Studi Ungkap Negara Paling Terdampak Perubahan Iklim, Bagaimana Indonesia?

ADVERTISEMENT

Studi Ungkap Negara Paling Terdampak Perubahan Iklim, Bagaimana Indonesia?

Novia Aisyah - detikEdu
Senin, 18 Okt 2021 09:30 WIB
Muda mudi di berbagai belahan dunia melakukan aksi untuk mendesak tindakan darurat guna menghentikan bencana perubahan iklim serentak pada Jumat (25/9/2020).
Muda mudi di berbagai belahan dunia melakukan aksi untuk mendesak tindakan darurat guna menghentikan bencana perubahan iklim serentak pada Jumat (25/9/2020). (Foto: AP Photo)
Jakarta -

Climate Central merilis studi visioner terkait perubahan iklim khususnya soal kenaikan permukaan laut. Di dalamnya meramalkan keadaan berbagai wilayah pesisir di permukaan bumi hingga berabad selanjutnya, apabila suhu diproyeksikan ke sejumlah rentang celsius.

Studi tersebut berjudul 'Unprecedented threats to cities from multi-century sea level rise' atau 'Risiko yang Belum Ada Sebelumnya terhadap Kota-kota atas Kenaikan Permukaan Laut dalam Multiabad'. Sejumlah ahli yang tergabung dalam penelitian ini berasal dari Climate Central-AS, Princeton University-AS, Postdam Institute for Climate Impact Research-Jerman, Lamont-Doherty Earth Observatory-AS, dan Institute of Physics-Jerman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian ini dirilis jelang Conference of Parties (COP) ke-26 pada 1-2 November 2021 nanti. Melansir dari BBC Indonesia, COP adalah forum tingkat tinggi tahunan untuk 197 negara membicarakan perubahan iklim dan bagaimana mereka menanggulanginya. Pertemuan pada tahun ini akan dihelat di Glasgow, Skotlandia.

ADVERTISEMENT

Agenda COP26 amat penting karena dalam pertemuan tersebut, akan ada evaluasi atas kemajuan dan kegagalan yang dilakukan sejak penandatanganan Perjanjian Iklim Paris atau Paris Accord pada 2015 silam.

Dalam Perjanjian Iklim Paris, dinyatakan apabila pemanasan global terus menanjak hingga melebihi 1,5 derajat celsius di atas suhu yang pernah kita alami di era praindustri, maka akan ada banyak perubahan di planet bumi yang tak lagi dapat dielakkan.

Dampak Paling Banyak Dirasakan di Asia

Dengan proyeksi pemanasan menuju 4 derajat celsius dan rata-rata kenaikan permukaan laut 8,9 meter secara global di rentang 200 hingga 2000 tahun, maka akan ada 50 kota yang membutuhkan mitigasi baru (jika dapat dilakukan) atau menghadapi hilangnya wilayah sampai sebagian atau hampir seluruhnya. Kebanyakan dari 50 kota ini ada di Asia.

Berdasarkan proyeksi itu, peneliti menyebutkan sejumlah negara dengan populasi yang tinggal di bawah garis pasang terbanyak. Mereka adalah Bangladesh, China, India, Indonesia, dan Vietnam. Dicatat sejumlah negara tersebut memimpin dalam pembangkit listrik tenaga batu bara baru-baru ini.

Melalui proyeksi rata-rata permukaan laut, maka setidaknya ada satu negara besar di tiap benua, kecuali Australia dan Antartika, yang akan menghadapi paparan sangat tinggi.

Tempat tinggal bagi setidaknya sepersepuluh hingga dua pertiga populasi manusia saat ini, ada di bawah garis pasang. Garis pasang dapat melampaui tanah yang dihuni oleh sekitar 15 persen populasi global sekarang. Persentase ini setara sekitar satu miliar orang.

Sementara, apabila memenuhi target paling ambisius dari Perjanjian Iklim Paris, risiko yang akan berkurang adalah sekitar setengahnya. Ini sekaligus bisa berimplikasi tak sampai melakukan mitigasi di kota besar pesisir, yang sekarang penduduknya lebih dari 10 juta.

Emisi karbon yang dihasilkan oleh manusia akan mengendap di atmosfer ribuan tahun, bahkan ketika ekonomi global mencapai nol emisi pada akhir abad ini atau setelahnya. Sejumlah alasannya termasuk usia panjang karbon dioksida di atmosfer, pergerakan lambat antara samudra dan atmosfer, serta umpan balik yang memperkuat serta mengulur pemanasan.

Poin terakhir yang disebutkan ini, contohnya adalah hilangnya albedo dan pelepasan metana dari permafrost yang mencair. Albedo merupakan fraksi pantulan cahaya yang datang ke suatu permukaan. Sedangkan permafrost adalah daratan yang membeku secara permanen di bawah permukaan.

Di samping itu, lapisan es yang terus terdampak pemanasan juga menyebabkan kenaikan permukaan laut yang lebih buruk.

Halaman selanjutnya: Hubungan antara emisi karbon kumulatif, pemanasan global, dan naiknya permukaan laut.

Penelitian ini menyajikan hubungan antara emisi karbon kumulatif, pemanasan global, dan naiknya permukaan laut. Ketiganya diperlukan sebagai bahan analisis komprehensif untuk rentang waktu multiabad hingga multimilenium, di bawah skenario pemanasan dan emisi karbon yang berbeda-beda, dalam skala global.

Pada abad ini, proses dinamis dan termodinamika kompleks akan mendominasi evolusi sementara permukaan laut. Sedangkan titik stabil respons permukaan laut dalam visi milenium ditentukan dengan titik stabil ekspansi laut dan es yang masih bertahan di bumi yang lebih panas.

Studi mengenai proyeksi kenaikan permukaan laut ini mengindikasikan bahwa jutaan orang perlu dilindungi dengan infrastruktur yang baru atau justru bermigrasi.

Mereka yang Paling Rentan

Studi ini menunjukkan, secara kasar ada 5,3% (1,8%-9,6%) populasi global atau 360 (120-650) juta orang yang kini tinggal di bawah garis pasang.

Sesuai yang ditetapkan Perjanjian Paris, batas suhu 2 derajat celsius akan menghasilkan kenaikan permukaan laut global 4,7 meter dan mengancam dua kali lipat jumlah orang.

Sementara, untuk suhu 4 derajat celsius yang berkelanjutan, batas atas dampaknya adalah 10.8 meter dan mampu mengancam rumah satu miliar orang atau 15% populasi global saat ini, plus lingkungan dan bangunan kultural di dalamnya.

Sebagai perbandingan, 2,5%-3,0% orang atau sekitar 170-200 juta orang kini tinggal di area yang diperkirakan akan berada di bawah garis pasang pada tahun 2100.

Asia Timur, Tenggara, dan Selatan menghadapi dampak keseluruhan paling besar, baik pada abad ini maupun selanjutnya.

Pada faktanya, sembilan dari sepuluh negara paling berisiko adalah dari Asia. Hasil ini didapat melalui persentase populasi tahun 2010 yang tinggal di wilayah terancam sesuai, dengan tolok ukur kenaikan permukaan laut yang digunakan dalam penelitian ini.

Berdasarkan seluruh rentang waktu yang masuk dalam pengukuran, maka lebih dari 75% populasi global yang berisiko ada di Asia. Ini lebih besar dari fraksi yang mendiami Asia secara keseluruhan.

Bangladesh dan Vietnam menjadi yang paling digarisbawahi karena lebih dari setengah populasi di sana berada di bawah garis pasang dalam jangka panjang, bahkan meskipun pemanasan dibuntu pada 2 derajat celsius.

Di waktu yang sama, setiap benua berpenduduk, kecuali Australia, ada di posisi 20 teratas. Masing-masing dipimpin Mesir, Inggris, Amerika Serikat, Argentina (atau Brasil, berdasarkan total, bukan persentase).

Sebaliknya, China menjadi yang paling beruntung. Dengan proyeksi pemanasan global 4 derajat celsius, ada sekitar 40 juta orang yang terancam, tapi tidak ketika skalanya diturunkan menjadi 2 derajat celsius.

Dengan skenario pemanasan yang sama, terdapat penurunan risiko hingga setidaknya 30% untuk lebih dari setengah negara-negara pesisir. Seluruhnya, kecuali sepuluh negara, mengalami penurunan setidaknya 10%.

Tempat-tempat di Dunia Paling Terancam

Banyak negara-negara pulau yang berukuran kecil, mendapatkan kerentanan yang jauh lebih tinggi.

Menggunakan skenario pemanasan 4 derajat celsius, Kepulauan Cocos, Maldives, Kiribati, Kepulauan Marshall, Kepulauan Cayman, Tokelau, Tuvalu, dan Bahama memiliki masa depan di mana tempat tinggal bagi lebih dari 90 persen penduduknya, akan ada di bawah rata-rata garis pasang dalam rentang multiabad. Sementara, dengan proyeksi 2 derajat celsius, masing-masing dari mereka masih menghadapi risiko 80 persen.

Kendati demikian, tak seperti negara-negara kepulauan ini, sebagian negara yang paling dipertaruhkan adalah mereka yang juga berinvestasi besar pada pembangkit listrik tenaga batu bara.

Empat dari lima negara teratas, yakni China, India, Vietnam, dan Indonesia menambahkan kapasitas batu bara mereka di lima tahun terakhir, 2015-2019. Sederet negara ini sekaligus menjadi lima teratas yang menderita paparan kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang.

20 Negara Paling Rentan Tenggelam di Dunia:

Klik halaman selanjutnya untuk membaca

Berdasarkan proyeksi hingga berabad mendatang dan skenario kenaikan suhu 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius, seperti ini peringkat 20 negara paling rentan tenggelam di dunia:

1. Bangladesh

2. Vietnam

3. Mesir

4. Thailand

5. Malaysia

6. Filipina

7. Jepang

8. Myanmar

9. Indonesia

10. China

11. Irak

12. Korea Selatan

13. Arab Saudi

14. Inggris

15. Argentina

16. Amerika Serikat

17. Brasil

18. Spanyol

19. India

20. Italia

Penelitian ini turut mengukur risiko pada wilayah aglomerasi urban, yaitu daerah yang berdekatan dan lintas batas administratif. Selanjutnya dapat disingkat sebagai UA.

Dengan skenario pemanasan global 4 derajat celsius, ada lebih dari 90 persen kawasan tempat tinggal di hampir 300 UA, yang akan berada di bawah garis pasang dalam waktu berabad-abad.

Meski hanya sepertiganya yang berasal dari Asia, tetapi di dalamnya termasuk kota-kota besar dengan lebih dari 10 juta penduduk, misalnya Haora, Shanghai, Hanoi, dan Dhaka. Setengah dari wilayah aglomerasi dengan tingkat risiko lebih dari 90% melalui proyeksi pemanasan 4 derajat celsius, tetap akan terdampak meskipun skenarionya diturunkan menjadi 2 derajat celsius.

Para ilmuwan menyatakan bahwa sebetulnya sudah ada banyak kota yang berada di bawah garis pasang. Mereka pun mengidentifikasi ada 197 wilayah aglomerasi urban di dunia, yang di dalamnya terdapat lebih dari 10 ribu orang tinggal di bawah rerata garis pasang, dan sepertinya masih bertahan dengan adanya infrastruktur yang kini ada.

Jakarta tak luput dari jajaran paling terdampak hingga multiabad ke depan.

Seluruh wilayah aglomerasi paling terancam dengan proyeksi berabad-abad mendatang dan skenario pemanasan 1,5; 2; 3; dan 4 derajat celsius adalah mereka di bawah ini:

1. Haora, India

2. Shanghai, China

3. Hanoi, Vietnam

4. Dhaka, Bangladesh

5. Calcutta, India

6. Shantou, China

7. Mumbai, India

8. Hong Kong, China

9. Osaka, Jepang

10. Tianjin, China

11. Tokyo, Jepang

12. Shenzen, China

13. Karachi, Pakistan

14. Jakarta, Indonesia

15. Surabaya, Indonesia

16. New York, Amerika Serikat

17. Quezon City, Filipina

18. Buenos Aires, Argentina

19. Seoul, Korea Selatan

20. Rajshahi, Bangladesh

21. Cairo, Mesir

Penelitian ini mengasumsikan, emisi global sebetulnya tidak menjadi negatif, namun pengurangan karbon secara masif bisa mengurangi dua hal. Yakni kenaikan permukaan laut dalam jangka panjang dan asesmen-asesmen yang dipaparkan dalam penelitian ini.

Tapi perlu diketahui juga bahwa belum ada sistem yang diterapkan untuk menahan kolaps lapisan es.

Jika lapisan es di barat Antartika sudah mulai mencair, maka seluruh kenaikan permukaan laut multiabad ke depan bisa jadi lebih tinggi dari yang digambarkan dalam penelitian ini. Misalnya, secara global 1 meter lebih tinggi (21%) dengan skenario 2 derajat celsius atau 0.5 meter (6%) lebih tinggi dengan skenario 4 derajat celsius.

Banyak pulau-pulau kecil rentan masih bisa dilindungi terumbu karangnya dalam skala tertentu. Tetapi, pemanasan global, pengasaman laut, dan berbagai degradasi ekologis lainnya bisa mengancam harapan ini.

Mitigasi yang Memungkinkan

Sejauh yang para peneliti ini ketahui, hampir tidak ada studi yang telah mengeksplorasi adaptasi apa saja yang dapat dilakukan. Namun, studi dari The Atlantis sudah pernah mengelaborasi berbagai mitigasi yang mungkin dapat dijalankan pada tiga daerah terancam di Eropa dengan kenaikan permukaan laut setinggi 5-6 meter. Mereka melakukan wawancara pada puluhan ahli lokal.

Pada umumnya, partisipan berpendapat agar kawasan terdampak di delta Sungai Rhine ditinggalkan, lalu membangun akomodasi layaknya di Venesia, dan tempat-tempat di muara Sungai Thames ditinggalkan, termasuk London. Terlebih studi ini mengasumsikan kenaikan permukaan laut sebesar 5 meter akan segera terjadi pada 2130.

Namun, berbagai macam perlindungan akan memakan banyak biaya dan negara yang paling terdampak, tidak lebih kaya dari Belanda atau Inggris.

Dan tak seperti Belanda, kebanyakan area pesisir sedari awal tidak dibangun dengan struktur di bawah permukaan laut. Sehingga, banyak lanskap lingkungan yang sekarang eksis, bisa jadi tidak mudah untuk mengakomodasi tanggul maupun bentuk pertahanan lainnya.

Meski demikian, ada cara lain untuk memindai adaptasi yang memungkinkan, yaitu dengan mempelajari kota-kota yang sudah mengalami penurunan multimeter. Contoh paling dramatis adalah Tokyo dan Jakarta, yang telah turun nyaris 5 meter.

Sejumlah area di masing-masing kota ini sekarang sudah ada di bawah rata-rata permukaan laut.

Tokyo telah mengimplementasikan tanggul yang lebarnya 30 kali lebih dari tingginya. Sejauh ini, mitigasi tersebut dibangun terbatas karena faktor biaya pembongkaran struktur jalan, menaikkan tanggul, dan pembangunan kembali.

Para ilmuwan ini beropini, bahkan adaptasi paling monumental sekalipun tak dapat menghilangkan seluruh kekhawatiran. Sejumlah sungai perlu ditembok dari laut dan dipompa sepenuhnya ke dalamnya.

Konsekuensi atas hal ini berdampak terhadap ekologi, perdagangan, pelabuhan, dan lainnya. Di samping itu, warga di baliknya akan hidup dengan risiko bencana dan banjir dadakan yang dapat disebabkan beragam faktor.

Tingkat pemanasan global yang lebih tinggi bisa menyebabkan manusia membutuhkan pertahanan atau migrasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, hal ini bisa ditekan dengan komitmen kuat atas Perjanjian Iklim Paris, utamanya membatasi kenaikan suhu hingga 1.5 derajat celsius.

Terlebih meski ancaman ini sifatnya global, konsentrasinya ada di Asia, di mana kota-kota besar dan empat dari lima besar negara yang membangun kapasitas batu bara paling baru, adalah sekaligus mereka yang paling terancam.

Pengurangan dramatis emisi karbon adalah urgensi semua negara pesisir. Bahkan jika hasilnya tercapai pun, upaya adaptasi yang besar di seluruh dunia tetap diperlukan. Ini untuk melindungi populasi yang tinggal di wilayah pesisir dari waktu ke waktu dan melestarikan area serta warisan budaya yang ada di dalamnya.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads