Sejarah Kelam Anti-Vaksin Pertama di Dunia, Dicemooh hingga Dianggap Propaganda

ADVERTISEMENT

Sejarah Kelam Anti-Vaksin Pertama di Dunia, Dicemooh hingga Dianggap Propaganda

Trisna Wulandari - detikEdu
Minggu, 02 Jan 2022 08:00 WIB
Edward Jenner
Foto: Ilustrator: Edi Wahyono/Ilustrasi Sejarah Anti-Vaksin
Jakarta -

Protes anti-vaksinasi berkembang pada akhir abad ke-18. Saat itu, ahli biologi Inggris Edward Jenner memperkenalkan inokulasi cacar untuk mengatasi wabah pada orang dewasa dan anak-anak. Alih-alih diterima, ia mendapat cemooh sebagai dukun yang mencoba menghasilkan uang dengan cepat.

Hari ini, vaksinasi dikenal sebagai upaya yang positif untuk mencegah infeksi, salah satunya pada pandemi COVID-19. Lantas, kenapa kaum anti-vaksin muncul pada abad ke-18?

Sejarah Anti-Vaksin Pertama:

Eksperimen Tidak Lazim

Profesor Emeritus dari Clare College, Universitas Cambridge Patricia Fara dalam History Today menuliskan, saingan Jenner di abad ke-18 mudah menunjukkan kurangnya profesionalitas ahli biologi tersebut saat memulai upaya vaksinasi cacar dengan eksperimen.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu, Jenner baru saja tahu bahwa seorang pemerah susu tampak kebal terhadap cacar setelah terkena cacar sapi. Ia lalu memulai eksperimen yang tidak lazim. Pertama, dia menyuntik anak tukang kebunnya dengan cairan bening yang diambil dari lepuh cacar sapi seorang wanita. Dua bulan kemudian, sang anak terkena cacar.

Karena sang anak tetap sehat, beberapa tentara wajib militer juga coba divaksinasi dengan cara tersebut. Kesuksesan eksperimen yang dianggap janggal oleh kaum anti-vaksin saat itu membuat tindakan Jenner tidak disukai.

ADVERTISEMENT

Karikatur Propaganda

Fara mengatakan, eksperimen Jenner juga sempat tidak berhasil. Pasien yang lantas sakit saat itu diduga karena lingkungan vaksinasi yang tidak higienis. Kasus ini direspons dengan propaganda anti-vaksinasi oleh berbagai pihak, termasuk ilmuwan.

Contoh, Dr. Rowley dari Oxford membuat karikatur anak laki-laki yang dibuat mirip sapi setelah divaksinasi. Sementara itu, seniman James Gillray membuat karikatur tentang Jenner yang divisualisasikan sebagai ahli kesehatan yang kejam dan memanfaatkan anak-anak dan perempuan untuk eksperimennya.

Argumen Anti-Vaksin

Protes anti-vaksin terhadap Jenner pelan-pelan berkurang. Tetapi, protes ini muncul lagi saat pemerintah Inggris mewajibkan vaksinasi bagi semua bayi yang baru lahir pada 1853. Kelompok anti-vaksin menggarisbawahi perbandingan risiko dan manfaat klinis vaksin serta bagaimana negara mendikte warga.

Berbagai orang dari kelompok anti-vaksin saat itu menyuarakan argumen yang cukup kuat pada masanya. Saat itu, vaksinasi butuh prosedur panjang, menyakitkan, dan terkadang mengancam jiwa.

Prosedur vaksinasi saat itu di antaranya tenaga medis harus membuat luka di lengan bayi, lalu mengoleskan nanah cacar sapi yang telah disiapkan. Delapan hari kemudian, nanah baru diambil dari luka si kecil, yang kemudian digunakan untuk vaksinasi pasien bayi berikutnya.

Fara mengatakan, orang tua saat itu mungkin akan lebih tenang untuk memberikan anaknya vaksinasi jika yakin vaksin bisa memberikan kekebalan. Namun, data vaksinasi abad tersebut tidak mendapati bukti yang tidak terbantahkan bahwa vaksinasi benar-benar dapat melindungi bayi.

Di samping itu, muncul argumen yang lebih lemah dan rasis, seperti keengganan mendapat nanah cacar sapi dari orang Irlandia atau orang Afrika. Argumen lainnya yaitu muncul keyakinan bahwa memasukkan zat hewani ke bayi menghilangkan kemurniannya yang diberikan Tuhan. Pertukaran cairan nanah juga diduga bisa menularkan infeksi, gangguan jiwa.

Tidak Tahu Penyebab Cacar

Fara menambahkan, demonstrasi anti-vaksin saat itu juga diperparah oleh ketidaktahuan warga dan ahli atas penyebab cacar. Saat itu, ilmuwan belum tahu apakah cacar disebabkan kuman, racun udara, atau lainnya.

Sementara itu, virus terlalu kecil untuk dideteksi mikroskop terbaik di abad ke-18. Tenaga kesehatan kenamaan seperti Florence Nightingale pun bersikeras bahwa kebersihan bisa menghentikan wabah.

Argumen-argumen tentang kebersihan pangkal kesembuhan dari wabah itu memicu kemarahan kaum miskin. Sebab, kondisi mereka yang hidup tidak berdaya, sulit menjaga kebersihan diri, dan sulit untuk makan bergizi terkesan dianggap menyebarkan penyakit.

Saat itu, muncul propaganda argumen yang mengadu tenaga medis dengan warga. Salah satunya yaitu mempertanyakan apakah orang Inggris harus tunduk pada keinginan tenaga medis. Vaksinasi juga mulai diduga sebagai taktik orang berada untuk menguasai orang-orang kaum pekerja. Warga juga mempertanyakan apa niat di balik membelanjakan uang publik bagi masyarakat miskin.

Kompromi Buruk

Aturan baru di Inggris pada 1898 menyatakan bahwa orang tua boleh menyatakan diri sebagai penentang vaksin dan menarik anaknya dari program vaksinasi nasional. Fara menjelaskan, warga kelas menengah takut atas dampak perubahan sikap pemerintah bagi kesehatannya.

Warga Inggris yang mendukung vaksin juga mempertanyakan sistem perizinan anti-vaksin tersebut. Sebab, agar memenuhi syarat menolak vaksin, orang tua harus meyakinkan hakim bahwa mereka 'secara sadar' percaya bahwa vaksinasi akan merusak kesehatan anak mereka.

Kelompok anti-vaksin yang sadar bahwa keyakinan tidak bisa diukur justru makin menolak vaksinasi. Sejak itu, vaksinasi mulai dianggap sebagai bentuk lain penindasan.

Pada tahun 1908, pemerintah Inggris menetapkan bahwa perempuan boleh membuat keputusan sendiri untuk menerima vaksin atau tidak. Meskipun menjadi kemajuan di bidang gender, aturan ini tidak positif bagi kesehatan karena banyak bayi jadi tidak divaksinasi dan rentan sakit.

Nah, itu dia sejarah anti-vaksin pertama dari wabah cacar di Inggris. Apakah detikers sudah divaksin?




(twu/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads