Berdasarkan proyeksi hingga berabad mendatang dan skenario kenaikan suhu 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius, seperti ini peringkat 20 negara paling rentan tenggelam di dunia:
1. Bangladesh
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Vietnam
3. Mesir
4. Thailand
5. Malaysia
6. Filipina
7. Jepang
8. Myanmar
9. Indonesia
10. China
11. Irak
12. Korea Selatan
13. Arab Saudi
14. Inggris
15. Argentina
16. Amerika Serikat
17. Brasil
18. Spanyol
19. India
20. Italia
Penelitian ini turut mengukur risiko pada wilayah aglomerasi urban, yaitu daerah yang berdekatan dan lintas batas administratif. Selanjutnya dapat disingkat sebagai UA.
Dengan skenario pemanasan global 4 derajat celsius, ada lebih dari 90 persen kawasan tempat tinggal di hampir 300 UA, yang akan berada di bawah garis pasang dalam waktu berabad-abad.
Meski hanya sepertiganya yang berasal dari Asia, tetapi di dalamnya termasuk kota-kota besar dengan lebih dari 10 juta penduduk, misalnya Haora, Shanghai, Hanoi, dan Dhaka. Setengah dari wilayah aglomerasi dengan tingkat risiko lebih dari 90% melalui proyeksi pemanasan 4 derajat celsius, tetap akan terdampak meskipun skenarionya diturunkan menjadi 2 derajat celsius.
Para ilmuwan menyatakan bahwa sebetulnya sudah ada banyak kota yang berada di bawah garis pasang. Mereka pun mengidentifikasi ada 197 wilayah aglomerasi urban di dunia, yang di dalamnya terdapat lebih dari 10 ribu orang tinggal di bawah rerata garis pasang, dan sepertinya masih bertahan dengan adanya infrastruktur yang kini ada.
Jakarta tak luput dari jajaran paling terdampak hingga multiabad ke depan.
Seluruh wilayah aglomerasi paling terancam dengan proyeksi berabad-abad mendatang dan skenario pemanasan 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius adalah mereka di bawah ini:
1. Haora, India
2. Shanghai, China
3. Hanoi, Vietnam
4. Dhaka, Bangladesh
5. Calcutta, India
6. Shantou, China
7. Mumbai, India
8. Hong Kong, China
9. Osaka, Jepang
10. Tianjin, China
11. Tokyo, Jepang
12. Shenzen, China
13. Karachi, Pakistan
14. Jakarta, Indonesia
15. Surabaya, Indonesia
16. New York, Amerika Serikat
17. Quezon City, Filipina
18. Buenos Aires, Argentina
19. Seoul, Korea Selatan
20. Rajshahi, Bangladesh
21. Cairo, Mesir
Penelitian ini mengasumsikan, emisi global sebetulnya tidak menjadi negatif, namun pengurangan karbon secara masif bisa mengurangi dua hal. Yakni kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang dan asesmen-asesmen yang dipaparkan dalam penelitian ini.
Tapi perlu diketahui juga bahwa belum ada sistem yang diterapkan untuk menahan kolaps lapisan es.
Jika lapisan es di barat Antartika sudah mulai mencair, maka seluruh kenaikan permukaan laut multiabad ke depan bisa jadi lebih tinggi dari yang digambarkan dalam penelitian ini. Misalnya, secara global 1 meter lebih tinggi (21%) dengan skenario 2 derajat celsius atau 0.5 meter (6%) lebih tinggi dengan skenario 4 derajat celsius.
Banyak pulau-pulau kecil rentan masih bisa dilindungi terumbu karangnya dalam skala tertentu. Tetapi, pemanasan global, pengasaman laut, dan berbagai degradasi ekologis lainnya bisa mengancam harapan ini.
Mitigasi yang Memungkinkan
Sejauh yang para peneliti ini ketahui, hampir tidak ada studi yang telah mengeksplorasi adaptasi apa saja yang dapat dilakukan. Namun, studi dari The Atlantis sudah pernah mengelaborasi berbagai mitigasi yang mungkin dapat dijalankan pada tiga daerah terancam di Eropa dengan kenaikan permukaan laut setinggi 5-6 meter. Mereka melakukan wawancara pada puluhan ahli lokal.
Pada umumnya, partisipan berpendapat agar kawasan terdampak di delta Sungai Rhine ditinggalkan, lalu membangun akomodasi layaknya di Venesia, dan tempat-tempat di muara Sungai Thames ditinggalkan, termasuk London. Terlebih studi ini mengasumsikan kenaikan permukaan laut sebesar 5 meter akan segera terjadi pada 2130.
Namun, berbagai macam perlindungan akan memakan banyak biaya dan negara yang paling terdampak, tidak lebih kaya dari Belanda atau Inggris.
Dan tak seperti Belanda, kebanyakan area pesisir sedari awal tidak dibangun dengan struktur di bawah permukaan laut. Sehingga, banyak lanskap lingkungan yang sekarang eksis, bisa jadi tidak mudah untuk mengakomodasi tanggul maupun bentuk pertahanan lainnya.
Meski demikian, ada cara lain untuk memindai adaptasi yang memungkinkan, yaitu dengan mempelajari kota-kota yang sudah mengalami penurunan multimeter. Contoh paling dramatis adalah Tokyo dan Jakarta, yang telah turun nyaris 5 meter.
Sejumlah area di masing-masing kota ini sekarang sudah ada di bawah rata-rata permukaan laut.
Tokyo telah mengimplementasikan tanggul yang lebarnya 30 kali lebih dari tingginya. Sejauh ini, mitigasi tersebut dibangun terbatas karena faktor biaya pembongkaran struktur jalan, menaikkan tanggul, dan pembangunan kembali.
Para ilmuwan ini beropini, bahkan adaptasi paling monumental sekalipun tak dapat menghilangkan seluruh kekhawatiran. Sejumlah sungai perlu ditembok dari laut dan dipompa sepenuhnya ke dalamnya.
Konsekuensi atas hal ini berdampak terhadap ekologi, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Di samping itu, warga di baliknya akan hidup dengan risiko bencana dan banjir dadakan yang dapat disebabkan beragam faktor.
Tingkat pemanasan global yang lebih tinggi bisa menyebabkan manusia membutuhkan pertahanan atau migrasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, hal ini bisa ditekan dengan komitmen kuat atas Perjanjian Iklim Paris, utamanya membatasi kenaikan suhu hingga 1.5 derajat celsius.
Terlebih meski ancaman ini sifatnya global, konsentrasinya ada di Asia, di mana kota-kota besar dan empat dari lima besar negara yang membangun kapasitas batu bara paling baru, adalah sekaligus mereka yang paling terancam.
Pengurangan dramatis emisi karbon adalah urgensi semua negara pesisir. Bahkan jika hasilnya tercapai pun, upaya adaptasi yang besar di seluruh dunia tetap diperlukan. Ini untuk melindungi populasi yang tinggal di wilayah pesisir dari waktu ke waktu dan melestarikan area serta warisan budaya yang ada di dalamnya.
(erd/erd)