Halaman selanjutnya >>>>>>>>> Jokowi Enggan Memperpanjang Jabatan

Jokowi Enggan Memperpanjang Jabatan

"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu?" kata Yusril.

Yusril menduga Presiden Joko Widodo enggan melakukan hal tersebut karena risiko politiknya terlalu besar dan belum tentu mendapat dukungan yang solid dari TNI serta Polri. Apalagi selama ini Jokowi sudah menegaskan tak ingin menjadi Presiden 3 periode. Sehingga apabila mengeluarkan dekrit justru itu bisa menjadi bumerang bagi Jokowi.

"Jokowi bilang jika melakukan dekrit tidak memiliki landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita reformasi," ujar Yusril.

"Saya gak tahu itu ucapan basa-basi atau tulis dari hati nuraninya. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami," ujar Yusril.

Melakukan Constitutional Convention

Solusi selanjutnya yaitu menciptakan konvensi ketatanegaraan. Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.

Ia menyoroti pasal 22 E tentang penyelenggaraan Pemilu dan pasal 7 tentang masa jabatan Presiden dan wakilnya. Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik Pemilunya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali.

"Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," tulis Yusril.

Namun berdasarkan sejarah, hal itu dapat terjadi dengan adanya Maklumat. Namun Maklumat Nomor X tahun 1945 itu menyebabkan perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer.

"Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada penyelewengan terhadap UUD 45. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," jelas Yusril.

Alternatif Penundaan Pemilu

Salah satu alasan pengusul agar Pemilu 2024 ditunda adalah pandemi COVID-19, dan upaya pemulihan perekonomian akibat pandemi. Yusril pun memberikan alternatif terkait penyelenggaraan Pemilu di tengah Pandemi COVID-19. Pertama adalah menyederhanakan penyelenggaraan Pemilu.

"Biayanya harus diperkecil mengingat sedang sulitnya keuangan negara kita, demikian pula mekanisme atau prosedur pelaksanaannya yang juga harus disederhanakan. KPU sebenarnya dapat belajar dengan COMELEC (Commission on Elections of the Philippine)," papar Yusril,

COMELEC berhasil menyelenggarakan pemilu secara digital dengan biaya yang lebih murah. Jika tahun 2024 masih ada pandemic COVID-19 maka pemilu digital dapat dipertimbangkan.

Namun jika alasannya Pemilu harus ditunda karena pandemi dan ekonomi. Maka jalan yang paling mungkin yaitu amandemen terhadap Pasal 22E UUD 1945.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: RI Usul Investigasi Bersama dengan Brasil soal Kematian Juliana Marins"
[Gambas:Video 20detik]
(atj/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads