11 Contoh Teks Artikel serta Langkah-langkah Penulisannya

ADVERTISEMENT

11 Contoh Teks Artikel serta Langkah-langkah Penulisannya

Olivia Sabat - detikEdu
Jumat, 17 Sep 2021 18:30 WIB
Worried woman reading bad news in a newspaper sitting on a couch in the living room at home
Contoh-contoh teks artikel yang dapat dipelajari (Foto ilustrasi: iStock)

5. Bersiap Menyambut Asesmen Nasional

Pada September dan Oktober 2021 ini, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan menyelenggarakan Asesmen Nasional yang merupakan evaluasi sistem pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pertama kali disampaikan kepada publik pada 11 Desember 2019, Asesmen Nasional merupakan salah satu terobosan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang berani menyudahi pelaksanaan Ujian Nasional dan menjadi bagian dari paket pertama kebijakan pembenahan pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan Merdeka Belajar.

Sebelum Asesmen Nasional, Indonesia telah memiliki dan melaksanakan sejumlah sistem penilaian, termasuk mengikuti penilaian yang dilaksanakan oleh lembaga internasional. Penilaian yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek meliputi Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), dan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, siswa-siswa Indonesia juga mengikuti penilaian yang dilaksanakan oleh lembaga internasional seperti survei The Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), dan Programme for International Student Assessment (PISA).

Dengan keberadaan sejumlah sistem penilaian tersebut, kehadiran Asesmen Nasional diharapkan dapat menambal kebutuhan yang belum diperoleh dari sistem yang ada tersebut. Berbeda dengan Ujian Nasional yang menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu, Asesmen Nasional sebagai evaluasi sistem tidak memiliki konsekuensi pada siswa yang mengikuti asesmen. Asesmen Nasional tidak menghasilkan skor individu siswa, guru, maupun kepala sekolah.

ADVERTISEMENT

Dalam Asesmen Nasional, evaluasi dilakukan terhadap hasil belajar siswa yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi tersebut diperoleh dengan tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.

Sementara itu, belajar dari pengalaman Ujian Nasional yang berpengaruh pada citra sekolah dan pemerintah daerah sehingga berbagai cara dilakukan agar terlihat sukses dalam Ujian Nasional, maka pada Asesmen Nasional hasil asesmen akan ditampilkan dengan menghindari pemeringkatan dan pelabelan negatif terhadap sekolah dan daerah. Menurut Kemdikbudristek, hasil Asesmen Nasional hanya dapat dilihat oleh sekolah masing-masing serta Dinas Pendidikan (Kemdikbudristek, 2021).

Terdapat beberapa argumen mengapa Asesmen Nasional perlu dan penting untuk diselenggarakan. Pertama, dengan situasi pandemi Covid-19 yang memaksa proses belajar mengajar dilaksanakan dari rumah dalam kondisi darurat, telah memunculkan kekhawatiran tentang hilangnya kesempatan belajar (learning loss) bagi banyak siswa. Terdapat beberapa dampak negatif dari situasi pandemi Covid-19 terhadap siswa yang belajar dari rumah, misalnya menurunnya proses pembangunan karakter, munculnya tekanan psikososial, dan menurunnya motivasi siswa hingga siswa cepat bosan dan tidak mau belajar (Kusumastuti, 2021).

Sampai dengan saat ini belum tersedia data yang komprehensif tentang seberapa besar, pada siapa, di mana, dan mengapa learning loss terjadi. Asesmen Nasional perlu mengambil peran ini, dengan memetakan learning loss di seluruh Indonesia dan menjadi data awal (baseline) dalam rangka menentukan kebijakan atau intervensi pemerintah yang tepat sesuai permasalahan yang terjadi di lapangan.

Kedua, selama ini sistem evaluasi pendidikan pada sekolah-sekolah banyak dikeluhkan oleh guru dan kepala sekolah karena membuat fokus untuk melakukan tugas mengajar menjadi terganggu oleh urusan administratif yang ribet misalnya borang penilaian yang terpisah-pisah, tumpang tindih, dan berulang (tidak efisien). Bahkan sampai Presiden Joko Widodo pun pernah mengeluhkan para guru dan kepala sekolah lebih sibuk mengurus SPj (Surat Pertanggungjawaban) dibanding mengajar. Kehadiran Asesmen Nasional diharapkan membawa perubahan terhadap model evaluasi pendidikan yang cenderung administratif tersebut dan benar-benar diarahkan untuk mendorong perbaikan kualitas pembelajaran.

Ketiga, untuk melakukan pembenahan yang menyeluruh atas permasalahan pendidikan, diperlukan pemetaan atas permasalahan yang ada di lapangan secara spesifik. Selama ini kebijakan yang sering digunakan dalam pembenahan di daerah-daerah di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan "one size fits all" secara top down. Padahal tidak semua daerah memiliki karakter permasalahan yang sama sehingga perlu pendekatan yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapi masing-masing daerah atau sekolah.

Dari Survei Lingkungan Belajar sebagai bagian Asesmen Nasional yang mengukur kualitas pembelajaran, iklim keamanan dan inklusivitas sekolah, refleksi guru, praktik pengajaran, dan latar belakang keluarga siswa, diharapkan diperoleh informasi yang berguna untuk melakukan diagnosis masalah dan perencanaan perbaikan pembelajaran oleh guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Hal ini diharapkan membantu sekolah dalam menyusun kebijakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5716092/bersiap-menyambut-asesmen-nasional)

6. "Second Plan" Pendidikan Kita

Mulai melandainya kasus aktif Covid-19 memberikan secercah harapan bagi dunia pendidikan yang seperti mati suri dengan kebijakan on-off menyesuaikan situasi Covid-19. Situasi ini tentu menghadirkan euforia kembali ke sekolah dengan belajar tatap muka. Namun demikian, sembari menunggu habis masa "larangan" masuk sekolah selama masa PPKM ini, perlu kiranya kita bisa mempersiapkan segala sesuatunya, sembari mengelola agar euforia kembali ke sekolah tidak berlebihan.

Harus diakui, magnet keceriaan ketika bersekolah sedikit-banyak hilang ditelan pandemi. Kapan lagi kita dapat melihat senyum lepas anak-anak sekolah? Kita terbayang-bayang betapa bahagianya ketika keceriaan itu sudah kembali. Keceriaan saat melihat anak-anak berseragam sekolah, bersendau gurau dengan teman sekolahnya.

Di pinggir jalan, sambil meneguk minuman dingin khas jajanan anak sekolah, saling berkisah asyiknya belajar di kelas. Ataupun berkelindan kata merencanakan agenda bermain melepas penat mengerjakan soal. Begitu cair, meskipun sedikit canggung awalnya. Namun tak mengapa, untuk memulai sesuatu yang bakal indah ke depannya.

Kita optimistis, raut kesukacitaan akan terlihat kembali dari wajah anak-anak. Keceriaan yang mungkin tampak berbeda ketimbang pada saat bermain bersama. Mungkin mereka yang ceria mengenakan seragam sekolah tadi adalah mereka pula yang kerap bermain bersama. Berbagi keceriaan di perpustakaan, di kantin, dan pojok-pojok sekolah, dengan tetap menjalankan protokol kesehatan saat belajar di era kebiasaan baru.

Namun, keceriaan itu bisa seketika pupus. Manakala, hasrat tinggi bersekolah tidak diimbangi dengan ketaatan, kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan. Setidaknya ini terlihat, masih banyak anak yang berkerumun, bahkan tidak memakai masker. Meskipun kasus harian di banua kita relatif aman, tetapi bukan berarti abai dengan "kewajiban" saat berada di sekolah maupun lingkungan sekolah.

Jangan sampai euforia belajar tatap muka di sekolah, menjadi mudarat khususnya bagi kesehatan dan keselamatan semua warga sekolah.

Adanya pandemi setidaknya juga mengajarkan kepada kita semua agar tidak hanya diam dan membuat kondisi pendidikan kita terpuruk. Banyak terobosan inovasi yang bisa kita coba terapkan agar kita tidak lagi kaget ketika menghadapi situasi serupa. Pertama, jangan sekadar mengandalkan belajar tatap muka.

Pembelajaran tatap muka memang menjadi aset berharga pendidikan kita. Dengan belajar tatap muka, secara psikologis memberikan garansi bahwa anak sudah sekolah, dan guru sudah mengajar. Sederhananya, dengan belajar tatap muka, maka sudah gugur kewajiban bersekolahnya. Tentu bukan demikian; ada urgensi dari belajar tatap muka, yaitu memberikan pemahaman lebih mendalam tentang suatu pengetahuan ketimbang pada saat belajar online.

Kedua, jangan terus menyalahkan belajar online. Dalam suatu kegiatan supervisi mahasiswa bimbingan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), saya mengamati bahwa praktikan yang dilakukan dengan sistem online ternyata justru interaktif dan menarik.

Guru bisa menjelaskan dengan animasi menarik, siswa juga semangat belajar, menjawab soal, aktif menjawab. Dengan catatan, guru praktikan mengemas pembelajaran dengan baik. Membuat powerpoint yang eye-catching, terus berinteraksi dengan para siswanya, komunikasi dua arah, menulis dengan papan tulis digital, justru terlihat keren.

Memang, ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi jika memang belajar sistem online dengan memanfaatkan berbagai platform digital, utamanya adalah sarana dan prasarana pendidikan yang merangkul seluruh siswa hingga ke daerah 3T.

Besarnya anggaran pendidikan 20% dari APBN di tiap tahunnya, tentu lambat laun bisa meng-cover pemenuhan fasilitas pendidikan, baik HP, internet, hingga ke daerah pelosok. Sehingga, semua anak bangsa bisa mengakses hakikat pendidikan abad ke-21, pendidikan era disrupsi, pendidikan di era 4.0 maupun 5.0. Jadi, ada-tidaknya pandemi, pembelajaran dengan sistem online ini adalah alternatif solusi di kala pembelajaran tatap muka masih nihil kontribusi.

Ketiga, belajar jangan lagi berorientasi pada nilai kognitif saja. Konsep merdeka belajar yang digaungkan Mendikbud sudah sangat cocok untuk memutus rantai lingkaran setan dari belajar sekadar mencari nilai, bukan kepahaman dan makna belajar yang dikaitkan dengan konteks nyata. Menghapus jiwa-jiwa yang gemar berorientasi pada prestasi dari segi kognitif dan intelektual semata. Mengeliminasi predikat juara kelas, ranking, dan semacamnya.

Apa artinya berkompetisi dan berlomba untuk meraih prestasi akademik itu tidak bagus? Tentu bagus. Masalahnya hanyalah pada substansi yang diujikan, substansi yang diujikan, masih berkutat pada bahan hafalan, belum pada bahan yang mengarahkan peserta didik alias siswa pada kebiasaan menganalisis, mengevaluasi, sekaligus mengkreasi. (selengkapnya di https://news.detik.com/kolom/d-5716070/second-plan-pendidikan-kita)

Selanjutnya contoh teks artikel "Pascawisuda Mau ke Mana?">>>



Simak Video "Video: Suasana Pecah Saat Denny Cagur Melawak di Depan Mendikdasmen"
[Gambas:Video 20detik]

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads