Kisah Anak Kecepetan SD, Apa yang Diperlukan Agar Siap Sekolah?

ADVERTISEMENT

Kisah Anak Kecepetan SD, Apa yang Diperlukan Agar Siap Sekolah?

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 18 Nov 2021 11:30 WIB
Little cute girl boring at home with her teddy bear
Ilustrasi foto kisah anak kecepetan masuk SD yang berdampak hingga dewasa. Foto: iStock
Jakarta -

Soal standar usia sekolah, pemerintah sebetulnya sudah mengaturnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1/2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK.

Kendati begitu, tak jarang ada perbedaan pendapat di kalangan orang tua mengenai usia mulai sekolah. Salah satu penyebab pro kontra adalah dampaknya pada anak.

Terkait pembahasan ini, beberapa waktu lalu sempat ramai di Twitter sebuah kisah mengenai masuk sekolah terlalu dini dan dampaknya ketika dewasa. Hal ini diceritakan berdasarkan pengalaman si pembuat utas sendiri, akun @alyacholid.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya bisa calistung usia 2,5 tahun. Dimasukin ke SD usia 5 tahun. Tulisan pertama saya dimuat di koran usia 10 tahun. Nulis novel usia 11 tahun. Novel saya diterbitkan usia 12 tahun. Gedenya? Gangguan kecemasan, depresi, dan gampang burnout," tulisnya.

Sosok bernama lengkap Alya Faradisa Cholid menyampaikan pada detikedu pada Rabu (17/11/2021), dirinya sudah mulai dimasukkan playgroup pada umur 18 bulan. Itu dilakukan untuk menemani sepupunya yang berusia 3 tahun. Dia mengatakan, bisa jadi hal itu membuatnya mampu baca, tulis, hitung (calistung) dengan lebih cepat.

ADVERTISEMENT

Saat menginjak umur 3 tahun, Alya pun masuk TK. Namun demikian, dirinya harus mengulang TK B karena masih terlalu dini untuk masuk SD.

Seperti disebutkan dalam unggahan Twitternya, Alya masuk bangku SD di usia 5 tahun. Dia menyebut, saat itu merengek minta masuk SD sehingga pada akhirnya mendaftar di salah satu SD di Jakarta Selatan.

Walau punya pencapaian akademik yang melampaui seusianya, Alya mengaku gangguan kecemasan sudah tampak sejak masih TK.

"Tetapi aku sulit dalam berteman. Aku pendiam, kaku, dan selalu jadi orang terakhir yang ngerti candaan, soalnya aku memaknai kata-kata orang secara harfiah," tambahnya.

Ketika SMP, Alya juga kesulitan untuk menerima kegagalan dan meletakkan harga diri pada produktivitas dan prestasi.

Dirinya berpendapat, banyak orang mengalami hal serupa dengannya. "Jadi aku liat di medsos tuh ada meme 'former gifted kid burnout', yaitu fenomena orang-orang yang pas kecil dianggap pintar di atas rata-rata (gifted) tapi pas gedenya tumbuh dengan kecemasan dan menaruh ekspektasi yang tinggi buat diri mereka," pungkasnya.

Khususnya berkaitan dengan persoalan usia, pakar memiliki pendapat mengenai kualitas yang dibutuhkan agar anak siap untuk sekolah. Salah satu pendapat tentang hal ini disampaikan oleh dosen Psikologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Afia Fitriana.

Aspek yang Dibutuhkan Agar Anak Siap Sekolah

1. Intelektual

Afia memaparkan, kualitas intelektual yang dimaksud adalah kesiapan anak dalam calistung. Namun artinya anak bukan harus sudah bisa, melainkan punya keterampilan untuk mulai belajar.

Misalnya untuk menulis, seorang anak sudah bisa membuat coretan terarah, membuat lingkaran, dan sebagainya.

"Kita juga dapat menstimulus sekaligus mengajar life skill. Pakai sepatu dari kaki kanan dulu sekaligus pengenalan persiapan untuk belajar membaca, membaca dimulai dari tulisan kiri. Lalu menghitung, mengenal banyak sedikit, lebih besar lebih sedikit," kata Afia.

2. Sosio-emosional

Aspek sosio-emosional adalah keterampilan sosial anak dengan orang lain, kesiapan emosinya, dan bagaimana kendali dirinya dalam menghadapi situasi. Salah satu contoh anak yang siap secara sosio-emosional adalah memiliki kemauan untuk bergabung dan bermain dengan sebayanya.

Afia mencontohkan, ketika anak merasa marah atau menangis dan reda ketika ditenangkan sebayanya, maka dia sudah bisa mengendalikan emosi.

Stimulasi sosio-emosional pada anak bisa dengan cara menjalin hubungan yang erat dan hangat antara orang tua dan anak. Setelah orang tua dan anak, kemudian bisa dilanjutkan antara anak dan guru.

3. Motivasional

Kualitas motivasional adalah semangat belajar mandiri dan keingintahuan pada segala sesuatu. Saat orang tua atau guru menstimulasi belajar hal baru, maka anak akan memiliki rasa ingin tahu.

Mengikuti pendidikan anak usia dini (PAUD) menurutnya dapat menjadi alternatif stimulus karena meningkatkan pengalaman belajar dengan teman sebaya. Jadi, hal ini bisa membangkitkan minat sekolah.

Minat juga bisa didorong dengan pengenalan sekolah secara fisik. Misalnya, anak diajak untuk melihat-lihat sekolah.

Sebagai catatan penting, Afia menegaskan yang paling menjadi tantangan adalah aspek motivasional dan sosio-emosional. Kesiapan intelektual menurutnya lebih mudah karena bisa dijalankan dengan latihan dan remedial.

Tetapi, ketika anak tidak termotivasi belajar dan sulit kerja sama dan suasana hatinya berubah-ubah, maka akan sulit dikembangkan secara kognitif.

Itulah sederet hal yang dibutuhkan untuk anak masuk sekolah. Bagaimana menurut detikers?




(nah/row)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads